Suara Hati
Sebenarnya aku bingung, seperti apa sikapku di mata kalian? Bagaimana cara kalian melihatku? Samakah dengan caraku memandang dan menilai kalian? Aku penasaran, serius!
Sebenarnya, banyak sekali pertanyaan yang terlontar dalam hati tiap kali memerhatikan mereka. Rasanya ingin menyapa sesering mungkin, memulai pembicaraan yang mungkin akan terasa canggung tapi berakhir nyaman. Layaknya hal pertama yang selalu mengawali sebuah persahabatan. Aku mau seperti itu.
Sebenarnya hatiku sangat berisik hingga terkadang ingin kuredam suaranya dengan
busa atau kain jika saja bisa. Dia selalu bertanya, dia selalu memikirkan banyak kemungkinan. Terkadang aku memikirkan hal ini: pernahkah hati tidur? Apakah hati akan ikut berhenti berbicara ketika kita memejamkan mata?
Aneh memang, tapi percayalah hal itu selalu mampir di kepala secara tiba-tiba. Aku tidak bisa bilang tidak punya teman. Karena nyatanya mereka---anak-anak yang duduk di kelas ini---adalah temanku. Setidaknya mereka tahu siapa namaku. Kurasa ada banyak yang mengenalku karena sikapku yang kelewat pendiam. Hanya mengenal, tolong diingat. Tapi belum ada yang bisa memahamiku.
Tapi kalau dipikir-pikir; bagaimana bisa aku meminta orang lain memahamiku ketika aku pun tidak memahami diriku sendiri?
Seandainya orang-orang tahu bagaimana sulitnya mengeluarkan suara, seandainya mereka mau memosisikan diri mereka pada orang sepertiku, dunia pasti akan nyaman. Tidak ada lagi manusia-manusia sok tahu yang berkeliaran di muka bumi. Tidak ada lagi manusia-manusia picik yang selalu membandingkan seseorang dengan yang lain. Apalagi membandingkannya dengan diri mereka sendiri.
Dunia tidak sebaik itu, aku tahu.
"Kamu itu kalau lewat di depan orang bilang permisi, jangan diem aja. Nggak sopan."
"Aku bilang kok, cuman nggak kedengeran aja."
Aku tidak berbohong, aku selalu mengatakan (mungkin jauh lebih tepat jika aku bilang menggumamkan) permisi tiap kali melewati seseorang atau sekumpulan orang yang membuatku selalu bertanya; untuk apa duduk-duduk di pinggir jalan? Baiklah sekarang aku mulai egois sepertinya.
Tapi sungguh, ketika ibu berulang kali menegurku seperti itu aku hanya diam dan lebih sering memendam kesal. Kenapa sih tidak bertanya padaku kenapa aku jarang bersuara? Atau setidaknya mencari tahu apa yang membuatku enggan. Daripada terus-menerus menegur dan menyuruhku.
Aku sulit mengatakan permisi dengan suara yang keras. Karena aku tidak nyaman ketika melewati mereka. Aku tidak bisa menatap mata mereka. Aku bahkan ingin memutar arah untuk menghindari mereka. Sayangnya jalan ke rumah hanya punya satu arah.
"Ya sudah kalau begitu, berhenti memikirkan apa yang akan mereka pikirkan tentangmu ketika berhasil melewatinya."
"Mana bisa begitu?"
Dia menghela napas pelan, lelah mendengarkan segala keluh kesah yang kuberikan. "Lalu bagaimana? Kamu tidak mau menyapa tapi tidak mau juga dianggap tidak sopan. Kamu rumit."
Bahkan ketika aku sedang menata hidangan di meja, semua yang dia katakan selalu terulang dengan sendirinya. Dia yang susah payah membuka kotak suara milikku, bukannya dijaga malah dirusak begitu saja. Seandainya kamu tahu apa yang membuatku lebih menutup diri dari sebelumnya, apakah kamu akan meminta maaf seperti seharusnya?
Hatiku kembali bertanya.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top