11

"Giz, ke Wisma 46, yuk. Makan Yoshinoya." Pras menghampiri Giza di meja kerjanya. Setelah mendapat anggukan dari Giza yang masih fokus dengan data-data pada sistim pengadaan barang di layar kerja Giza, ia mengambil tumbler gajah di meja perempuan itu dan mengintip isinya. Teh hitam. Giza menyeduh the celup, entah Earl Grey atau Yellow Label dan menjadikan minuman itu teman kerjanya. "Masih lama?"

"Sebentar lagi, Pras." Giza masih fokus pada angka-angka harga dan nominal pajak yang tak boleh salah. Revisi purchase order butuh proses yang tak sederhana dan singkat. Ia harus bekerja dengan teliti agar tak ada kesalahan. Bekerja dua kali dengan dalih pembetulan rasanya menjengkelkan. Selain membuang waktu dan tenaga, hal itu menandakan bahwa performa kerja tak sebagus yang diharapkan.

Pras meninggalkan Giza yang masih konsentrasi. Pria itu membawa tumbler gajah ke pantry, untuk membuang sisa teh celup yang entah sudah dari jam berapa, lalu mencucinya. Ia akan mampir ke Starbucks Wisma 46 dan membelikan Giza cokelat hangat atau green tea latte kesukaan perempuan itu.

Senyum Pras terbit saat Giza sudah menunggunya di depan lift. Perempuan itu tengah fokus pada ponsel dan mengetik entah apa.

"Ngapain, sih?" Pras mengintip layar ponsel Giza setelah menekan tombol tanda panah ke bawah. "Dindy?"

Giza menoleh kepada Pras. "Iya, Dindy. Lagi ngomongin kamu."

"Kenapa aku?" Pras bersedekap dada. Mendengar nama Dindy, egonya jadi terusik. Ia tentu belum lupa pertengkarannya dengan Giza beberapa hari lalu di Grand Indonesia. Ia tak menyukai ide tentang mencoba membuka hati untuk Dindy hanya demi memenangkan perasaan cinta perempuan itu kepadanya. Pras pria yang tak suka egonya dipermainan oleh perempuan semudah itu.

"Gak apa-apa." Giza menutup ponselnya, lalu menyimpan bend aitu di saku cardigan. "Kami bahas soal kamu yang gak mau dekat dengan dia. Memberikan dia pengertian, kalau perasaan gak bisa dipaksa. Kamu setuju tentang itu, kan?"

Lift berdenting dan pintu besi itu terbuka. Giza dan Pras masuk bersama beberapa karyawan lain yang juga ingin mencari makan siang atau menghabiskan jam istirahat yang dirasa singkat. Mereka terdiam di antara kerumunan manusia berbusana formal yang juga memasuki lift. Pras mengurung Giza yang menempel dinding lift dengan kedua tangannya. Mereka berhadapan dan sangat dekat.

Giza bisa merasakan embusan napas Pras yang beraroma kopi. Pria itu penikmat kopi dan selalu memiliki satu gelas di meja kerjanya untuk teman mengerjakan tugas. Mata Giza menyorot Pras dengan saksama. Hatinya bertanya, apakah pantas membuka satu ruang untuk pria ini dan mempersilakannya mengambil alih perasaan dan pikiran? Apa bisa cinta hadir dari perhatian dan kasih sayang yang pria ini berikan? Apakah akan berhasil dan bahagia, andai ia meninggalkan Benny dan beralih pada pria ini?

Denting lift dan pintu yang terbuka, membuat Giza terkesiap. Para karyawan yang satu lift dengannya keluar satu per satu, disusul dirinya dan Pras. Mereka keluar gedung perkantoran itu dan berjalan santai menuju gedung Wisma 46. Pras membawa tas kain berisi dua tumbler yang akan dia refill di Starbucks sekalian makan siang di tempat kesukaannya.

"Original beef bowl regular, ya, Pras. Sama ebi fry dan egg roll. Minumnya biasa, mineral water aja, yang dingin." Giza memberikan Pras kartu debitnya. "Aku yang bayar."

Pras menggeleng. "Aku bayar sendiri. Pake kartuku aja."

Giza mengangguk, lantas meninggalkan Pras di antrian kasir Yoshinoya. Ia mengambil satu meja yang hanya diisi dua kursi dan terletak menempel dengan kaca. Giza kembali membuka ponsel sambil menunggu Pras dan melanjutkan obrolannya bersama Dindy.

Bagaimanapun, ia prihatin dengan Dindy yang harus bertepuk sebelah tangan. Jatuh cinta rasanya indah dan Giza setuju tentang itu. Namun, keindahan baru akan terasa nyata jika cinta yang dirasakan bisa terbalas. Keindahan tercipta karena adanya keseimbangan. Saling memberi dan menerima. Hal itu berlaku juga untuk cinta. Dindy mencintai Pras dan berharap Pras membalasnya. Sayang, alih-alih menerima, Pras justru marah kepadanya dan menegur keras Giza agar tak lagi mencoba mencomblanginya dengan siapapun. Giza paham dengan perasaan Pras dan ego pria itu yang terusik karenanya. Mau tak mau, Giza memberikan pengertian kepada Dindy tentang rasa yang tak bisa dipaksakan.

Meski prihatin dengan Dindy, Giza juga sadar bahwa nasibnya tak lantas lebih baik dari sang sahabat. Cintanya juga bertepuk sebelah tangan. Ia pernah mencintai pria begitu dalam untuk pertama kali dalam hidupnya. Menemukan sosok yang ia Yakini bisa menjaga dan membahagiakannya. Sosok yang dimatanya tampan, sopan, berwibawa, cerdas, dan berkarisma. Sosok yang menunjukkan apa itu ketulusan dan kasih sayang. Sosok yang selalu ia sebut namanya dalam setiap doa dan harapan.

Sosok yang sayangnya, justru menorehkan luka paling dalam dan parah pada hatinya. Luka yang membuatnya harus ditambal dengan kebencian dan dendam. Luka yang membuatnya membentengi diri, tak peduli dengan norma dan kenyataan bahwa ia adalah istri dari sosok itu.

Luka yang ... membuatnya menekan tombol merah untuk menolak panggilan suaminya sendiri.

"Kok direject?" Pras datang bersamaan dengan gerak jari Giza menolak panggilan Benny yang ketiga kalinya.

Giza tak menjawab dan memilih mengambil mangkuk nasi miliknya dan air mineral. Ia membuka botol mineral itu dan meneguknya seakan sudah dua hari berjalan di gurun pasir panas tanpa henti.

Pras tak banyak bertanya lagi dan memilih menata makanan mereka di meja. Ia mengambil sumpit miliknya dan mulai menikmati makan siang. Hening menjeda selama beberapa saat. Mereka makan tanpa bicara seperti biasanya. Pras tahu Giza sedang tak ingin membahas apapun setelah pria bejat itu menghubunginya.

Andai. Pras benci kata itu, tetapi pikirannya justru terus menyebutkan pengandaian yang bisa mengubah kondisinya kini. Andai saat Giza sadar bahwa calon suaminya memiliki anak dengan perempuan lain dan ia langsung mengambil Giza, keadaannya pasti tak begini. Atau andai, andai ia tak menghubungi Giza saat menemukan Benny bersama gadis muda dan mendapati pria itu mencium kepala si gadis, Giza pasti tak tahu tentang aib yang suaminya simpan. Setidaknya, Giza tak harus menderita karena hatinya yang remuk atas fakta itu.

"Giz ...." Pras mencoba memecah keheningan diantara mereka. Restoran ini sedang ramai-ramainya. Semua kursi yang tersedia sudah penuh dan nyaris semua manusia di ruangan ini bicara. Namun, keriuhan itu tak membuat suasana mereka cair. Pras justru merasakan beku dan canggung dari wajah Giza yang dingin dan keras.

Mendengar namanya dipanggil, Giza menatap Pras. Ia baru selesai menghabiskan mangkuk nasi miliknya dan meneguk air demi melepas dahaga. "Ya?"

Pras menggeleng. "Gak jadi." Ia melirik pada kudapan yang tadi Giza pesan. "Habisin itu udang goreng sama roll ayamnya. Makan yang banyak biar semangat kerja."

Giza tersenyum samar, lantas mengambil satu potong udang goreng. "Makan itu bukan hanya untuk kerja, sih, tapi juga untuk bisa tetap kuat di tengah gempuran ujian hidup."

Pras tersenyum skeptis. "Ujian hidup yang kayak apa?"

"Kayak ...," Giza memasang wajah berpikir sambil mengunyah udang goreng yang ia cocol saus sebelumnya. "Cinta yang bertepuk sebelah tangan? Rindu yang gak bisa lepas dan utarakan, atau kebencian yang akhirnya menguasai hati, demi berlindung dari rasa sakit? Semua itu bukan hanya butuh kesabaran, tapi juga stamina untuk berjuang agar tetap sabar. Jadi, mengkonsumsi makanan enak itu sangat diajurkan dan diperlukan pada saat menghadapi ujian hidup yang seperti itu."

"Oya?" Pras menaikkan satu alisnya dan sudut bibir pria itu terangkat. "Lalu—apa konsumsi makanan enak bisa membuat ujian hidup itu terlewati?"

"Sayangnya tidak selalu." Giza menggeleng sambil mengambil chicken roll. "Aku berharap Dindy bisa tabah karena perasaannya tak terbalas. Juga denganku yang masih berjuang mencari arah, kemana pernikahanku akan berjalan. Apa aku harus mengakhirinya atau melanjutkan dengan konsekuensi yang sebenarnya sudah aku ketahui di awal. Hanya saja, susah rasanya untuk menerima itu semua. Aku butuh waktu."

"Dan seumur hidup itu terlalu lama, Giz." Pras melanjutkan. Mata pria itu menyorot serius dengan wajah sungguh-sungguh. "Kamu harus bisa segera memutuskan ingin berjalan ke mana. Kanan atau kiri. Aku atau dia." Pras mendorong tempat saus mendekat kepada Giza, mempersilakan perempuan itu menikmati kudapannya. "Kamu tahu aku serius cinta sama kamu. Satu yang kusesali, kenapa aku tidak mengambilmu saat dia menyakitimu."

"Ada sesuatu yang mengikat antara keluargaku dan keluarganya. Ada alasan besar mengapa aku memilih untuk bertahan meski sakit."

Pras menghela napas panjang. "Tapi alasan besar itu tak lantas membuatmu bahagia selamanya. Aku hanya ingin kamu bisa menjalani hari dengan tenang, Giz. Aku hanya ingin kamu tersenyum dengan wajah seperti dulu, sebelum mendapati ternyata pria itu seorang bajingan. Kamu tahu mengapa aku bertahan dengan hubungan kita yang yang—seperti ini? Karena rasa cintaku, memintaku untuk memastikan kamu baik-baik saja!"

Giza terpaku. Setulus itukah Prasetya kepadanya?

Ia ingin membalas ucapan Pras, tetapi urung saat ponselnya berdering. Wina menghubungi.

"Di Wisma 46. Iya, gue langsung ke sana. Lo mau titip apa?"

Giza mendengarkan ucapan Wina dari seberang sana, sementara Pras membereskan sisa makanan. Ia menyiapkan tumbler yang mereka bawa untuk diisi minuman di Strabucks dan berdiri dari kursinya setelah dirasa siap.

"Ke Starbucks dulu." Pras berucap lirih kepada Giza.

"Oke. Gue bungkus bakmi aja, ya. Sama—mau hot chocolate? Gue beliin di Starbucks." Giza mengekori Pras yang lebih dulu keluar restoran itu. Percakapan masih berlanjut, dimana Wina memberikan list titipan makan siang dan camilan, lalu mereka janjian untuk bersantai sejenak di Hutan Kota setelah jam kerja.

"Green tea latte?" Pras bertanya saat mereka sampai di gerai minuman kesukaan mereka.

Giza menggeleng sambil menutup panggilannya bersama Wina tadi. "Green tea lemon, with full of ice and half sugar. Aku harus minum yang segar-segar agar gak ngantuk." Ia lantas mengantungi ponselnya dan mengambil kartu debit. "Aku beli bakmi dulu, ya. Wina titip chocolate ice normal sugar sama quiche. Katanya dia laper banget habisa visit vendor sama Irna."

Pras mengangguk, lantas menuju kasir.

"Pras." Giza yang sudah berjalan keluar, tiba-tiba berhenti melangkah dan berbalik menatap Pras. "Nanto sore ke Hutan Kota, ya. Wina ngajakin. Kita juga udah lama gak ke sana. Kamu bisa, kan?"

Senyum Pras tersungging bersamaan dengan anggukan pria itu. Bagi Pras, tak ada yang tidak bisa ia berikan kepada Giza. Jangankan waktu dan tenaga. Hati dan harapannya bahkan sudah penuh untuk Giza semua.

**** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top