Jungkook Orang Yang Hebat #2
Tittle: Jungkook Orang Yang Hebat
Cast: Jeon Jungkook (BTS), Micassa (OC)
Genre: Slice of Life, Drama, Mental Illness
#2
Dia Bangkit Kembali
19th April, 2019 | 3.16 PM
[•••]
Gadis yang Jungkook temui beberapa waktu lalu itu bernama Micassa. Ya, agak terdengar asing di telinga, namun demikianlah si gadis memperkenalkan dirinya.
Si pemuda Jeon risi, pada awalnya. Gadis itu selalu hadir, mengekori, menemani, bahkan nyaris memaksa ikut tidur di apartemennya jika saja Jungkook tak menolak. Namun seiring menit merengkuh jam, pula hari merengkuh minggu, mendapati presensi gadis berambut cokelat dengan kemeja melingkar di pinggang itu menjadi dambaan tersendiri baginya. Kautahu, menyenangkan rasanya. Seperti mendapatkan kembali sokongan hidup yang sempat hilang belakangan masa.
“Jungkook, kau menunggak bayaran sewa apartemen, ’kan?” tanya Micassa begitu mereka bertemu kembali di tempat yang sama; jembatan layang di atas permukaan jalan.
Ada kuriositas tersendiri yang bereksistensi, namun si Jeon tak terlalu peduli kemudian lebih memilih menyahut santai, “Sudah nyaris dua bulan. Pemiliknya selalu datang menagih, tapi aku juga selalu meminta waktu tambahan untuk melunasi karena aku bingung harus bagaimana. Aku sudah tak punya uang bahkan untuk biaya makan sehari-hari.”
“Tapi kau masih hidup sampai sekarang, itu hebat.”
“Maksudmu?”
Kurva manis terpamer apik di wajah si gadis, menjadikannya indah luar biasa terlebih dengan penampilan khasnya: surai cokelat sebahu berponi, kemeja melingkari pinggang. Ia masih cerah ceria tatkala menyahut, “Ya, kau hebat. Jeon Jungkook orang yang hebat. Tidak sedikit orang-orang di luar sana yang langsung menyerah jika diberi cobaan seperti itu, loh. Beberapa di antaranya banyak yang sering mengeluh tak terima, bahkan ada yang dengan pasrahnya mengakhiri hidup sendiri. Well, walaupun kau nyaris melakukan tindakan serupa, tetapi buktinya kau masih menjalani hidup sampai saat ini. Itu artinya kau orang yang sangat hebat. Jadi, Jungkook hebat, bagaimana jika kita mencari kerja agar kau mendapatkan sumber pendapatan lagi?”
Kalimat yang terlontar dari belah bibir Micassa tak hanya sebatas merambat lewat partikel udara saja, tetapi menjadi suatu yang nyata. Selepas merapikan diri—mencukur rambut, memakai pakaian pantas, menyemprotkan wewangian—keduanya menyusuri tempat demi tempat, petak demi petak, blok demi blok. Awalnya sulit, memang. Tolakan mentah-mentah beberapa kali diterima, bahkan bentakan berisi pengusiran tercecap koklea begitu tak acuhnya. Namun, selepas beberapa hari berjuang, akhirnya Jungkook bisa bernapas lega: menjadi pelayan di salah satu restoran akhirnya ia dapat sebagai pekerjaan.
Tersebutlah, pria bergigi kelinci itu bahagia bukan kepalang, sebab akhirnya ia menerima gaji pertama selepas mengerahkan tenaga tiga pekan belakangan; kendati tak seberapa, menurutnya itu teramat berharga. Sialnya, segala sesuatu memang diciptakan berpasangan, ya? Ada bahagia, maka ada derita. Dan derita yang pria itu rasakan adalah karena tiga pekan pula Micassa tak menampakan eksistensinya—membuat rasa aneh berdenyut-denyut di dalam tempurung kepala.
“Kok, melamun begitu, Kook? Ada masalah?”
Jungkook sontak berhenti mengelap permukaan meja tepat selepas suara tersebut menyentuh rungu. Itu Jung Hoseok, pemuda beraura cerah yang menjadi rekan kerja barunya.
“A-ah, tidak ada apa-apa,” bohongnya. Kendati merasa kikuk, ia lantas kembali mengerjakan tugas. “Terkadang melamun dapat menenangkan kita, loh, Hoseok-hyung.”
“Beda lagi ceritanya kalau kau sampai kesurupan, ’kan?”
Tawa buncah lantas melelehkan sunyi; bergema di seisi restoran yang lenggang mengingat ini memang sudah beranjak larut malam. Jungkook tak bisa mengungkap kegundahannya pada siapapun, entah kenapa. Memendam dirasa jadi opsi terbaik baginya ketimbang blak-blakan begitu saja. Well, karakter manusia itu pada hakikatnya memang berbeda-beda, bukan?
Lantas bersama opsi tersebut yang digenggam teguh, tak terasa sepekan berlalu setelah penerimaan gaji; tetap, si gadis Micassa entahlah dimana rimbanya. Jembatan sebagai pertemuan sakral mereka tak pernah absen Jungkook kunjungi. Ia kesana nyaris setiap petang menjelang, dengan harapan yang sama: kemunculan si gadis Micassa.
Seperti saat ini.
Bila dikalkulasikan, kali ke sebelas Jungkook mengunjungi jembatan di pekan ini. Perbedaan yang didapat tak begitu signifikan: deru kendaraan loyal membisingkan, hiruk-pikuk tetap bergejolak. Yang sedikit berubah hanyalah suasana jembatan yang tak lagi lenggang, sebab kini para presensi acap kali berlalu-lalang.
Kendati hasilnya masih nihil, si Jeon tak ayal mengobservasi sekitar hampir tiap satu menit satu kali. Hingga pada akhirnya, seiring sensasi lelah yang terus menggerogoti tenaga, tungkai yang sedari tadi berdiri dengan sabar ia langkahkan juga. Pasrah sudah. Gadis itu barangkali tak akan pernah datang. Ya, meski gontai, ia tetap menjejaki jalan. Namun tanpa praduga, sesuatu membuatnya stagnan seketika.
“Gadis itu tidak akan pernah datang karena kau pecundang.”
Dalam. Tajam. Menusuk. Sontak Jungkook berbalik, mencari-cari, menyapu seluruh inchi, tetapi tak ada siapapun yang didapati. Suara tersebut seperti dilayangkan oleh wanita, namun tak ada wanita yang nampak tengah berbicara kepadanya.
“Bodoh. Bodoh. Bodoh. Kenapa kau tidak melanjutkan aksi bunuh dirimu saja?”
Mengerutkan kening intens, kuriositas seolah kian membludak; bergumul kesetanan dalam pikiran. Yang itu suara laki-laki, Jungkook duga. Nada berat, serak, dingin, nan sarat akan aksentuasi itu menjadi sebabnya. Akan tetapi sekali lagi, tak ada seorang pun disana yang tampak tengah berbicara padanya.
“Jangan, kau masih harus bertemu Micassa.”
“Pecundang, hahaha.”
“Tetap disini sebentar lagi.”
“Kau sudah mendapatkan pekerjaan, kenapa masih membutuhkan Micassa?”
“Jungkook, pergi sekarang!”
“Hahaha, kau sudah gila.”
“Kau tidak malu menjadi pusat perhatian orang?”
“Bodoh. Bodoh. Bodoh.”
“Mungkin dia sudah mati.”
“ARGH! HENTIKAN!” Jungkook meremas surai legamnya erat selagi menjerit frustrasi. Suara-suara tersebut kian gencar menyerbu; saling bertempur dalam kepala; sensasi pening serta berdenyut-denyut lantas menyiksanya. Ia masih merasakan nyeri luar biasa begitu kembali bersua, “Tunjukan dirimu! Jangan membuatku tersiksa!”
Pria berkaus kelabu dengan jaket hitam yang membalut tubuh ringkihnya tersebut goyah. Sekon demi sekon, gemetar menggerayangi sekujur presensi; sensasi panas bak berdesir dalam aliran nadi. Orang-orang sesekali meliriknya, ada yang berdecih, menatap iba bahkan mengintimidasi, namun ujung-ujungnya serupa: pergi begitu saja tanpa secuilpun rasa peduli. Kemudian, merasakan jiwanya tak kuasa lagi menahan, ambruklah tubuhnya serta seluruh pertahanannya detik itu juga.
Jeon Jungkook meredup, kendati tubuhnya kini bermandikan terik mentari. [ ]
***
A/n: Dalam proses pengerjaan cerita ini, alhamdulillah lancar banget, jadi aku seneng, ehehe. Aku nulis biasanya ngabisin paling sedikit satu minggu, tapi part ini selesai dalam kurleb tiga hari. Anyway, menurut kalian gimana part kali ini? Apakah ada yang mengganggu pikiran? Kalau ada pendapat/masukan/koreksian atau bahkan asumsi-asumsi yang kalian dapet tentang cerita ini, boleh banget share di kolom komentar^^
P.s Aku ganti cast perempuannya jadi “Micassa”, lagi kobam sama Home soalnya.
Nara loves yall *gives a lot of loves*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top