Desire 4
Part ini aku dedikasikan untuk may_3011 karena dia udah banyak kasih saran saat aku bingung membuat adegannya. She's the best lah!! dan minta nangkring di dedikasi supaya jadi terkenal katanya #Becanda
Btw, I WARN YOU! THIS PART HAVE 18+ SCENES. BE WISE PLEASE
HAPPY READING 😁
***
Sebastian merenungkan pertemuannya dengan Louisa siang tadi. Louisa tidak membicarakan mengenai keinginannya untuk mengikat Sebastian. Sebaliknya, mereka hanya berdiam diri. Memandang kejernihan air danau. Dan mendengarkan bentuk suara yang beragam dan menenangkan.
Waktu telah menunjukkan tengah malam. Sebastian masih belum bisa memejamkan matanya. Ia memutuskan untuk mengambil beberapa buku bacaan membosankan yang akan membuat matanya terpejam seketika.
Sebenarnya, minuman keras lebih efektif. Tapi Sebastian tidak tega membangunkan pelayan Ainsley untuk meminta koleksi minuman tuan mereka. Sebastian mendengus.
Sejak kapan dirinya perduli dengan kesopanan? Ia dikenal sebagai Lord Berandal. Yang memang benar adanya.
Tanpa suara ia berjalan menuju perpustakaan Ainsley. Membawa sebatang lilin sebagai penerang jalannya. Sebastian telah melepaskan semua atribut yang membuatnya terlihat seperti seorang gentlemen.
Ia tidak menggunakan cravat-nya. Rambutnya berantakan. Dua kancing bagian atas kemejanya telah terlepas. Memperlihatkan otot-otot liat yang bisa menarik wanita ke ranjangnya. Bagian bawah kemejanya sudah terlepas dari celana. Sungguh penampakan menakjubkan dari seorang pria yang gagah dan maskulin.
Masih tanpa suara, ia memasuki perpustakaan yang dipenuhi bau dan bentuk buku. Matanya beradaptasi dengan cahaya minim perpustakaan. Kembali dirinya dikejutkan dengan pemandangan di sebelah kanannya.
"Louisa," gumam Sebastian.
Sungguh ia tidak mengerti. Mengapa dirinya selalu dipertemukan dengan Louisaㅡ hanya berdua, tanpa pendampingㅡ selama dirinya berada di estat Ainsley? Kebetulankah? Atau sesuatu yang menjengkelkan. Yang selalu diucapkan wanita yang ingin membelenggunya dengan pernikahan. Sesuatu dengan nama takdir?
Sebastian menepis pikiran konyolnya. Ia kembali fokus menatap Louisa. Dengan perlahan senyuman Sebastian mengembang. Louisa selalu fokus dengan apa yang ia kerjakan. Tidak pernah memerhatikan sekelilingnya. Ia terus berjalan ketika melihat Louisa telah selesai dengan tulisannya. Dan melipat kertasnya dengan sangat rapi.
Sebastian semakin mendekat dan berkata, "Apa yang kau tulis pada waktu tengah malam? Apakah itu sesuatu yang tidak boleh diketahui banyak orang?"
Sebastian menyeringai ketika Louisa terlonjak kaget. Mata birunya membelalak sempurna.
"Sebastian... ," gumam Louisa dengan nada panik.
Sebastian mengangkat alisnya. Ia semakin mendekat ketika Louisa dengan terburu-buru keluar dari kungkungan meja kerja. Matanya menatap ke segala arah. Kertas yang terlipat tadi disembunyikan di balik punggungnya.
"Apa yang kau sembunyikan di balik punggungmu, Sweetheart?" tanya Sebastian semakin mendekati Louisa yang mundur perlahan menjauhi meja.
"Bukan apa-apa, My Lord," sahut Louisa cepat. Jantungnya bergemuruh hebat. Matanya masih tidak bisa menatap Sebastian.
"Boleh aku melihatnya?" Sebastian kembali bertanya. Ia tidak mengerti mengapa Louisa terlihat panik dan ketakutan. Sebastian meletakkan lilinnya di atas meja.
"Tidak!!?" pekik Louisa dengan cepat. Ia masih mundur perlahan karena Sebastian tidak menghentikan langkahnya.
Louisa semakin panik ketika ia merasakan rak buku di punggungnya. Sebelum Louisa lari Sebastian menyergapnya. Mengungkungnya dengan lengan kekarnya.
Oh Tuhan. Aku berada diantara siksaan antisipasi kemarahan Sebastian dan kenikmatan.
Hatinya berteriak ketika ia menyadari pakaian mereka berdua sungguh tidak layak. Louisa dengan gaun tidur tipisnya yang hanya ditutup mantel. Dan Sebastian dengan kancing kemeja atas yang terbuka. Louisa menelan ludah. Ia bisa dengan mudah mengamati dada Sebastian yang terpampang di depan matanya.
Louisa terlonjak ketika tangan kanan Sebastian menelusup ke belakang tubuhnya. Berusaha mengambil lembaran yang ia sembunyikan. Ia semakin panik.
"Tidak," pekik Louisa tertahan.
Tingkah Louisa yang mencurigakan semakin membuat Sebastian penasaran. Ia masih berusaha merebut kertas yang berada di balik punggung Louisa.
Sebastian berhasil merebut kertas tersebut. Mengangkatnya tinggi-tinggi agar Louisa tidak dapat menjangkaunya.
Dengan panik Louisa berusaha mengambil lembaran Lady Hutchenson dari tangan Sebastian. Tapi, tingginya yang hanya sebatas dada Sebastian tidak bisa menjangkau kertas yang Sebastian angkat.
Sebastian membuka lembaran yang masih dipegangnya di atas kepala. Mendekat pada meja untuk mendapat penerangan.
"Jangan!?" Louisa hampir berteriak.
"London, 25 Juni 1850. Lord Berandal kembali membuat sensasi. Menurut informan penulis, kali ini Lord H menghadiri pesta pedesaan tanpa menjawab undangan yang dikirimkan padanya... ." Sebastian berhenti membaca lembaran tersebut. Ia menatap tajam Louisa yang sudah mundur perlahan.
"Lembar berita Lady Hutchenson," lanjut Sebastian sinis.
***
"Aku bisa jelaskan." Louisa mencoba bertahan di tempat. Tidak ingin kabur seperti pengecut.
Mencoba mencari sisa harga diri dengan pakaian minim, Louisa mengangkat dagunya dengan keras kepala. Tidak ingin memperlihatkan jika ia terintimidasi dengan tatapan tajam Sebastian.
"Yah sebaiknya kau jelaskan. Karena aku selalu menjadi berita utamamu. Bukan begitu? Lady Hutchenson?"
Louisa sekuat tenaga menahan ringisan ketika Sebastian menekankan setiap kata ketika menyebut nama samarannya. Kenapa mereka selalu dipertemukan? Kenapa harus disaat yang tidak tepat seperti ini?
Belum cukupkah Louisa menahan tangisan ketika bertemu Sebastian di danau? Alih-alih mereka hanya diam menikmati suara hutan. Sungguh, Louisa hampir tidak tahan untuk berlari ke arah kudanya dan kembali ke estat. Atau berlari ke arah pelukan Sebastian.
"Duduk!" perintah Sebastian membuat Louisa sadar akan situasi genting saat ini.
Louisa berjalan ke arah sofa. Lebih masuk ke dalam perpustakaan. Sofa tersebut tersembunyi diantara rak buku dan dilapisi karpet tebal. Memberikan perlindungan untuk siapa saja yang ingin membaca tanpa gangguan dan terlihat. Hanya ada satu sofa panjang dengan meja kecil di sebelah sofa untuk menaruh kudapan dan minuman.
Duduk seanggun mungkin dengan pakaian minimnya, Louisa mendongak. Menatap mata Sebastian yang berdiri di depannya. Memberikan intimidasi pada Louisa.
Cahaya bulan menerobos masuk pada jendela besar di samping sofa. Menyembunyikan setengah profil Sebastian yang berdiri. Membuatnya terlihat seperti makhluk mistis. Atau jelmaan Dewa Yunani yang gagah dan misterius.
"Jelaskan!" Sebastian kembali memberi perintah.
"Karena aku ingin," ucap Louisa pelan. Ia bisa melihat Sebastian mengangkat alis.
"Apa?" katanya.
"Karena aku ingin!" Tanpa sadar Louisa memekik dengan keras. Ia mengatupkan mulutnya dengan segera karena menyadari kebodohannya.
Jangan sampai penghuni rumah bangun. Atau semua kekacauan ini akan bertambah.
"Kenapa? Kau butuh uang? Tapi kurasa tidak. Aku yakin uang saku tahunan yang diberikan ayah dan kakakmu lebih besar daripada hasil tahunan yang kau dapat dari lembar berita sialan ini," jelas Sebastian.
Louisa menelan ludah. Tidak ingin lagi menatap Sebastian.
"Apa alasanmu membuat lembar berita sialan ini?" tanya Sebastian.
Mata tajamnya masih menusuk Louisa. Sebastian melambaikan lembar berita yang masih ada di tangannya.
Louisa menjilat bibirnya dengan dengan gugup. Ia menghela napas dan menjelaskan, "Sudah kubilang karena aku ingin. Wanita tidak bisa menyerukan pendapatnya. Tidak bisa mengembangkan bakatnya. Tidak bisa memberikan ide-ide hebatnya di House of Lords. Kalian para tiran. Semuanya harus dipendam dalam peraturan konyol. Aku hanya ingin keluar dari peraturan itu. Mencari kebebasanku sendiri. Aku tidak butuh uang. Aku hanya ingin menuangkan pikiranku."
"Lalu kenapa aku yang sering menjadi objek beritamu?" Sebastian kembali bertanya. Dengan suara yang terdengar serak dan parau.
"Karena kau yang sering membuat ulah. Dan karena kau menarik perhatianku," ucap Louisa dengan berani.
***
Sebastian sudah tidak bisa berkonsentrasi dengan kemarahannya ketika ia melihat Louisa menjilat bibirnya dengan gugup. Sial. Lidah merah muda Louisa membuat Sebastian juga ingin menjilat dan menyesap bibir serta lidah itu.
Persetan dengan penjelasan Louisa. Ia sudah tidak sanggup lagi berpikir jernih. Matanya baru menangkap apa yang tadi terlewatkan olehnya. Louisa hanya memakai gaun tidur tipis di dalam mantelnya. Dan sial karena mantelnya tidak diikat rapat. Menyebabkan fantasi Sebastian berkelana karena melihat sedikit bayangan akan tubuh Louisa.
Louisa masih menjelaskan alasan konyolnya. Sebastian bisa mendengar dirinya bertanya dengan nada serak. Lebih dalam dari biasanya.
"Karena kau yang sering membuat ulah. Dan karena kau menarik perhatianku."
Pernyataan Louisa mengenai ketertarikannya menjatuhkan tembok pertahanan Sebastian. Menggelapkan matanya. Memunculkan hasrat yang telah ditahannya sejak cumbuan yang mereka lakukan di padang rumput. Mengobarkan gairah yang sempat padam saat Louisa berbicara mengenai keinginannya untuk mengikat Sebastian dalam belenggu pernikahan.
Sialan! Persetan dengan skandal. Persetan dengan ikatan pernikahan. Aku akan merasakannya. Sekali. Hanya sekali untuk menuntaskan rasa penasaran yang selalu membuatku sakit kepala. Sekali. Aku akan memilikinya.
Pikiran tersebut mendorong Sebastian untuk mendekati Louisa bagaikan pemangsa yang memindai santapannya. Sebastian melihat Louisa semakin gugup.
Menarik Louisa berdiri, Sebastian menghembuskan napas panasnya di telinga Louisa. Membuat Louisa bergidik nikmat.
"Apa... yang akan kau lakukan, Sebastian?" tanya Louisa dengan terbata. Tubuhnya merasakan antisipasi hebat dari kedekatannya dengan Sebastian.
"Melanjutkan apa yang terjadi di padang rumput, Cantik." Sebastian menggigit pelan telinga Louisa. Ia menjilatnya kemudian.
"Oh!" desah Louisa. tubuhnya bergetar dengan kenikmatan dan antisipasi pergerakan Sebastian selanjutnya.
Sebastian melanjutkan serangannya di mulut Louisa. Melumatnya dengan kasar dan terburu-buru. Seperti seseorang yang kehausan. Ia merasakan Louisa menegang. Terkejut dengan serangan mendadak yang ia lakukan. Sebastian mengabaikan keterkejutan Louisa. Ia tetap melakukan lumatannya. Memperlembut ciumannya agar Louisa bisa bisa mengimbangi cumbuannya.
Sebastian mengerang dalam ketika Louisa mulai menggerakkan bibirnya. Oh Tuhan ini sangat nikmat.
Sebastian menyusuri bibir Louisa dengan lidahnya. Ia mendengar Louisa mendesah. Membuka bibirnya untuk Sebastian. Ia menemukan lidah Louisa. Mengajaknya berdansa dalam tarian intim mereka.
Perlahan, Sebastian membebaskan tubuh Louisa dari mantelnya. Jatuh ke atas karpet tebal di bawah kaki mereka. Menyisakan gaun tidur tipis yang sangat menggoda. Sebastian melepaskan bibir Louisa. Menjelajah wajahnya bagaikan penjelajah yang haus akan benua baru untuk ditemukan.
"Sebastian... ."
Desahan Louisa yang memanggil namanya semakin membuat Sebastian hanyut dalam gairah. Ia menuntun Louisa untuk berbaring di atas mantel. Untuk menyamarkan bercak darah Louisa nantinya. Ia yakin Louisa masih perawan. Sebastian mulai melucuti gaun tidur tipis Louisa. Melepaskannya dari kamisol tipisnya. Perlindungan terakhir Louisa.
Sebastian kembali melumat bibir Louisa. Merasakan kemenangan ketika Louisa berbaring pasrah di bawahnya. Ia melepaskan bibir Louisa yang sudah bengkak karena perbuatannya. Memberikan ciuman basah di sepanjang tulang selangka Louisa. Semakin turun. Merasakan payudara ranum Louisa. Menikmati Louisa. Memberikan kenikmatan padanya.
"Oh! Sebastian!"
Sebastian menikmati desahan yang Louisa keluarkan. Ia merasakan tubuh Louisa bergerak gelisah. Sebastian semakin turun ke bawah. Menuju perhentian terakhirnya.
Sebastian menjelajahi kehangatan Louisa. Ia melihat Louisa terlonjak bangun. Berusaha menjauh darinya. Tapi kali ini tangan Sebastian memegang pinggul Louisa. Menahannya agar tetap di tempat.
"Sebastian! Apa yang mau kau lakukan?" pekik Louisa.
"Nikmatilah, Cintaku. Nikmati setiap sentuhanku."
Ia kembali tenggelam dalam kehangatan Louisa. Merasakan tubuh Louisa menegang. Bergerak meliuk-liuk ketika Sebastian mencecapnya.
"Apa... Apa yang... Oh!" Louisa semakin gelisah.
"Raihlah, Louisa," kata Sebastian dengan parau.
Pekikan tajam Louisa menjadi tanda bagi Sebastian. Ia mulai menanggalkan kemejanya. Ia bisa melihat rona merah di wajah Louisa saat melihat dada telanjangnya. Sebastian terkekeh senang ketika Louisa terbelalak dan menjilat bibirnya saat Sebastian berhasil menanggalkan celana dan melihat John Thomas-nya. Ia kembali menaungi Louisa dengan tubuhnya. Menempatkan dirinya pada kehangatan Louisa.
"Kau sudah siap. Berikan padaku, Louisa. Biarkan aku memilikimu, Cintaku."
"Sialan Sebastian. Berhentilah mengoceh dan lakukanlah!"
Sebastian terkekeh mendengar ketergesaan Louisa. Kemudian ia melakukannya. Erangan panjang Sebastian bersahutan dengan pekik kesakitan Louisa.
Demi Tuhan! Rasanya seperti pulang ke tempat yang tepat. Sebuah rumah.
***
Louisa memekik tajam ketika Sebastian berhasil menjadikan Louisa sebagai miliknya. Ia terisak untuk meredakan perih yang ia rasakan. Tubuhnya bersatu dengan Sebastian.
"Baiklah. Sepertinya sudah selesai. Kita sudah menuntaskannya," kata Louisa.
Ia mendengar Sebastian terkekeh di lehernya. Guncangannya membuat Louisa meringis.
"Kita masih jauh dari kata selesai, Cintaku. Bertahanlah. Karena aku akan membawamu menuju kenikmatan sesungguhnya," jawab Sebastian
Sebastian bergerak. Dan Louisa terlonjak. Tubuhnya secara insting melenting. Bergerak seirama dengan Sebastian. Mencari kepuasannya sendiri.
"Oh Tuhan. Ya! Ya!"
Mereka terus berpacu. Tenggelam dalam gairah yang membara. Lalu Louisa hampir merasakannya. Sesuatu yang menerjang seperti sebelumnya. Ia menegang. Tubuhnya mencengkeram Sebastian.
"Lepaskanlah Louisa. Bersama-sama," Sebastian menggeram. Mempercepat gerakannya.
"Ohhhhh... ," Louisa berteriak ketika gelombang panas menghantamnya. Memberinya kepuasaan karena telah menjadi milik Sebastian.
Erangan Louisa berpadu dengan geraman kepuasan Sebastian. Ia menindih tubuh Louisa. Napas mereka berkejaran dalam ritme erotis.
***
Sebastian segera bangkit ketika menyadari sesuatu. Ia melupakan sesuatu. Dirinya mengerang ketika mengingatnya. Sebastian kembali mengenakam bajunya dengan terburu-buru.
"Sial! Aku lupa mengeluarkannya tepat waktu. Aku mengeluarkannya di dalam!" Sebastian menjambak rambutnya frustrasi.
"Apa yang kau keluarkan di dalam?" tanya Louisa tidak mengerti.
"Benihku!?"
"Apa?!" Louisa terbelalak ketika menyadari sesuatu. Benih Sebastian di dalam rahimnya.
"Kita harus menikah," ucap Sebastian dengan datar.
"Kenapa?" Louisa bertanya. Ia tahu alasan yang akan Sebastian lemparkan kepadanya. Tapi, Louisa berharap itu bukan satu-satunya alasan Sebastian melamarnya.
"Kau bisa saja hamil!?" racau Sebastian.
"Hanya itu?" Louisa kembali bertanya untuk memastikan.
"Kita akan menciptakan skandal. Dan kau akan melahirkan anak haram. Kau akan dikucilkan," jelas Sebastian seraya berjalan hilir mudik di depan Louisa.
"Kalau begitu aku menolak lamaranmu, My Lord." Louisa mengumpulkan sisa harga dirinya dengan kembali memakai gaun tidur dan mantelnya.
"Sial, Louisa. Aku selalu berpikir untuk menidurimu sejak kau memerhatikanku secara diam-diam. Hanya sekali. Dan aku akan melepaskanmu. Lalu aku lepas kendali. Terbuai oleh kenikmatan yang kau tawarkan sehingga aku lupa mengeluarkan benihku di luar. Sekarang kau berpotensi hamil. Bahkan jika kau meminum ramuan atau teh pencegah kehamilan kau telah ternoda olehku. Dan sekarang kita harus menikah," jelas Sebastian dengan frustrasi. Dan memberikan nada datar pada kalimat terakhir.
"Kalau begitu kita tidak akan menikah," Louisa menjawab dengan suara bergetar. Kesedihan menerpanya ketika Sebastian melamarnya hanya sebagai bentuk tanggung jawab. Dengan cara yang paling tidak romantis.
"Apa maumu, sialan! Kau yang bilang kalau kau menginginkan dan membutuhkan pernikahan denganku. Membelengguku. Sekarang aku menawarkannya dan kau menolak! Apa kau mau aku berlutut dengan satu kaki, memujimu dan memintamu untuk menerimaku!" geram Sebastian.
"Hentikan! Aku akan kembali ke kamarku, My Lord," ujar Louisa.
"Oh apa kau mengaharapkan kata-kata sentimentil seperti cinta keluar dari mulutku ketika aku berlutut untuk melamarmu?"
Pertanyaan Sebastian membuat Louisa terluka. Ia tidak bisa lagi membendung air matanya.
"Meskipun aku tercemar, My Lord, maskawinku akan memastikan aku bisa memiliki suami. Aku akan mengatakan jika aku melahirkan lebih awal seandainya aku hamil dari hubungan satu kali yang kau rencanakan. Selamat malam, My Lord." Louisa berbicara dengan tersendat-sendat. Ia keluar dari perpustakaan dengan dagu terangkat dan tertatih-tatih menahan nyeri.
Sebastian masih tidak percaya dengan perkataan Louisa. Ia melihat ke bawah. Tempat mereka beradu kasih beberapa menit yang lalu. Saat Louisa berdiri, ia melihat bercak darah di mantel Louisa. Bukti keperawanan Louisa saat Sebastian merenggutnya.
Ia menyugar rambutnya dengan frustrasi. Menyadari satu hal lain yang menerjang pikirannya. Ia tidak akan pernah merasa puas akan Louisa.
***
TBC
UHHH PANAS DINGIN YA?!!
🙈🙈🙈🙈
Aku bingung sebenernya.
Jadi aku minta bantuan orang yang namanya nangkring di kolom dedikasi. Awal2 adegan itu idenya dia.
Karena adegan awal yang kubuat terlalu cepat dan gak dapet 'feel' katanya.
Tolong tinggalkan jejak.
Karena kalian akan segera berpisah dengan Louisa dan Sebastian di awal Maret
Regards
DSelviyana
260217
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top