Dia Kesepian, Jadi Jangan Bertanya


'°•°~ Special Part ~°•°'

Slice of Life

Jung Hoseok (BTS), Airin (OC)

[ ••• ]

Jam istirahat kali ini lebih riuh dari waktu-waktu sebelumnya. Teriakan dan keributan seakan mendidih, membuat telingaku terbakar saja rasanya. Mau menyuapkan satu sendok nasi ke dalam mulut saja, sulitnya bukan main. Selera makanku mendadak menguap begitu saja.

"Jadi, cara makanmu begitu, ya?"

Pemuda berhidung bangir di depanku menangkup wajah selagi menatapku aneh. Oh, sial. Kautahu, sorot matanya itu membuatku kalap. Terlebih, posisi kami sekarang terbilang dekat. Aku merasa risi saja jadinya.

"Apanya, sih?"

"Itu," Dia menunjuk makananku dengan dagu. "Orang normal makan dengan memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya, tetapi kau malah memerhatikannya begitu. Memangnya kenyang?"

Merotasikan bola mata tak percaya, aku mendesis, "Ya, ampun, Jung. Jika kau bertanya pendapatku apakah itu lucu atau tidak, maka jawabannya seratus persen TIDAK."

Jung Hoseok terkekeh selagi menjauhkan diri. Oh, ya, ya, begitu. Satu helaan napas lega sukses kulontarkan. Begitu sedari tadi, Jung, jangan terlalu dekat. Rona merah menyemburat di pipiku untuk sejemang, dan kuharap Hoseok tak menyadarinya; well, dia sendiri kembali fokus pada makanannya, sih.

Awalnya, suasana diantara kami cukup tenang-oke, ini merupakan bentuk pengecualian untuk bisikan hiruk-pikuk nan berpadu layaknya dengungan. Aku fokus pada khayalan absurdku; Hoseok pada makanannya; orang lain pada kepentingan masing-masing.

Namun, ya, tidak ada yang bertahan lama disini. Sebab beberapa sekon kemudian, sebuah teriakan menggelegar seiring suara nyaring nan memekik rungu.

"Makanannya tidak enak! Sayur yang lembek, daging alot, nasi basi; kauingin meracuniku apa bagaimana, hah?!"

"Maafkan saya, Tuan. Tetapi makanannya sudah terjamin sehat."

Seluruh atensi mendadak bertumpu pada satu orang; pemuda bersurai pirang menyala yang berkacak pinggang. Nampan, sumpit, sendok, piring, serta menu makan siang berserakan begitu saja di lantai. Sementara di depan si pria, seorang wanita paruh baya berapron polkadot nampak membungkuk beberapa kali dengan kata maaf yang terus terucap.

Kendati cukup jauh-mengingat posisi dudukku paling pojok-tetapi makian yang terlontar dari bibir plum si pria terdengar begitu jelas menampar telinga. "Dasar koki sialan, masak saja tidak becus begini," sekiranya begitu yang kutangkap, pula memantik keriuhan yang kian membuncah. Beberapa ada yang mencibir, menyalahkan si pria, dan sebagian lagi lebih memilih diam. Termasuk aku.

Masa bodoh, kulirik Hoseok; ia nampak fokus pada makanannya, jadi aku pun mulai melakukan hal yang sama. Namun, baru saja sesuap nasi masuk ke dalam mulut, pria itu tiba-tiba berbicara yang nyaris membuatku tersedak dibuatnya, "Ck, dia hanya bisa membuat gaduh saja. Mengganggu sekali."

Mengernyit, aku menimpali, "Kau mengenalnya, Jung? Orang itu."

"Ya, tentu saja. Namanya Park Jimin, dia salah satu murid di kelasku. Tapi kemunculannya di sekolah sangat jarang, asal kautahu. Dari rumor yang kudengar, katanya dia mengalami depresi akut karena perceraian orang tuanya. Mungkin itulah sebabnya dia sering membuat kekacauan disini. Dia hanya membutuhkan perhatian, kurasa."

"Ternyata kau penggosip juga, ya?" godaku seraya terkekeh angkuh. "Ceritamu barusan sangat mendetil, tuh. Padahal itu urusan hidup orang, loh."

Aku terkikik sementara Hoseok nampak memasang raut muka tak suka. Biarkan saja, sih. Melihatnya menyipitkan mata bernada mengintimidasi justru menjadi hiburan tersendiri. Memang terdengar aneh, tapi memangnya aku peduli?

Jadi karena belum puas, kugoda dia sekali lagi, "Hoseok ternyata mengamati hidup orang diam-diam, ya?"

"Hentikan, Rin."

"Jangan-jangan kau juga tahu hal-hal detil tentangku?"

Tiba-tiba dia meletakkan sumpit serta sendoknya di nampan, matanya sempat menelitiku tajam sebelum dia bangkit dan berkata datar, "Aku pulang saja kalau begini."

Astaga, Jung Hoseok!

Tanpa sadar tawaku membuncah begitu saja. Hoseok itu tipikal pria yang santai, punya aura, tetapi sekalinya digoda seringkali merajuk seperti anak kecil. Lucu? Sangat. Menghibur? Tentu saja. Hanya pria ini satu-satunya yang bisa membuat wajahku berolahraga (tersenyum dapat merenggangkan otot-otot wajah, bukan?). Selain dia, kurasa tidak ada.

Tetapi, menyadari sikapku yang sepertinya keterlaluan, alhasil kucekat tangannya, memberinya isyarat untuk kembali duduk, lantas berucap, "Mana bisa kau pulang sebelum jadwalnya?"

Pria itu akhirnya menurut, meski cibiran tetap lolos dari belah bibirnya, "Sepertinya kau mengidap bipolar. Bukan begitu, Rin?"

Ah, aku mengerti. Refleks, aku mengangguk-ngangguk. Hoseok tengah balas dendam, jadi tak heran perkataannya begitu. Level kekesalannya barangkali sudah mencapai puncak. Lihat saja dari wajahnya yang merah padam.

"Eh, tapi ...," Dan, ya, seolah cangkir insting menggodaku belum terisi penuh, terlontarlah pertanyaan yang sontak membuat kekesalan Jung Hoseok meledak-ledak, "kenapa Jimin berteriak-teriak begitu, ya? Mengingat kau pengamat yang baik, jadi kau pasti tahu, bukan?"

"Astaga, Airin. Sudah kubilang dia kesepian, jadi jangan lagi bertanya!"

Ah, hiburan yang sangat menghibur.

***

Ditulis dalam rangka ulang tahun pria tercerah yang pernah saya miliki: Jung Hoseok.

Hei, Hoseok-ssi, di usiamu yang bertambah, semoga kebahagiaan juga kian bertambah. Semoga kamu mendapatkan apa yang sedari awal ingin kamu gapai. Semoga kesehatanmu tetap terjaga, dan kamu memiliki banyak waktu untuk istirahat.

Our real hope and sunshine, we love you to the moon and back 💜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top