2
Benny: Mau makan apa? Aku Go food aja atau kita makan di luar?
Benny: Kamu dimana? Aku jemput, ya?
Benny: Za, kamu di GI? Chillax? Astha? Where are you?
Benny: Udah mau malam, Za. Kamu dimana?
Giza menghidupkan ponselnya, lalu menemukan banyak pesan dari Benny. Pria itu pasti sudah sampai apartemen dan tak menemukannya di sana. Notifikasi belasan panggilan tak terjawab juga ia dapatkan bersamaan dengan pesan beruntun itu. Selama duduk bersama Pras, Giza memang mematikan ponselnya agar Benny tak harus menyusulnya dan mengganggu waktunya untuk merehatkan pikiran tentang pernikahan yang menyakiti satu pihak. Dirinya.
"Dinner?"
Tawaran Pras membuat Giza menutup ponselnya dan memasukkan kembali ke dalam tas. Perempuan itu tersenyum seraya menggeleng. Mereka sedang berjalan keluar Hutan Kota karena tempat itu ditutup pukul enam dan semua harus keluar.
"Ke Chillax, makan sama aku. Hoy Tod kayaknya enak. Kita makan sama Sop Ikan Batam, jadi berasa di Maldives gak sih? Seafood all the way." Pras menyeringai ringan dengan wajah yang ia buat sejenaka mungkin. Pria itu tahu, Giza ingin pulang—yang sebenarnya perempuan itu belum tahu di mana rumah untuk pulang yang sesungguhnya—ke rumah yang membuatnya nyaman dan tertidur pulas dengan senyuman.
Pras tahu Giza mencintai suaminya. Cinta kepada Benny yang sialnya pria berengsek dengan masa lalu kelam. Masa lalu yang tanpa sengaja terkuak setelah ia memergoki Benny bersama perempuan muda dan melaporkannya kepada Giza. Semenjak itu, mata Giza tak pernah lagi berbinar dengan harapan dan cinta. Hanya ada kehampaan dan sakit yang selalu Pras tangkap hingga hari ini.
"Atau ngemil aja di NOB?"
Lagi-lagi, Giza menggeleng. "And it's time for me to go home." Ia mengangkat bahu tak acuh. "Kamu hati-hati di jalan. Kita pisah di sini aja, ya. Rumah aku kan udah di depan mata."
Mereka sama-sama melihat pada gedung yang menjadi pusat belanja, sekaligus hotel, sekaligus apartemen yang menjadi tempat tinggal Benny. Semenjak menikah, Giza otomatis pindah ke tempat itu. Apartemen yang kata Benny disewa oleh kantornya untuk rumah tinggal pria itu selama menjabat sebagai general manager di sana.
Pras mengangguk, melepas Giza yang kini melangkah di tengah zebra cross. Ia memindai langkah Giza yang lemah dan anggun. Ada kerapuhan yang tersirat dari bagaimana perempuan itu berjalan. Sumpah mati, Pras ingin melindungi Giza dan membuat perempuan itu bahagia.
*****
Giza mengeluarkan udara dari bibirnya yang mengerucut. Hatinya berdebar saat lift yang mengantarkan pada lantai tempat unit Benny berada, sudah berhenti dan membuka pintu otomatisnya. Perempuan itu melangkah santai menuju satu pintu dengan nomor yang ia hapal. Nomor yang selalu ia ingat sejak diberikan kebebasan untuk memasuki tempat itu.
Setelah menekan kombinasi angka, ia membuka pintu. Aroma daging sapi menguar ke penjuru apartemen satu kamar yang mereka tempati. Giza menduga, Benny membeli sup atau soto sapi dan tengah menghangatkan makan itu di microwave. Baunya membuat perutnya seketika keroncongan. Ia lapar. Sepanjang duduk di Hutan Kota tadi, ia hanya menikmati camilan ringan yang Pras belikan dan satu botol Lemon Water. Ia butuh nutrisi untuk tubuhnya yang ramping ini.
Ia baru hendak masuk ke satu-satunya kamar saat pintu kamar mandi terbuka dan Benny keluar dengan lilitan handuk di pinggangnya.
"Akhirnya kamu pulang juga!" Benny menatap Giza dengan sorot kuatir campur kesal dan lega. "Kalau memang gak mau aku ganggu, kamu cukup bilang sedang dimana dengan siapa dan tidak mau aku mengganggu acara kalian." Benny mendului Giza masuk ke kamar, meninggalkan aroma sampo segar yang tercium oleh Giza.
Tanpa malu, pria itu membuka lilitan handuk di kamar yang pintunya tak ia tutup. Giza masih berdiri di ambang pintu dan seketika memalingkan wajahnya saat tubuh Benny yang tanpa busana terekspos. Ini bukan kali pertama ia melihat tubuh Benny. Mereka sudah menikah relatif lama, nyaris satu tahun dan berhubungan badan sudah pernah mereka lakukan meski jarang.
Sebagai suami, apalagi sejak mereka tahu hal mengganjal dalam hubungan mereka, Benny tak pernah memaksakan kehendaknya sebagai suami. Giza masih muda dan perasaan sangat sensitive. Benny sadar, istrinya masih menyimpan luka setelah rahasia bersar terkuak dan melibatkan masa lalunya. Atas kejadian itu, Giza masih rapuh dan kerap bersikap dingin seperti ini. seperti saat ini dan Benny tak bisa melakukan apapun selain menerima dan sabar.
"Aku membebaskan kamu, Giza. Kamu berhak melakukan apapun sepulang kerja. Hanya saja, tolong kabari aku. Aku suami kamu dan mencintai kamu." Benny memakai baju rumahannya sambil terus berceloteh. "Kalau ada apa-apa sama kamu dan aku gak tahu posisi kamu, gimana aku bisa melakukan hal untuk menyelamatkan kamu?"
Giza masih pada posisinya, berdiri mematung dengan tas yang masih ia pegang. Benny sudah selesai berbusana, keluar kamar yang jarang ia tempati karena Giza enggan tidur dengannya kecuali saat suasana hati perempuan itu sedang baik. Pria itu mendekati Giza, mencium kening istrinya, lalu mendekati microwafe yang sudah berbunyi, tanda timer sudah selesai bekerja dan sup iga di dalamnya sudah kembali panas.
Aku suami kamu dan mencintai kamu. Mengingat ucapan itu, cengkaraman Giza pada tasnya mengerat. Ada sesak yang kembali menyiksa. Ia melihat cinta itu pada Benny untuknya, tetapi dulu, sebelum Benny mengaku bahwa pria itu memiliki anak di luar pernikahan mereka. Sebelum Benny berkata ingin memperjuangkan anak itu dan melepasnya.
Meski yang terjadi sekarang adalah Benny kembali kepadanya dan katanya melepaskan anak itu kepada ibu kandungnya, tetap saja sakit yang Giza miliki tak lantas pulih. Hatinya masih sangat rapuh yang bisa hancur kapan saja, andai Benny lagi-lagi melakukan kesalahan fatal itu.
Perempuan tak ingin diduakan. Ia terlahir untuk menjadi ratu dari pria yang mencintainya dan dicintai. Perempuan tak menuntut banyak materi atau kemewahan. Mereka hanya menginginkan sesederhana kesetiaan dan loyalitas dalam mencintai. Begitupun Giza yang hanya ingin Benny memandangnya dan tak memikirkan orang lain. Sayang, tubuh yang tadi sempat ia lihat saat berganti pakaian, nyatanya pernah disentuh oleh perempuan lain hingga melahirkan seorang anak. Bukan Giza satu-satunya yang ada di hidup Benny dan ia tak ingin lagi mencintai pria itu sebesar dulu, karena suatu hari Benny bisa saja meninggalkannya demi Masayu.
"Makan, Giza. Aku yakin kamu lapar karena perutmu berbunyi saat aku mencium keningmu tadi." Benny membuka rice cooker kecil yang mereka miliki di apartemen ini. Pria itu pasti masak nasi sepulang kerja, sambil memikirkan istrinya yang entah berada di mana. Meski tak mendapat tanggapan dari Giza, pria itu tetap menuang nasi ke dua piring yang diambil dari raknya. "Lekas mandi, habis itu makan bareng. Aku makan duluan karena sudah lapar banget. Kamu jangan lama-lama dan langsung nyusul makan, ya."
Giza menatap suaminya yang kini menata dua piring berisi nasi, satu mangkuk besar sop iga, dan satu piring berisi aneka gorengan. Giza tak yakin dimana suaminya membeli itu semua. Mungkin kantin karyawan di parkiran basement gedung tempat pria itu kerja, atau membeli di Gofood tanpa melihat nama restonya. Selama ratingnya diatas bintang empat, Benny tidak begitu peduli nama resto atau se-viral apa tempat makan itu. Benny bukan pria pemilih dalam menikmati makanan. Selama halal dan matang, dia akan menerima saja.
"Giza Arilla, ayo segera makan. Supnya bisa dingin lagi."
Benny menatap istrinya dengan sorot lembut yang berusaha ia buat agar Giza yang sepertinya sedang bad mood, mau mendengarkan permintaannya. Istrinya harus makan, mengingat tubuh Giza cukup ringkih. Nafsu makan Giza sangat tipis dan hanya bisa menghabiskan setengah porsi makanan yang mereka beli. Benny selalu menghabiskan sisa Giza setiap perempuan itu menolak menghabiskan makanannya.
Alih-alih menjalani perintah suaminya, Giza justru menatap Benny dengan pandangan menerawang. Tangannya terasa tak bertulang pun kakinya padahal ia tak berjalan jauh.
"Mas."
Benny menatap Giza dengan perasaan berkecamuk. Ia berusaha tetap memegang sendok dan garpu, bersiap makan agar Giza yang sedang kelaparan jadi ingin ikutan menikmati sop iga.
"Kenapa Mas masih menikahiku padahal Mas bisa memperjuangkan Masayu dan ibunya. Kenapa Mas masih mengejarku, memintaku untuk menuruti permintaan orangtua kita yang menginginkan pernikahan ini, padahal aku yakin ibu Masayu pasti mau menerima Mas."
Giza kumat lagi. Ia mengangkat topik ini lagi padahal Benny sudah ribuan kali berkata bahwa masa lalunya sudah ia tinggalkan dan tak akan menoleh lagi. Poros hidupnya saat ini hanyalah Giza dan karirnya. Tak ada lagi Masayu apalgi Susana. Mereka hanya masa lalu dan Benny sudah berdamai dengan keduanya dan sepakat untuk tak saling behubungan lagi.
Sendok garpu yang sudah siap bekerja, Benny letakkan kembali. Pria itu menatap istrinya dengan sorot tajam.
"Kita sudah membahas ini ribuan kali hingga aku lelah, Giza. Tolong jangan angkat masa laluku dan fokuslah pada pernikahan kita."
Mata Giza memburam. Ia ingin mencintai Benny seperti dulu, karena nyatanya rasa cinta itu memang masih sebesar dulu. Namun, bayangan Benny yang menemui Masayu di belakangnya, membuat perempuan itu berusaha untuk menghilangkan cinta kepada Benny.
"Fokuslah makan. Aku mau tidur cepat." Giza berbalik, memunggungi Benny yang masih duduk di meja makan sederhana apartemen itu, masuk ke kamar dan menutup pintunya.
"Kamu harus makan, Giza. Aku gak mau kamu sakit!"
Seiring mata Giza yang terpejam, tetes air matanya keluar begitu saja. Ia benci hidupnya, rasa cintanya kepada Benny yang menyiksa, penikahannya, dimana ia memiliki pria yang ia cintai tetapi mencintai perempuan lain. Benny menikahinya karena terpaksa dan persetan dengan ucapan cinta pria itu kepadanya karena semua itu hanya bualan.
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top