13

"Dia masih mencintaimu, Ben. Dia tidak akan bertahan kalau tidak ada cinta di hatinya."

Benny mengingat ucapan Bianca kepadanya sore lalu. Ia masih duduk di kursi kemudi mobilnya, mencengkram erat roda kemudi dengan emosi yang masih menggulung. Ia tak akan menjalankan mobil dalam kondisi penuh emosi dan duduk sendiri menenangkan diri adalah hal tepat yang harus ia lakukan saat ini.

Decihan kecewa dan benci terbit di bibir Benny yang belum menyentuh kopi dan roti buatan istrinya. Semalaman, ia tak bisa tidur nyenyak karena terus berusaha meredam amarah atas ulah Giza dibelakangnya. Benny tahu, Bianca sengaja menginap agar ia tidak bisa meledakkan emosinya kepada Giza yang tertangkap bahas suap-suapan bersama teman kantornya itu.

Bagaimana mungkin ia dan kembarannya makan malam sambil memperhatikan Giza yang tertawa lepas, tersenyum, bercanda, dan sesekali berbagi makanan dengan sendok dan sumpit yang sama bersama pria itu.

"Kalau memang dia tak bisa lagi bersamaku, aku tidak bisa mempertahankannya." Ia berkata begitu kepada Bianca sambil mengaduk makanan miliknya. Semahal dan seenak apapun menu makanannya malam lalu, lidahnya sudah terlanjur pahit dan kebas. Ia bahkan langsung beranjak dari restoran itu setelah Bianca menyelesaikan makan malamnya. Ia ingin masuk ke restoran tempat Giza berada dan menghajar habis-habisan pria itu. Setelahnya, melepas Giza agar hatinya tak harus terus merasa bersalah dan tersakiti bersamaan. Namun, keberadaan Bianca membuatnya menahan hasratnya untuk melakukan itu semua. Ia harus bersabar dan tak mungkin membuat keributan.

Bianca memegang tangannya, mengaitkan jemari mereka selama melangkah menuju unit apartemennya. Kembarannya itu seakan tahu apa yang ia rasa dan berusaha meredam segala emosi negatif yang membakar pikirannya.

"Dia pasti punya alasan mengapa melakukan itu." Bianca langsung bicara saat mereka sampai apartemen. "Dulu Giza tidak seperti itu. Dia berubah setelah--"

"Dia masih curiga tentang Masayu dan selalu menggunakan hal itu untuk memancing pertengkaran kami."

Benny duduk di meja makan saat Bianca masuk ke dapurnya dan membuat dua cangkir minuman hangat. Hening menjeda dan hanya suara denting sendok yang berputar mengaduk dua minuman dalam dua cangkir yang Bianca buat.

"Aku sangat menyesali tentang anak itu dan—masa lalumu. Aku membenci Susan dan anaknya karena membuat hidupmu runyam begini." Bianca meletakkan satu cangkir berisi teh hangat kepada Benny. "Mereka tak seharusnya datang dan bertemu kamu."

"Aku tidak ingin berdebat tentang ini, Bianca!" Benny mendesis dengan mata penuh benci. "Aku sedang ingin membahas Susan atau Masayu."

"Oke, oke." Bianca duduk di depan saudara kembarnya dan meletakkan cangkir minumannya di sana. "Jadi ... bagaimana pernikahanmu bersama Giza? Dan—sejak kapa nada pria itu di antara kalian?"

Benny menatap teh dalam cangkirnya dengan sorot kecewa dan sakit hati. Saat satu tangannya digenggam erat oleh Bianca, ia tak menyadari jika sudut matanya sudah berair.

"Luapkanlah semuanya kepadaku. Aku akan menjagamu malam ini," ucap Bianca penuh kelembutan, seakan bisa merasakan apa yang Benny simpan dalam hatinya.

Seperti menemukan tempat untuk bersandar, Benny mengungkapkan semua perasaannya. Ia meneteskan air mata meski tak sampai menangis. Bianca mendengarkan Benny dengan serius dan penuh perhatian. Bianca seakan bisa melihat semua hal dari sisi Benny dan mengapa pria itu merasa tersiksa.

"Aku—aku tahu ini salahku yang tak mengabarimu tentang Susana dulu. Hanya saja, kita tak bisa melakukan apapun terkait masa lalu, Ben. Kamu harus bisa membangun masa depanmu sendiri, tanpa Susana dan anak kalian."

Benny mengangguk, menyetujui ucapan Bianca. "Tapi Giza sudah telanjur membenciku karena Masayu. Ia tidak percaya kepadaku dan bersikap seakan aku adalah pendosa yang menjijikkan."

Ingatan tentang percakapan bersama Bianca terus berputar di kepalanya, selama Benny menenangkan diri. Apapun yang Bianca katakana semalam, bisa jadi benar dan ia tak boleh menyerah semudah ini.

"Tak ada perempuan yang tulus mencintaimu seperti Giza. Kebencian tidak bisa dikalahkan oleh kekerasan. Giza perempuan yang lembut. Kamu harus memperlakukannya dengan baik dan mendapatkan celah yang tepat. Emosi dan amarah tidak akan menyelesaikan masalah. Kita belajar banyak tentang itu dari kasusmu bersama Susana, saat kalian bertemu lagi dan kamu mendapati adanya anak dalam hidupmu. Kamu menyesal, terkungkung dalam rasa bersalah yang tak berujung. Kali ini, jangan sampai hal itu terulang lagi pada masalahmu dengan Giza. Pikirkan cara yang lembut dan tepat."

Benny tak tahu cara apa yang Bianca maksud. Pria itu masih buntu akibat amarah dan cemburu yang memakar dirinya. Ia akan mencari cara mengambil lagi Giza dan mendekap perempuan itu selamanya. Ia tahu ini salahnya, tetapi ia yakin bisa memiliki kesempatan kedua. Ia mencintai Giza dan akan membuktikan bahwa cintanya bukan hanya bualan semata.

*****

Benny tak memikirkan tentang makan siang. Pria itu pergi ke kantor Giza dengan MRT, berjalan dan berusaha memperhatikan kemana Giza pergi dengan laki-laki itu. Istrinya pasti menghabiskan waktu dengan teman kerjanya dan ia ingin memantau sejauh mana kedekatan mereka.

Saat sosok Giza terlihat keluar dari lift, Benny bersembunyi. Ia mendapati istrinya pergi dengan Pras dan Wina. Mereka berbincang bersama sambil jalan dan sesekali tertawa. Benny mengikuti mereka seperti mata-mata, berjalan dengan jarak yang tak akan dicurigai tetapi tetap bisa memantau. Mereka berjalan ke Chillax dan masuk ke area kuliner itu.

Giza menghampiri gerai kuetiaw dan memesan makanan di sana, sementara Pras memesan sop ikan Batam. Benny menunggu mereka memesan sambil memperhatikan gerak-gerik hingga dimana mereka duduk. Ia tak akan ikut pesan dan makan, karena tubuhnya sedang tak bernafsu untuk mengkonsumsi apapun selain informasi tentang istrinya.

Benny menyeringai geli sekaligus miris. Baru ini ia bersikap konyol dengan menjadi mata-mata istri sendiri. Ia memiliki penghasilan yang baik, wajah rupawan, masa depan cerah, tetapi takut istrinya pergi dibawa orang. Ia sampai harus merelakan jam makan siangnya hanya demi memantau bagaimana sikap istrinya dengan pria itu saat makan siang dan mempelajari apa yang membuat istrinya tertarik pada pria itu.

"Mas Ben?"

Panggilan itu membuat Benny seketika tersentak dan menoleh ke belakang. Astaga, ia ketahuan membuntuti Giza dan teman-temannya.

"Mas ngapain di sini? Mau nyusul Giza?"

Benny menempelkan telunjuknya di bibir, meminta Wina tak lagi bicara dengannya. Ia melirik meja Giza dan sedikit lega karena sepertinya perempuan itu tak tahu jika temannya menyapa dirinya dan memergoki langkahnya memata-matai mereka.

"Saya—ingin bicara dengan kamu. Empat mata saja." Sekali lagi, ia melirik Giza hati-hati. Jarak mereka memang tak dekat, tetapi tak menghalangi mata Giza untuk bisa mengarah pada dirinya. "Apa kamu bersedia? Jika tidak bisa sekarang, saya bisa menunggu."

Seakan paham dengan apa yang Benny lakukan, Wina yang sudah membeli ramen, mengangguk. Ia yang sedang memegang baki berisi makan siangnya, menggerakkan kepala, mengajak Benny duduk di sudut lain kawasan kuliner itu yang tak bisa dilihat Giza.

"Saya kirim pesan ke Giza dulu, ya, biar dia gak curiga. Seharusnya sih gak curiga. Giza bukan orang yang peka." Wina mengambil ponselnya dari kantung celana, lalu mengetik pesan sebelum memfokuskan perhatiannya kepada Benny. "Mas Benny gak pesan?"

Benny menggeleng.

"Boleh kita bicaranya sambil saya makan? Sudah terlanjur pesan ramen." Winna menyeringai sungkan dengan wajah yang ia buat santai.

"Take your time," ucap Benny santai. "Tapi—bisa tolong saya ceritakan tentang apapun yang kamu tahu tentang Giza dan—pria itu?"

Wina baru memasukkan satu suap mie ke mulutnya dan perempuan itu menatap Benny dengan binar hati-hati. Wajahnya tampak menimbang dan berpikir sebelum akhirnya mengangguk dan mulai mengunyah makanannya. "Tanyakan apapun yang Mas Ben ingin tahu dan aku akan menjawab sejauh yang kutahu. Namun, aku tidak ingin Giza sampai tahu tentang obrolan ini dan jangan langsung hakimi sahabatku dan menumpahkan amarah pada dirinya. Meski aku juga tidak begitu suka dengan kedekatan mereka, aku masih memahami mengapa Giza nyaman bersama Pras."

Benny mengangguk, lalu memulai pertanyaannya dengan pelan tapi pasti. Wina mendengarkan dengan saksama, menjawab apapun yang ia tahu tentang Giza, membuka semua air mata sahabatnya yang ia saksikan.

"Pembahasan ini ternyata sangat panjang dan aku sudah harus sampai kantor kurang dari sepuluh menit. Mas Ben bisa menghubungiku jika butuh bantuan tentang Giza, tetapi aku tidak berani terang-terangan melakukannya. Bagaimanapun, aku berada di kubu Giza dan ingin yang terbaik untuk dirinya. Aku percaya Mas mencitai Giza, tetapi aku juga tahu bahwa sakit hati yang Giza miliki bukan sekadar bercanda atau cari perhatian. Dia sangat perasa meski kadang tidak peka. Semua perempuan bisa saja merasakan hal yang sama dan bersikap seperti Giza jika berada di posisinya. Itu manusiawi, kan?"

Meski berat, Benny mengangguk. Ujian awal pernikahannya memang rumit.

"Mas berkenan simpan nomorku? Kita bertemu lagi untuk bicara tentang Giza."

Benny setuju, lantas memasukkan nomor Wina ke dalam kontak ponselnya.

****

Seperti biasa, Giza pulang lewat dari pukul delapan. Informasi yang Wina berikan, Giza main ke sekitar Thamrin dan makan malam soto di Sabang bersama Wina dan Pras. Benny menunggu istrinya di apartemen sambil menikmati makanan pesan antar dengan menu random yang ia pesan tanpa banyak perpikir.

Keterangan yang Wina berikan memberikan satu pemahaman baru tentang sosok Giza Arilla. Ia tak menyangka sebegitu sakit hatinya dan sebegitu besar ketakutannya pada masa depan pernikahan ini. Menjelaskan panjang lebar kepada Giza bukanlah solusi. Ia yakin istrinya tak akan percaya pada kalimat atau janji manis. Harus ada strategi untuk mengambil lagi hatinya dan Benny akan berpikir keras tentang itu.

Saat pintu apartemen terbuka dan Giza masuk, Benny yang sedang duduk bersila di karpet dan bersandar pada kaki sofa, menoleh kepada Giza dan tersenyum. Ia tengah mengerjakan sesuatu di laptopnya dan bersikap biasa, meski tak menyapa.

Giza hanya melirik sesaat sebelum masuk ke dalam kamar dan keluar lagi untuk mandi dan berganti pakaian. Benny menghela napas saat istrinya masuk kamar mandi. Suasananya sangat kikuk sekali dan ia tak tahu bagaimana mencairkannya.

Benny melirik Giza saat perempuan itu keluar kamar mandi, mengambil air putih dari kulkas dan meneguknya dengan santai. Ia tak lagi melirik, tetapi sudah menatap istrinya dan memindai pergerakan perempuan itu.

Sadar diperhatikan, Giza menatap Benny dengan sorot dingin dan datar. Pagi tadi, ia menangis sesenggukan sendiri sebelum mandi dan akhirnya terlambat masuk kerja. Beruntung taka da yang curiga dengan matanya yang sembab dan wajah sayu.

Mereka saling bersitatap dengan sorot berbeda. Giza menatap suaminya dengan tatapan dingin dan benci, sementara Benny binarnya tulus dan penuh penyesalan. Namun, belum ada sepatah katapun yang terucap dari keduanya.

Giza memutus adu pandang mereka, lalu berbalik dan melangkah lagi ke kamar. Adu mata dengan Benny hanya membuang waktu dan kembali melukai hatinya jika mereka akhirnya bertengkar lagi. Lebih baik masuk ke kamar dan tidur, karena besok ia berencana menghabiskan waktu sepulang kerja di galeri Indonesia Kaya.

"Za." Panggilan itu akhirnya membuat Giza berhenti di ambang pintu. Ia tak berbalik untuk menatap Benny, tetapi tak mengabaikan panggilan suaminya. "Aku bawa tiga potog baju kerja dari kantor. Sample. Kamu pakai, ya."

Benny biasa melakukan ini kepadanya. Membawakan baju produk kantornya. Bukan hanya baju kerja, tapi hingga dalaman wanita dan lingerie. Namun, dari semua itu, Giza hanya memakai dua potong saja, dan mencampakkan semuanya di lemari tanpa pernah ia kenakan.

Giza bergeming. Tak mengangguk pun menggeleng. Ia hanya mendengarkan, lalu melanjutkan langkahnya masuk ke kamar dan menutup pintu.

**** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top