I Have To Say Goodbye
Tittle: I Have To Say Goodbye
Cast: Kim Seokjin (BTS), Ahn Hira (OC)
Genre: Drama, Psychological,
Hurt/Comfort
Recommended Song: Tonight by Jin BTS
[ ••• ]
“Kau akan selalu bersamaku. Berani berjanji?”
Vokal tersebut lembut sekali; gendang telingaku dibelai penuh afeksi. Damai rasanya. Angin bersemilir, gumpalan kapas di birunya bumantara berarak ceria, gemeresak dedaunan serta gemericik air menambahkan kesan sempurna. Pun, tak mau berdusta, pahatan rupawanmu itu buatku terpana. Kutemukan kerlap-kerlip indah di balik manikmu begitu kamu menatap lamat.
“Kenapa aku harus begitu?” Kita duduk bersebelahan dengan rumput hijau sebagai alas, pula pohon rindang sebagai naungan. Sungai berair jernih mengalir beberapa meter di hadapan, tetapi kamu—si pria berbibir tebal menggoda—masih asik menjadikanku sebagai tempat atensimu bertumpu, hingga tambahku, “Aku yakin kamu sudah tahu bagaimana jadinya jika aku berjanji, bukan?”
Tak ada ragu yang terselip saat kamu menyahut, “Ya, aku memang tahu. Kau hanya akan melanggar.”
“Kamu benar, tuh.”
“Tapi, tak bisakah kau tunda kematianmu, Hira?”
Memalingkan pandangan, kekeh miris terlahir dalam sepersekon. Pertanyaan itu sudah kedaluwarsa: barangkali sepuluh sampai dua belas kali terulang, kalau aku tidak salah hitung. Sempat kuduga kamu itu bodoh, tetapi rasanya tak mengenakkan jika aku berkata demikian—sebab kamu sebenarnya tolol.
Senyum getir terpatri di wajahku yang pucat. “Kamu punya waktu yang banyak, Seokjin. Kamu terbilang abadi, sementara aku tidak. Aku hanya mampu bertahan beberapa waktu saja—satu tahun bahkan terlalu lama.”
“Aku tetap ingin bersamamu, Ahn Hira,” tuturmu. Gelenyar ambigu lantas mengalir ke dalam sekujur presensi tatkala jemarimu menggenggam milikku erat. “Jangan mati, kumohon. Apa kau akan setega itu untuk meninggalkanku?”
“Aku harus mati, Kim Seokjin.” Kuselipkan aksentuasi di dalam kalimat itu; sengaja, sebab aku sungguh-sungguh.
“Omong kosong.”
“Padahal kamu tahu benar akan hal itu, ’kan?”
“Hira, pasti ada jalan lain.”
“Tidak, Seokjin,” tukasku seraya meneliti sepasang jelaga bulat itu intens—melirik mereka bergantian. “Hanya ada satu: kematianku. Jika aku tidak begitu, maka itu artinya kamu yang akan mati. Tidak ada jalan yang dapat membuat kita bersama lebih lama.”
Sedetik kemudian, kamu bungkam.
Sebenarnya aku tak tega menemukan seraut putus asa itu kamu tunjukan. Memang berat bagimu, aku tahu itu. Tetapi, apa yang dapat kupilih jika sebuah opsi saja tidak benar-benar ada? Aku sama bingungnya, hanya saja tak kuutarakan sebab aku paham bahwa hal tersebut mampu mempersulit keadaan—membuatmu semakin enggan melepas.
Kita masih di posisi semula; kontak mata yang sama sekali tak terputus jalinannya.
Melirik arloji keemasan yang melingkar di pergelangan kirimu, kurva terulas di wajahku saat berujar, “Aku bukan Tuhan. Aku hanya ciptaan-Nya, dan mungkin disini aku adalah ciptaanmu juga. Jadi jangan bersikukuh seperti ini, Seokjin. Lagi pula kamu akan dijemput beberapa menit lagi; itu berarti kita akan segera selesai.”
Tak ada sepatah kata pun yang kamu lontarkan sampai mobil sewarna arang membawamu—atau mungkin kita—ke tempat yang sedari awal kamu takuti. Sepanjang perjalanan hanya ada kesenyapan, tetapi kali ini belah bibir itu terus merapalkan kalimat “aku tidak mau kau mati” dalam frekuensi rendah. Kamu terbaring di ruangan enam kali enam meter dominan seputih gading; aku harus sedikit menunduk untuk bisa merajut pandangan jadinya. Seorang gadis berpakaian bernada putih formal duduk di sampingmu bersama berkas-berkas di pangkuannya—dia rapi sekali dengan surai kecokelatannya yang diikat itu, kalau boleh jujur.
“Seokjin, ini akan menjadi kali terakhir kau menginjakkan kaki di tempat ini jika kau mau bersungguh-sungguh,” jelas perempuan itu—aku tak tahu namanya siapa, lagi pula posisi duduknya dibilang bersebelahan dengan tempatku berdiri. “Selama ini perkembanganmu meningkat cukup pesat, kautahu? Kau sudah sepatutnya merasa lega, dan bersyukur, tentu saja.” Ada jeda, perempuan itu agaknya memberimu kesempatan untuk menyahut. Namun mengingat mulutmu tak kunjung terbuka, samar-samar kulihat dia tersenyum maklum sebelum berkata mantap, “Oke, sepertinya sudah cukup berbasa-basi. Jadi, sekarang tutup matamu dan rilekslah. Kita akan mulai.”
Kendati sempat menolak, pada akhirnya kamu tenang juga seiring berjalannya sangkala. Suasananya cukup hening, hanya ada tik-tok tik-tok yang berbaur dengan vokal lembut si perempuan bersurai kecokelatan. Aku sempat mendengar sekilas apa yang dia bicarakan: kau sudah berhasil meminum obat secara rutin, dan hanya tinggal melupakan. Lantas di sekon kemudian, seiring deretan gigiku yang tersemat apik, sensasi cerah terasa meletup-letup dalam relungku kendati ada sesuatu yang mengalir dari pelupuk mata.
Aku akan mati, tetapi aku bahagia.
“Kim Seokjin, senang bisa mengenalmu.” Tak ada respons apapun darimu saat aku berkata begitu. Namun tak apa, memang begitu seharusnya. Aku bersyukur. Perlahan presensiku memudar; berpendar bersama cahaya senja yang merangsek lewat gorden transparan penutup jendela. Hanya saja kendati pun aku mati, rasanya senang sekali sebab aku diberi kesempatan untuk mengudarakan untaian kalimat pungkas sebelum akhirnya sungguhan pergi, “Hiduplah dengan bahagia setelah ini, jangan berhalusinasi lagi, kamu harus benar-benar sembuh, Kim. Jadi jaga dirimu baik-baik, oke? Selamat tinggal.” [ ]
[ FIN ]
Written and Published: June 5th, 2019
A/n: Special thanks for our worldwide handsome: Kim Seokjin. His song has inspired me a lot. Aku sedari habis isya—sedari rilis sih sebenernya—ngedengerin lagunya dia yang “Tonight”, dapet ide dan langsung nulis sambil terus dengerin, aku ulang aja sampe mampus. Cause seriously, he has such an angelic and soft voice and it's so damn comfortable to be listened tho 😭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top