Kepingan Kaca
Seseorang yang terlalu banyak berpikir cenderung lebih sedikit mengeluarkan kata. Mereka lebih suka menganalisa keadaan sekitar daripada harus sesumbar membagikan rumor rendahan. Namun, hal itu malah membuat Mereka terasingkan dari pergaulan.
Apa dunia sudah benar-benar gila?
Tawa begitu mudah mengudara ketika kabar miring memasuki gendang telinga. Kenapa begitu bahagia mendengar kabar seseorang menderita? Masih pantaskah mereka menyebut diri mereka manusia?
Ah, aku baru ingat. Simpati hanya diberikan kepada mereka yang membuatmu berhutang budi.
Pagi tadi ibu tiba-tiba mengetuk pintu kamar. Entah atas dasar apa, tiba-tiba saja ibu memberiku gantungan kunci berbahan kaca. Bentuknya lucu sekaligus cantik.
"Ulangtahunku masih tiga bulan lagi, Bu," ucapku sembari melihat gantungan itu sekilas. Pura-pura merasa keberatan padahal senang.
"Pakai saja, kakakmu membuatkannya untukmu."
Anggukan serta senyum samar menjadi responsku setelah tahu kakak yang membuatnya. "Bagus, sampaikan rasa terimakasihku padanya, Bu."
Entah orang-orang akan menilaiku bagaimana. Mereka mungkin akan menganggapku gila karena tersenyum terus sambil melihat gantungan kaca yang kugenggam. Sesekali aku memegang ujungnya, membiarkan benda itu menggantung tepat di depan mata. Sungguh, bahagia itu ternyata sederhana.
Seseorang sempat bertanya padaku, kenapa aku lebih suka diam dan menyendiri. Namun, sampai saat ini aku belum menjawabnya. Kemarin lusa ketika dia menarik tanganku ke luar dari perpustakaan, aku hanya memberikannya senyum tipis sebagai jawaban. Diselingi kalimat 'nggak apa-apa' yang selama ini menjadi untaian kata favorit ketika malas menjelaskan.
Dan sekarang aku akan menjawabnya sedikit lebih benar.
"Karena bagiku, manusia itu sama seperti kaca."
Matanya menyipit begitu aku mengatakan jawaban atas pertanyaannya kemarin. Dia termasuk orang yang beberapa waktu lalu mengatakan secara terang-terangan jika aku adalah orang paling misterius---cenderung aneh---di kelas.
Awalnya dia menjauhiku, tapi sekarang anak ini malah merasa penasaran akan sikapku.
"Bisa diperjelas?"
Aku mengangguk, lantas mengatakan semua alasanku padanya. Dia terdiam, lalu tersenyum. Setelah itu pergi meninggalkanku sendiri, aku pun hanya tersenyum.
Menurutku manusia adalah kaca. Mereka indah tetapi juga rapuh di saat yang sama. Kalian harus memperlakukan mereka dengan baik, agar tidak pecah. Dan salah satu cara terbaik adalah dengan diam.
Karena lain halnya dengan hiasan kaca yang baru pecah ketika ada benda berat yang menimpa atau terjatuh dari ketinggian, manusia justru bisa berubah menjadi kepingan hanya dengan satu kalimat kejam dari sesamanya. Maka dari itu aku memilih diam.
Seharusnya aku meminta seseorang bertanggungjawab dengan mengumpulkan pecahan dalam diriku yang berserakan.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top