4. Carte Blanche

"Kalau begitu, apa kau akan melompat ke sana?" tanyanya yang terus menatapku dengan dalam.

Dari balik bola mata itu, kegelapan tersimpan. Kegelapan yang bisa membuat orang lain tertekan, merasa terintimidasi dan mengatakan segalanya. Memaksa rahasia terdalam untuk diungkap. Menghipnotis siapa pun yang berani memandangnya.

"Ya, aku akan menghentikan mereka!"

Kata-kata itu langsung lepas dari mulutku, sangat bebas. Seperti burung yang selama ini terkurung, terbang dengan sukacita di langit yang bebas. Aku merasa harus bergerak, tidak ini seperti sebuah dorongan. Dorongan yang selama ini aku nantikan.

Dorongan untuk merasakan diri yang mengharapkan kebebasan bertindak dan berpikir. Tidak memikirkan risiko atau masalah selanjutnya. Kebebasan yang selama ini kudambakan.

"Kalau begitu melompatlah ke sana, hentikan pertikaian tidak berarti itu. Hanya kau yang dapat melakukannya. Perlihatkan padaku, panggung seperti apa yang kau inginkan!"

Deru angin terdengar, tepat di bawah kakinya. Terpaan udara terasa begitu kuat. Aku langsung melindungi wajah dengan kedua lenganku, bahkan sangat sulit untuk mempertahankan mata agar terbuka sekarang ini. Semakin lama tekanan tadi semakin kuat.

"Aku, Arséne Lupin. Seseorang yang ditakdirkan untukmu. Menjadi pedang sekaligus perisai, seorang pemain panggung yang hatinya sudah siap menerima mandat. Aku akan mengikutinya, menuruti segala perintahnya, dan akan selalu setia dengan perkataannya. Aku bersumpah, atas nama Wonderland!"

Angin gila tadi berhenti, tetapi kepalaku tiba-tiba terasa begitu sakit seperti sebelumnya. Tidak, ini bahkan lebih sakit lagi. Aku bahkan tidak bisa berdiri, aku hanya bisa berlutut sambil memegangi kepala yang rasanya ingin meledak.

"Aaarrrghhh!"

"Kau sudah siap." Suara itu adalah suara terakhir yang kudengar, sebelum akhirnya semua tempat diselimuti oleh cahaya putih yang sangat menyilaukan. Mataku tertutup rapat, dan hanya menyisakan kegelapan.

"Selamat, kau sudah mendapatkan kekuatan yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam drama panggung A.L.i.C.E. Sekarang, apa kau akan turun ke sana?"

Aku membuka mataku. Tempat tadi kembali menyambutku, di mana Kelinci Putih sudah berdiri di sampingku. Rasa sakit yang luar biasa bahkan sudah menghilang lagi seperti tak pernah terjadi.

"Apa ...."

"Melompatlah ke atas panggung, pegang ideologimu. Tunjukkan padaku, panggung seperti apa yang kau inginkan." Kelinci Putih menjulurkan tangannya ke pagar.

Dalam hitungan detik, besi-besi yang menghalangiku dengan panggung runtuh seketika. Jatuh dengan bebas ke bawah lantai sehingga memperdengarkan suara yang cukup keras. Mereka yang di atas panggung akhirnya menyadari hal itu dan menengok ke arah bangku penonton.

Lampu panggung seketika menyorot tubuhku, begitu terang sehingga mereka bisa melihat jelas sosok diriku di sini. Aku mengangkat lengan sedikit untuk menghalau cahaya tersebut.

Aku sedikit terkejut ketika melihat apa yang ada digenggamanku. Sebuah tube panjang yang terbuat dari kaca patri merah dan ukiran seorang pria bertopeng yang sebelumnya aku temui.

"Alice?"

Jeslyn adalah orang yang pertama bereaksi ketika melihatku. Dia berusah bangkit, tetapi kembali berlutut setelah Elizabeth mendekatkan tombaknya ke leher.

"Cih, ternyata anak baru ini memang salah satu kandidat. Tidak apa, aku akan mengalahkan kalian berdua. Tetapi, yang paling utama adalah kamu." Suara dingin Elizabeth terdengar menyeramkan.

Tubuhku seakan bergerak sendiri. Lebih tepatnya, mungkin aku yang bergerak tanpa berpikir lagi. Aku berlari, secepat mungkin untuk menghampiri panggung. Entah ini adalah hal baik atau buruk, aku sama sekali tidak peduli. Aku hanya ... tidak ingin ada darah di atas panggung!

***Arséne Lupin***

Akhirnya, akhirnya dia bergerak. Melesat dengan sangat cepat ke atas panggung yang berkilauan itu. Aku menantikan ini, menantikan kebebasan yang selama ini selalu membelenggu. Dia, Alice Marioline Bell, gadis itu akhirnya bisa memberikanku kebebasan.

Selama ini aku selalu memperhatikannya. Gadis yang bahkan hanya mengikuti arus dan memiliki keinginan kecil. Hasratnya hanyalah berdiri di atas panggung, bersinar dan bersenang-senang bersama dengan orang lain. Tidak peduli entah itu hanya menjadi pemain pendukung atau pemain utama.

Selama bisa berdiri di atas panggung, itulah kesenangannya. Akan tetapi, setelah menghilangnya sang kakak, Alice seperti kehilangan hasrat itu. Dia bahkan mulai terobsesi untuk mencari kakaknya dan melupakan segala hal tentang panggung. Anak yang tersesat.

Namun, hari ini, pertarungan mereka berhasil membakar kembali hasrat Alice yang sudah padam. Dia sekali lagi akan berdiri di atas panggung, membangunkanku, jiwa kebebasan yang selama ini dirinya kekang. Saat ini, Alice akan mengibarkan sayapnya, sayap dari hasratnya di panggung itu.

Sosok yang memegang tombak itu menyadari interupsi Alice. Ia langsung berbalik dan mengarahkan senjatanya kepada Alice yang masih berlari dengan cepat. Namun, Alice dengan luwes bergerak, menghindari tusukan logam tajam tersebut dengan meluncur di lantai panggung.

"Apa?!" Elizabeth, gadis itu, tampak terkejut dengan refleks yang diperlihatkan Alice.

"Apa yang kamu lakukan, Alice?! Kamu tidak seharusnya terlibat dengan teater ini!"

Jeslyn, gadis yang masih berlutut di belakang Alice tampak marah. Aku bisa melihat ekspresinya dengan jelas dari dalam tube digenggaman Alice ini, kemarahan yang bercampur dengan kekhawatiran. Nada yang keras itu jelas sekali kecemasannya.

"Panggung yang aku tahu itu, adalah panggung di mana semua orang bersenang-senang dengan melakukan yang terbaik. Meski memainkan drama tragedi, semua orang tetap bersenang-senang." Dengan suara lantang, Alice mengepalkan tangannya dengan erat.

"Panggung A.L.i.C.E memang bukan untuk bersenang-senang. Tapi itu untuk memperlihatkan siapa yang lebih baik di atas panggung!" Elizabeth yang ada di depan sana berdiri dengan tegap, mengeluarkan pemikirannya. "Panggung adalah tempat bersenang-senang? Pemikiran pencundang seperti itu, aku tidak menyukainya!"

Pakaian Alice sudah berganti, bukan lagi seragam akademi. Melainkan kemeja putih yang ditutupi oleh mantel biru selutut. Di wajahnya juga sudah terpasang topeng yang menutupi bagian mata sampai hidung. Ah, penampilan yang benar-benar mempesona.

Di pinggul kirinya, tergantung sarung pedang berwarna silver. Senjata itu ... melihat dari bentuknya yang kecil dan tipis, bisa diduga kalau pedang tersebut adalah rapier–bilah bermata dua yang ramping dan runcing.

"Meski begitu, mana ada panggung yang dimainkan untuk membunuh orang lain!" Alice melancarkan protesnya. Merasa semua hal diluar nalar ini tidak benar.

"Kamu benar-benar memuakkan. Aku membenci orang sepertimu, dan juga orang yang ada di belakangmu itu. Kalian sama saja. Aku benar-benar akan menghabisi kalian berdua sekaligus di sini." Elizabeth sudah mengambil kuda-kuda. Di sebelah A.L.i.C.E miliknya juga sudah bersiap menerjang.

Mungkin dirinya tidak akan pernah mengerti, tetapi teater ini ... drama ini, adalah tempat di mana kau harus membunuh orang lain agar bisa mendapatkan apa yang kau inginkan.

Namun, dia sama sekali tidak berpikir itu benar. Dan aku, ingin melihat bagaimana Alice akan melalui kemelut tersebut. Apakah ideologinya akan goyah? Atau dirinya akan tetap mempertahankan ideologinya kalau panggung adalah tempat untuk bersenang-senang? Aku menantikan jawaban dari sayapnya yang berkibar.

"Panggilah aku. Teriakan namaku, maka kau akan kujanjikan kemenangan. Wahai Tuanku, Alice Marioline Bell!" bisikkan itu kuperdengarkan di dalam kepalanya.

***Alice Marioline Bell***

Aku mendengar suaara laki-laki itu bergema di dalam kepalaku. Detik berikutnya rasionalitas sudah kembali, kenapa aku bisa sebodoh ini melompat masuk dan malah menjadi sasaran gadis yang tampak marah di depan sana.

Tombaknya yang berkilauan sudah diangkatnya, mengancungkannya ke arahku. Partnernya, si pria bertopeng juga mengangkat pedangnya sembari mengambil kuda-kuda siap menerjang. Dalam situasi yang sama sekali tidak ada kemungkinan menang ini, aku merasa terlalu bodoh.

Tidak, masih ada kesempatan. Jika ... jika aku meneriakan nama itu apa benar akan ada kemenangan? Kebimbangan yang tiba-tiba mengganggu pikiran membuatku sama sekali tidak bisa mengambil keputusan sembarang. Namun, entah kenapa gerakan semua orang menjadi lambat ... seolah memberikan waktu.

Akan tetapi, belum sempat aku memutuskan. Tangan ini telah diraih, membuatku membatu dalam aliran waktu. Mata yang khawatir itu mengeluarkan air, tetapi ekspresi marahnya tidak bisa dimengerti.

"Jangan panggil namanya!" peringat Jeslyn bersamaan dengan jatuhnya air dari pipi itu.

Cengkraman tangannya semakin menguat. Meski samar, aku bisa merasakan dirinya gemetar. Tangisan itu adalah ketakutan. tubuhku langsung ditarik tanpa persetujuan, meninggalkan panggung. Waktu benar-benar terhenti, aku bisa melihat Elizabeth dan pria bertopeng itu tidak bergerak satu senti pun.

Entah kemana Jeslyn akan membawa diri ini, aku hanya tidak bisa berpikir sekarang setelah rasionalitas ini muncul. Semua terjadi dengan cepat dan tiba-tiba. Sama sekali tidak bisa dimengerti.

"Kenapa kamu sangat bodoh!?" Jeslyn melepaskan tanganku, tepat ketika kami sudah keluar dari gedung kelas.

Hawa malam sudah bisa dirasakan. Matahari sepertinya sudah cukup lama tenggelam. Entah berapa lama aku mengalami kejadian aneh di tempat tadi, kepala ini masih memproses hal-hal mustahil diterima akal sehat. Aku akan menganggap semuanya mimpi, andai saja Jeslyn tidak berdiri dengan wajah menyeramkan dihadapanku.

"Sebenarnya, apa itu tadi?"

Tidak menemukan petunjuk apa pun dari hal luar biasa tersebut akhirnya aku menyerah. Meski sedikit ragu, orang yang lebih paham pasti akan menjelaskan akar sebenarnya dari sesuatu yang sama sekali tak kupahami. Atau begitulah pemikiran sederhananya.

"Apa kamu bodoh! Kamu benar-benar akan mati kalau kamu sudah terlibat dengan panggung itu ...."

Suaranya bergetar ketika mengatakan hal itu dengan nada yang agak keras. Kepalan tangan Jeslyn sama sekali tidak terlepas sejak tadi. Meski memberikan sorot tajam, matanya berkaca-kaca.

Kesedihan sekaligus kekesalannya adalah misteri. Akan tetapi, aku bisa memastikan kalau itu mungkin bukan ditujukan untukku. Mungkin?

"Apa maksud kamu?"

"Kenapa kamu menerima undangan? Kenapa kamu menerobos masuk ke panggung itu? Kamu ... seharusnya tidak melakukan itu! Panggung yang menutut darah, bukan panggung untuk bersenang-senang. Bukannya kamu yang paling paham, kalau itu bukanlah panggung yang kamu inginkan! Aku, tidak mau kamu terlibat ...."

Semakin lama, nada yang tegas itu melemah. Air mata yang sudah dia tahan dari tadi akhirnya tidak bisa terbendung lagi dan mulai jatuh membasahi pipi. Bersamaan dengan langit mulai menangis.

Segala hal yang terjadi secara spontan membuat pikiranku semakin aneh. Semua kemungkinan dan berbagai irasional yang terjadi seakan tertanam dan pergi, meninggalkan isi kepala menjadi kekosongan yang hampa. Terasa begitu hampa dan tidak bisa dipahami.

***

Lalu semuanya berakhir dengan cepat. Cuaca yang tiba-tiba menjadi tidak bersahabat membuat aku dan Jeslyn segera kembali ke asrama. Di dalam kamar, kami saling memandang satu sama lain.

Banyak sekali pertanyaan yang ingin kukeluarkan, saking banyaknya aku sampai kesusahan menentukan apa yang mau kutanyakan lebih dulu. Tidak, semuanya terasa begitu membingungkan aku harus menanyakan semuanya. Dari yang paling dasar.

"Apa kamu bisa jelaskan dari awal?" aku menatap matanya dalam, ingin meminta persetujuan dari Jeslyn. Berusaha agar dia tidak dapat menolak.

"Wonderland, atau begitulah yang hewan itu bilang padaku." Jeslyn menghela napasnya. Itu bukanlah jawaban main-main, tetapi kejujuran yang terpaksa dia kelaurkan.

"Wonderland?"

Kata itu beberapa kali pernah aku dengar, tepatnya dalam mimpi-mimpi aneh sebelum memasuki akademi. Tidak, tunggu. Apa mungkin semua yang kualami bukan mimpi, melainkan kenyataan seperti panggung antara Jeslyn dan gadis bernama Elizabeth?

"Bisa dikatakan kalau pemain drama yang memiliki hasrat kuat akan menciptakan panggung sendiri di dalam hatinya, itulah yang disebut Wonderland." Jeslyn memajang wajah serius, meski awalnya terlihat enggan 'tuk mengatakan jawaban tersebut.

"Tunggu, aku sama sekali tidak mengerti." Tanpa sadar aku menginterupsinya.

Jeslyn memberikan tatapan heran, dia sedikit mengangkat kepalanya. Sedikit terganggu dengan suaraku yang tiba-tiba menghancurkan penjelasannya. Namun, aku memang mulai memikirkannya, ini juga adalah pertanyaan spontan setelah mengetahui apa itu Wonderland.

"Bukannya kamu bilang kalau Wonderland itu panggung yang tercipta dari hasrat di dalam hati manusia?"

Anggukan langsung diberikan Jeslyn sebagai jawaban.

"Tapi, bagaimana caranya ada dua sampai tiga orang dalam satu hati?"

Jika apa yang aku pikirkan benar. Panggung tadi tercipta dari hati seorang pemain drama, lalu bagaimana orang lain atau dirinya sendiri bisa memasuki tempat tersebut?

"Sebagai orang yang pertama kali memasuki Wonderland orang lain, kamu harus punya surat. Apa kamu ingat surat yang diberikan Ms. Calliope sebelumnya?"

Surat itu. Benar juga! Aku menerima surat dari Ms. Calliope siang tadi. Pada akhirnya saat pelajaran akan dilanjutkan, aku sepertinya memasuki Wonderland dan bertemu dengan penjaga aneh yang meminta surat dan aku malah memperlihatkannya.

"Selain itu, aku yakin di smartphone-mu sudah terinstal aplikasi A.L.i.C.E."

Aplikasi itu membuatku kembali terkejut. Semuanya menjadi sedikit lebih jelas. Berbicara dengan Jeslyn membuat kegelapan di kepalaku sedikit bercahaya. Kalau benar apa yang dia katakan, sejak pertama kali aplikasi itu diinstal aku sudah masuk ke Wonderland-ku sendiri. Tempat yang hampa itu.

"Lalu, kenapa ada adegan pertarungan tadi. Semua itu, terasa nyata dan menyeramkan," lirihku sedikit menunduk. Masih tidak bisa menerima apa yang dikatakan oleh Kelinci Putih sebelumnya.

Aku masih ingat dengan jelas, pertikaian yang begitu nyata tadi. Adegan yang menjadi bagian utama dalam teater A.L.i.C.E.

"Katakan padaku Alice. Apa kamu tahu cerita tentang teater A.L.i.C.E?"

"Eh?"

Diceritakan jauh di masa yang akan datang, dunia akan dilanda oleh kehancuran. Sungai-sungai akan mengering. Tanah akan menjadi tandus, dan peradaban akan terkikis secara perlahan.

Umat manusia terpecah karena kurangnya sumberdaya. Lalu, seekor kelinci yang datang entah dari mana mulai menawarkan sesuatu untuk krisis mereka. Air kehidupan, air yang bisa mengabulkan apa pun. Itulah yang ia tawarkan.

Namun, untuk mendapatkannya si kelinci memberikan sebuah persyaratan. Hanya gseroang gadis yang dapat mengambil air kehidupan, dan gadis itu haruslah orang yang suci. Ia memberikan julukan Alice pada gadis-gadis yang berpartisipasi.

Dalam perebutan air kehidupan, para Alice didampingi oleh pengawal sebagai bantuan dalam bertarung. Banyak gadis-gadis yang gugur. Hingga akhirnya hanya tersisa dua orang. Mereka adalah sepasang teman masa kecil yang terpaksa terjerat masuk ke konflik tersebut.

"Dan apa kamu tahu, apa penyebab malapetaka yang menghancurkan kehidupan manusia sampai separah itu?" Jeslyn tiba-tiba mengeluarkan pertanyaan ketika aku masih coba mengingat bagian akhir cerita.

"Eksistensi sebuah tempat yang memakan sumberdaya kehidupan dunia. Eksistensi yang sangat berbahaya, sebuah tempat yang memiliki pemikiran sendiri. Nama tempat itu adalah ...."

Aku menutup mulutku, batin ini sedikit terguncang setelah mengatakan kalimat sebelumnya. Tidak, ini semua pasti hanya kebetulan. Ini, ini tidak mungkin benar-benar akan terjadi, 'kan? Aku terus menyangkalnya dalam diri sendiri. Rasa takut dan gemetar tiba-tiba menghinggapi diriku.

"Eksistensi sebuah tempat yang memakan sumberdaya kehidupan dunia. Eksistensi yang sangat berbahaya, sebuah tempat yang memiliki pemikiran sendiri. Nama tempat itu adalah Wonderland." Jeslyn mengulangi kembali kalimat tadi sembari melanjutkan kata yang belum selesai.

Wonderland, tempat yang mengancam kelangsungan hidup manusia di bumi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top