Sepatu Cinderella
Tidak banyak yang tahu betapa berharganya sebuah sepatu. Mereka yang selalu memamerkan apa yang mereka pakai sebenarnya tidak mengerti dengan apa yang dinamakan perjuangan. Orang-orang itu hanya tahu bagaimana caranya menjadi sosok superior di sebuah kawanan.
Hanya karena sebuah sepatu memiliki sisi layaknya orang kelaparan, bukan berarti bisa seenaknya di buang. Atau dijadikan sebuah candaan yang sebenarnya cukup menyakitkan. Mereka tidak tahu dan tidak mau tahu, yang terpenting bisa tertawa bahagia. Tidak peduli jika ada hati yang terluka.
Yang penting bukan aku, maka semuanya baik-baik saja.
"Kamu lagi ngapain, sih?" Dia bertanya diiringi tatapan mencela, ketika seseorang tengah sibuk mencari sebelah alas kakinya. Bukannya membantu, ucapan selanjutnya malah sukses membuat sosok di bawahnya membatu. "Ya ampun, benda rongsok kayak gitu aja dicariin. Lembiru doong!"
Lembiru.
Lempar yang lama beli yang baru. Mudah sekali si cantik itu mengatakannya. Ah, iya! Hampir saja lupa, salah satu sudut bibirku terangkat naik begitu mengingat alasan di balik sikapnya yang selalu meremehkan dan arogan. Ia mudah mengucapkan kalimat itu semudah ia mendapatkan barang yang diinginkan.
"Permisi."
Tidak peduli seolah-olah tuli, lenganku terjulur ke arah sudut meja tempatnya duduk. Sepatu rongsok itu ada di sana. Menghela napas pelan, suaraku kembali terdengar. "Maaf, sepatunya kamu injak. Mau aku ambil."
Apa sih susahnya mengangkat kaki sebentar? Tidak akan membuang waktu sampai lima detik, setidaknya pertanyaan itu terus bergulir dalam kepalaku lebih dari satu menit. Hingga akhirnya ia mengalah dan mengijinkanku mengambil sepatu itu diiringi gerutuan 'membuang-buang waktuku saja'.
Meski samar namun ucapan itu tetap sampai pada telinga. Lucu sekali, bukan? Padahal di lihat dari sisi mana pun jelas-jelas aku sebagai korban yang pantas mengeluarkan untaian kata itu atau bahkan umpatan sekalian bila perlu. Aku yang diganggu olehnya saja diam--malas ribut--sedangkan dia yang mengganggu malah kalut.
Masalah pertama selesai, kejadian selanjutnya benar-benar di luar dugaan. Mereka semua tertawa lepas saat kepalaku terantuk meja hingga menimbulkan suara nyaring. Sukses mengundang pening.
Tidak seberapa pusing juga sebenarnya. Lebih pusing memikirkan respons aneh mereka ketika mendapati seseorang terluka. Seolah kejadian tersebut merupakan hiburan gratis yang begitu sayang jika dilewatkan. Menggembungkan pipi, lantas menarik napas beberapa kali--mencoba meredam emosi.
Akhirnya aku memutuskan untuk kembali duduk di urutan bangku paling ujung. Supaya tidak menjadi pusat perhatian, jika kalian ingin tahu. Itu adalah sebuah rahasia yang hanya kubagi pada orang-orang kepercayaanku saja.
Sepatu cokelat ini harus lengkap, cukup sudah aku menjadi cinderella pagi ini.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top