Saya (Mama) Sayang (Mama)

♥♥ Special Part ♥♥

Tittle:
Saya (Mama) Sayang (Mama)
--------------

Cast(s):
Faissy Ahn (OC), Sea Azalea (OC), Mama
-------------------

Genre(s):
Mental illness | Hurt
----------

[ ••• ]

Mari masuk sebentar ke dalam hidup Faissy; gadis berusia enam belas tahun yang sebenarnya tak terlalu dibutuhkan. Padahal ia menyayangi orang-orang yang ia sayangi, tetapi entah kenapa asumsi itu tak ayal bereksistensi. Jadi bingung juga.

Salah satu orang yang Faissy sayangi adalah perempuan berambut lurus cokelat sebahu yang sedang duduk di hadapan. Ia Sea Azalea, kakak Faissy nan cantik. Kedai kopi sederhana merupakan tempat mereka berada sekarang. Oh, juga tak lupa dengan dua cangkir milkshake vanilla yang menjadi peneman.

"Sekolahmu baik-baik saja, kan?" tanya Sea sebelum mempertemukan bibir cangkir dengan miliknya.

Faissy mengernyit. Kakak lebih khawatir terhadap kondisi sekolah daripada diri Faissy sendiri. Ya, benar-benar sekolah-nya, bukan aktivitas Faissy saat di sekolah atau apalah itu.

"Kurasa kakak menginginkan jawaban yang terbaik. Jadi, ya, tentu saja. Sekolah saya sungguhan baik."

"Kamu tidak menerima penindasan atau semacamnya, 'kan?"

Dwiobsidian Sea menatap Faissy lamat; menuntut jawaban. Sementara si gadis agak tersedak saliva sendiri tatkala menjawab, "T-tidak, kok. Saya jadi heran kenapa kakak bisa bertanya begitu. Saya hanya tidak punya teman, tapi tidak pernah ditindas."

Bahu berbalut hoodie cokelat si lawan bicara melorot; lega. "Oh, setidaknya itu lebih baik," ujarnya. "Lantas, kamu sendiri bagaimana? Keadaan fisikmu dan batinmu, tentu saja."

Senyap mendadak menyergap sebab si gadis Fai membatu alih-alih berucap. Alunan lagu berputar syahdu; bisikan serta kekeh renyah; dentingan bel nan berbunyi tatkala pengunjung tiba; seolah mendominansi ruangan nan tak seberapa luas itu. Ia masih bungkam; Sang Kakak loyal menanti tanggapan.

Bukannya apa, sebetulnya. Faissy hanya tak menduga: sang kakak ternyata mengambil jalan berbelit untuk mencapai sesuatu. Jadi, berusaha mengembalikan kesadaran, mulutnya mulai berkata, "Padahal kakak tak perlu menanyakan kabar sekolah saya dulu jika ingin tahu kabar saya. Langsung saja bertanya-"

"Kamu bagaimana?" ulang Sea bersama penekanan; merasa tak puas. Wanita berusia kepala dua itu memang tersenyum selagi menopang dagu, tetapi aura yang ia tebar sama sekali kebalikannya. Bulu roma si adik sukses meremang dibuatnya.

"Saya ...."

Drrt. Drrt. Drrt.

Mereka berdua agak terperanjat begitu ponsel di atas meja bergetar. Dan, tentu saja, otomatis kalimat sebelumnya tak terlayang sempurna. Menyelisik, Faissy menemukan nama Sang Mama tertera di layar. Ia lantas memberi isyarat yang langsung dipahami Sea dengan mengangguk memersilakan.

"Sayang, kau di mana? Seharusnya kau sudah di rumah dua jam yang lalu, tetapi tak ada kabar."

"Sepulang sekolah, saya mampir dulu ke kedai, Ma."

"Bersama siapa? Kenapa tidak memberitahu mama?"

"Saya sendirian, dan ... maaf untuk itu."

Di detik selanjutnya, terdengar helaan napas jengah dari seberang sana sebelum Sang Mama bersua, "Sampai kapan kau akan seperti ini, Sayang?"

Akan tetapi Faissy tak menanggapi. Ia justru menyematkan senyum tipis seolah-olah orang di seberang sana dapat melihatnya. Saya sayang mama, katanya. Lantas sambungan telepon benar-benar ditutup begitu saja, sekalipun Sang Mama belum benar-benar selesai bicara.

"Mama, ya?" tebak Sea selepas si adik duduk kembali, dan langsung menerima anggukan pembenaran.

Atensi si gadis kemudian kembali pada kakaknya. Kedua insan itu melanjutkan obrolan, namun kalimat Faissy sebelumnya tak pernah terucap utuh. Hanya sebatas pada kata "saya" saja yang berhasil keluar. Sementara untuk kata "tidak baik-baik saja" sama sekali sulit terlontar.

Melirik arloji cokelat di pergelangan tangan, Faissy sedikit terperanjat. Pukul empat sore; tak terasa sudah satu jam mereka menyimpul ucap, membahas banyak hal. Hingga sesuatu nan krusial nyaris saja dilupakannya.

"Kak Sea, saya harus pergi," pamitnya. Faissy bangkit selagi menyampirkan tas, lantas melanjutkan begitu mendapati raut wajah heran si lawan bicara, "Ada suatu tempat yang ingin saya kunjungi. Ini sudah sore dan saya tidak ingin pulang terlambat."

Mendongak, Sea menatap si adik tak percaya. "Aku tidak punya banyak waktu luang untuk ini, kautahu?"

"Tentu saja saya tahu. Tetapi bukankah kita bisa-"

Drrt. Drrt. Drrt.

-bertemu lagi di sana?

Menatap layar ponsel, Faissy sontak menghela napas jemu. Lagi. Mamanya menelepon lagi. Alih-alih segera menjawab, gadis itu justru mulai meraup langkah. Saya pergi dulu, ya, Kak, bisiknya pada Sea sebelum benar-benar melenggang keluar; meninggalkan si kakak tercenung nan dilanda bingung.

Faissy menjejakki tiap inchi trotoar sembari atensi bertumpu pada ponsel yang terus bergetar. Mendesah jengah, ia lantas memulai ucap, "Saya sedang di jalan, Ma. Sebentar lagi."

"Ini sudah pukul empat sore, Sayang. Satu jam berlalu sejak mama menelepon terakhir kali."

"Iya, Mama." Tangan yang bebas dari ponsel menelusup ke dalam saku cardigan polkadot yang dikenakan. "Saya akan pulang setelah mengunjungi seseorang."

"Faissy, j-jangan bilang kau akan pergi ke-"

Kurva kelewat tipis tersemat di wajah pualam si gadis. Ya, tentu saja. Dwiatensinya sayu; menyorot sendu. Tentu saja mama tahu ke mana ia akan pergi. Lantas, kalimat sakral kembali ia loloskan, "Saya sayang Mama."

Dan sambungan diputusnya. Seperti biasa.

Sang Mentari perlahan turun mengecup bumi; lembayung senja berpendar di angkasa; sementara tungkai si gadis tetap menderap dengan setia. Dijejakinya trotoar penuh hiruk-pikuk, jalanan setapak dengan deretan pohon jarang-jarang, hingga tibalah ia di tempat tujuan beberapa sekon kemudian.

Hening nan bergeming; Faissy mematung dalam sejemang. Kedua matanya menyipit; menilik berbagai macam presensi di balik gerbang setinggi dua meter nan tengah di hadapinya. Namun, ponsel di genggaman terus bergetar sehingga atensinya teralih. Pun ia hanya mampu memijat pelipis tatkala mendapati si penelepon masih orang yang sama.

"Pulang sekarang atau mama akan membawamu ke rumah sakit jiwa, Faissy." Sang Mama di seberang sana langsung berucap tergesa, sementara lagi-lagi Faissy hanya menyematkan kurva seadanya. "Kau mendengarkanku, bukan?"

"Silakan saja," timpal Faissy tanpa gemetar. Mengeratkan cardigan yang membalut tubuh, ia mulai meraup langkah, lantas memungkas, "Saya tidak takut dengan gertakan macam itu, Mama. Tapi, tetap saja, saya sayang Mama."

"Tidak! Faissy, tu-"

Tit.

Gemeresak menyapa gendang telinga tatkala kaki berbalut converse biru lautnya menjejakki dedaunan kering nan berserakan. Pelan; takut-takut; sebab ia tak ingin menjadi dominansi di tempat sakral berpenghuni senyap nan absolut ini.

Sekadar menetralisasikan degup jantung yang sebelumnya berdetak abnormal, helaan napas diembuskannya. Tepat selepas Faissy berjongkok, sapaan lembut mengudara di sekon berikutnya; tepat di samping kanan.

"Oh, Fai? Jadi tempat tujuanmu ke sini, eh? Padahal bilang saja terus terang, biar aku bisa menemanimu di perjalanan."

Si gadis menggeleng pelan. "Saya ingin memberimu kejutan, Kak. Lagi pula saya tidak ingin merepotkanmu dan-"

Drrt. Drrt. Drrt.

-saya tidak mau orang-orang tahu kegilaan saya. Harusnya bibir plum itu melontarkan kalimat demikian, namun sialnya getaran ponsel kembali mengambil alih perhatian. Ya, ya, tentu. Faissy bisa saja mematikan ponselnya dan fokus terhadap apa yang tengah ia lakukan. Tetapi, tidak begitu, kawan. Tidak akan menarik. Percayalah.

Jadi, melempar isyarat serta mendapat persetujuan seperti biasa, ia memulai konversasi dalam jaringan, "Lima kali mama menghubungi saya dalam dua jam terakhir ini, kalau saya tidak salah hitung."

"Pulang sekarang, Faissy Ahn. Aku tidak sedang main-main."

Ia mendengus, "Sebentar lagi saya juga akan pulang, Mama. Tidak perlu cemas."

"AKU AKAN MEN-"

"Saya sayang Mama," potongnya. Pula memasukkan benda persegi panjang tersebut ke dalam saku secepat kilat.

Sang Kakak masih berdiri di samping; menyelisiknya kelewat intens. Decakan tak percaya sesekali ia layangkan, sementara adiknya tetap tercenung menghadap gundukan tanah berbatu nisan. Mereka masih dililit bungkam. Desing angin serta desauan mengambil alih dalam sejemang. Namun, tak terasa bulir air menetes perlahan dari pelupuk mata si gadis; pelan di awal, deras di akhir.

Menyejajarkan tinggi, Sea mendaratkan tangan di pundak si adik sebelum bersua, "Kenapa harus membohongi dirimu sendiri, hm? Kau kesakitan selama ini, Fai. Begitu pula dengan mama kita. Tidakkah kau kasihan pada keluargamu yang tersisa?"

Di penghujung senja, isakan menyayat hati kian membahana. "Saya kasihan pada mama, tetapi saya tidak bisa jauh-jauh darimu, Kak," ujarnya, bernapas kepayahan. "Saya ingin ikut pulang bersamamu, Kak Sea. Bawa saya."

"Kau tidak bisa pergi semaumu, Fai. Ini belum saatnya."

"Jika saja setahun lalu kakak mengalahkan penyakit kanker yang kakak idap," Jeda sejenak; si gadis berusaha menahan ingus yang mulai mencair selagi meraup pasokan oksigen ke dalam paru-paru. "mungkin saya tidak akan serindu ini pada kakak. Saya juga tidak akan seberani ini untuk datang ke makam kakak dengan membawa pisau lipat di dalam saku cardigan saya. Perlu kakak tahu, saya ingin memulai hidup yang baru di sini, bersamamu, Kak Sea."

Tersebutlah, gulita benar-benar mengusir cahaya; rembulan mengambil alih singgasana mentari; malam pun bereksistensi. Kendati demikian, kedua insan itu masih di posisi semula. Saling merengkuh sementara jangkrik memekik gaduh. Aura sekitar pemakaman seharusnya kelam nan menakutkan (terlebih saat malam), tetapi tidak begitu bagi si gadis ber-cardigan.

Ponsel di dalam sakunya terus bergetar. Tujuh panggilan tidak terjawab. Faissy sudah terlalu lemas; air muka menegang; bibir pucat pasi; keringat mengucur deras membelai setiap inchi pahatan wajah. Cairan pekat berbau anyir tak hentinya mengalir dari pergelangan tangan. Cardigan serta seragamnya yang semula polkadot dan putih-abu, warnanya kini serupa; merah.

Sepasang netra lentik itu menatap cakrawala, namun hanya hitam yang didapat alih-alih gemerlap bintang serta rembulan. Ponsel dalam saku terus bergetar. Enam belas panggilan tidak terjawab.

"Saya sayang Mama," ujarnya di detik penghabisan; nyaris tak terdengar sebab intensitas gelombang amplitudonya terlalu lemah dibanding nyanyian hewan malam. Berusaha menyematkan kurva terbaik di bibir, ia pun memungkas, "Dan saya ... sayang mendiang kakak saya. Kak ... Sea." [ ]

-FIN-

Ditulis: December 21st s/d December 24th, 2018
Dipublikasikan: 25 Desember, 2018

Didedikasikan untuk:
- My Mother and;
- zseagoatt

Note; Pertama, bagi yang masih belum paham, saya coba jabarkan.

1) Tokoh Faissy Ahn mengidap depresi akut, dia begitu karena kehilangan banget pasca meninggalnya sang kakak setahun lalu karena kanker. Tempat yg ditujunya itu kuburan si kakak, dia mau bunuh diri di sana.

2) Tokoh Mama itu khawatiran. Makannya setiap Faissy ngobrol atau ngelakuin satu hal, dia trs nelpon dan bikin "aktivitas" Faissy keganggu. Dan, kenapa judulnya Saya (Mama) Sayang (Mama)? Itu maksudnya saat Faissy lagi ngomong, kepotong mulu sama panggilan dari mamanya. (Kuharap kalian ngerti sama bahasaku yg belibet ./\.)

3) Tokoh Sea itu sbnrnya mereflesikan kakak (di wattpad) saya, Kak Terra. Tapi eits, bukan berarti dia udah ga ada (maaf kak ter ;<) dia cuman sebagai refleksi "kakak aku yang gabisa hidup bareng-bareng di samping aku". Mksudnya, kita kan kenal di dunia maya, tapi aku udh anggep dia kakak, cuman kita belum bisa ketemu dan hidup berdampingan/ see each other gitu.

And ... Happy Birthday to my greatest mother ever and my lovely sister kak Terra! All the best for you, of course. I hope Allah will always be blessing you. Take good care of yourself, eat well, and sleep well too, bcs i don't wanna see you guys get sick. I love youuuuu 💜

P.s Aku kepikiran ini baru akhir-akhir ini, sih. Aku pengen bikin projek juga buat kalian, kak, bukan hanya buat Bangtan. Karena kalian juga berperan penting dlm kebahagiaan aku *cielaahh. Jadi, drop your birth date here, please 🙏

Nara loves you all 💜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top