3. Impromptu
Di atas panggung yang gemerlapan, sosok itu berdiri dengan anggun. Mengenakan kemeja putih dan dasi coklat yang dibalut oleh parka gelap. Rok selutut dan juga stocking panjang. Dalam sekali pandang, aku bisa mengatakan kalau itu adalah kostum yang biasanya digunakan dalam panggung detektif.
Aku sama sekali tidak bisa berhenti menatap Jeslyn yang menjadi pemeran di sana. Seorang pria dengan jas coklat dan sarung tangan putih berdiri di sampingnya. Struktur muka maskulin terlihat memikat, dengan rambut gondrong dan mata setajam elang.
Sementara di seberangnya ada gadis lain yang melukiskan senyuman sinis dari bibir semerah darah. Rambutnya yang panjang itu diikat ke samping kiri. Kostum yang ia kenakan adalah jubah panjang bagaikan seorang kaisar, dengan mahkota kecil di kepalanya.
Akan tetapi, pria yang ada di sebelah gadis itu mengenakan kostum yang kontras dengannya. Bertudung hitam dan mengenakan pakaian yang mirip militer modern. Dia juga memakai topeng merah yang menutupi wajah, menyembunyikan identitasnya.
Mereka semua di atas panggung, seakan inti dunia. Sementara aku, terhalang oleh besi di barisan bangku merah yang kosong. Dalam kepala ini, ada begitu banyak pertanyaan yang muncul. Aku sama sekali belum bisa menerima segala informasi yang masuk seperti luapan air.
"Sungguh kebetulan, karena kita sekali lagi dipertemukan dalam satu panggung," ujar gadis itu memperlebar senyumannya.
"Dan akhirnya tidak terlalu bagus, untukmu, 'kan?" Jeslyn membalas.
Mata yang memandang rendah itu sama sekali tidak pernah kubayangkan muncul dari Jeslyn. Nada bicaranya yang dingin itu juga sama dengan ekspresinya.
"Yah, itu karena kamu memiliki A.L.i.C.E yang bagus. Tapi, sekarang berbeda. Aku akan menang kali ini."
"Jangan bermimpi, Elizabeth!"
Atmosfer yang ada di sana benar-benar berat. Meski terhalang oleh pagar, aku masih bisa merasakannya. Angin dingin yang entah datang dari mana mengibaskan sedikit rambut Jeslyn dan gadis itu. Tatapan yang seperti makhluk buas memburu mangsanya terpancar jelas dari mereka berdua.
Entah siapa yang pertama kali bergerak. Mataku tidak bisa mengikuti gerakan mereka. tiba-tiba saja yang terjadi adalah mereka melesat begiti saja. Hal yang mengejutkan adalah sesuatu yang ada di balik parka Jeslyn, pistol hitam. Sementara gadis bernama Elizabeth tadi sudah dalam posisi siap menghunuskan tombak yang tak kuketahui kedatanganya.
Bunyi nyaring terdengar, memecah keheningan yang tadi menyelimuti. Bersamaan dengan suara musik yang datang entah dari mana. Kostum yang tadinya dikenakan oleh Jeslyn dan gadis itu seperti terkena scan, lalu berganti menjadi pakaian yang sangat berbeda dengan sebelumnya.
Pakaian mereka kini malah cukup tebal, mirip seperti jaket kulit militer. Sepatu besi dan beberapa plat lutut serta siku. Milik Jeslyn warna putih dan juga hitam, sementara Elizabeth orange dan putih. Aksesoris yang mereka bawa juga berbeda.
Tidak, tunggu. Kejadian itu ... pertunjukkan itu ... benar-benar Teater A.L.i.C.E!
"Apa yang akan kau lakukan, Alice?"
Suara yang datang dari samping itu langsung membuatku menoleh ke arah sumbernya. Aku pun mendapati sosok kelinci Putih yang berdiri dengan dua kaki sebelumnya. Tidak, ini pasti mimpi. Ya, ini benar-benar mimpi anehku yang lain.
"Lihatlah mereka lagi, lihatlah cahaya yang mereka pancarkan."
Aku menengok lagi ke bawah, tepat di panggung yang menjadi pusatnya itu. Tidak memedulikan lagi apakah ini mimpi atau realita, diriku seakan-akan ditarik paksa untuk mengikuti arus.
Mereka saling menyerang, menampilkan essensi sebenarnya dari klimaks adegan A.L.i.C.E. Pertarungan antara orang-orang yang mengejar air kehidupan di tengah dunia nan tandus. Properti di atas panggung itu berkilauan, membantu suasana panas itu semakin hidup.
Beberapa tembakan dilepaskan. Akan tetapi, lawan Jeslyn berhasil menahan dengan perisai yang dibawa oleh pria bertopeng di lengan kirinya. Meski tidak terlalu jelas, aku bisa tahu kalau Jeslyn berdecak kesal dari ekspresinya. Mereka benar-benar serius dalam melakukan peran.
Tunggu, peran? Jangan-jangan ini semua memang pertunjukan yang mereka perlihatkan. Kelinci Putih itu juga mungkin adalah staf sekolah yang sedang memakai hologram penuh. Aku mulai mengerti sekarang, kalau begitu semuanya bisa jadi masuk akal.
"Apa kau menganggap ini semua hologram?"
Seakan membaca pikrianku. Kelinci putih itu menanyakan hal tadi tanpa mengalihkan pandangannya dari pertunjukan tersebut. aku semakin penasaran dengan siapa yang berada di balik hologram tersebut. Tanpa sadar kaki ini bergerak, mendekati kelinci yang lengah itu.
"Kau masih meragukan semua ini, bukan?"
Tiba-tiba kelinci itu menoleh, membuatku terlonjak kaget dan jatuh di lantai.
"Ouch!"
"Kau tidak bisa melihat kenyataan yang ada di depan mata. Padahal di panggung itu mereka sudah menaruh segenap jiwa dan raga mereka. Apa kau memerlukan sesuatu yang lebih berharga dari itu untuk menyadarinya?"
Aku menengok lagi ke arah mereka dari balik besi. Baik Jeslyn maupun gadis bernama Elizabeth, mereka sungguh memainkan perannya. Tidak ada yang setengah hati, mereka serius menampilkan ekspresi. Kebencian yang bercampur dengan kesenangan berada di atas panggung, ungkapan itu terukir jelas di kepalaku.
Mulai dari gerakan, musik, dan nyanyian yang dilantunkan ketika mereka saling menyerang. Semuanya ... benar-benar mendebarkan. Hatiku berdegup dengan kencang, menari-nari seakan melihat keajaiban. Bersukacita melihat keindahan yang bergitu berkilau. Ya, inilah teater A.L.i.C.E yang kutahu.
Jeslyn tampak terdesak, aku bisa melihat Elizabeth terus menghunuskan tombaknya tanpa keraguan. Beberapa kali dirinya terpaksa melompat mundur untuk menghindari serangan bertub-tubi tersebut.
Ada hal yang membuatku bingung, siapa para pria itu? Peran apa yang mereka ambil dalam panggung ini?
"Mereka adalah A.L.i.C.E yang sebenarnya, benar-benar indah bukan. Hanya mereka yang menyentuh Wonderland saja yang bisa memanggil A.L.i.C.E."
Kelinci Putih menjawab pertanyaan tersebut. Sepertinya dia benar-benar bisa membaca pikiranku. Ah, aku benar-benar tidak mengerti batas mimpi dan kenyataan sekarang. Performa mereka membuatku sama sekali tidak bisa memikirkan hal lain.
Melihat kembali pertunjukan tadi, Jeslyn semakin tidak bisa bergerak bebas. Serangan Elizabeth sama sekali tak mengenal belas kasih. Kiri, kanan, dan terus begitu berulang kali.
Para lakon pria akhirnya tertangkap mataku. Mereka juga sedang dalam pertarungan. Jika ini teater yang biasa, peran laki-laki itu akan diisi oleh boneka mekanik dan dipoles oleh hologram. Namun, mereka yang ada di sana bergerak lebih fleksibel dibandingkan mesin.
"Kali ini kemenanganku, Jeslyn!"
Elizabeth menghunuskan tombaknya sekuat tenaga. Senjata itu sukses menggores bahu Jeslyn. Mataku melebar, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Keterkejutan setelah melihat darah segar yang menetes dari kulit itu benar-benar nyata.
Tombak perak tadi juga mengambil bukti kejayaannya mengenai target. Itu sama sekali bukan hologram, itu darah sungguhan!
"A-Apa-apaan itu?!"
"Kenapa memasang wajah terkejut seperti itu? Mereka menaruh segenap jiwa dan raga. Jika kau kalah dalam pertunjukan itu, maka semuanya berakhir."
Aku semakin tidak percaya dengan kalimat yang baru saja dikatakan Kelinci Putih itu. Kalau benar apa yang dia maksud, bukannya pertunjukan ini akan menentukan hidup dan mati seseorang? Tidak, tidak! Mana mungkin ada yang seperti itu!
"Apa kau tidak bisa melihat mereka mempertaruhkan itu dari sini. Ah, begitu ya ... kau bukanlah orang yang akan memahami ini. kau tidak mungkin pantas menerima air kehidupan." Kelinci Putih itu memberikan nada kekecewaan yang sama sekali tidak bisa kumengerti.
Tidak, ini benar-benar tak bisa diterima dengan akal sehat! Semua ini aneh, aku tidak bisa menerima keanehan ini! Jika ini benar-benar mimpi, aku ingin segera bangun dan menghentikan kegilaaan ini!
Kepalaku tiba-tiba saja terasa sakit dan semakin menjadi-jadi ketika aku berusaha menolak semua perkataan Kelinci Putih itu. Bohong, semuanya pasti bohong! Mana ada panggung yang diciptakan untuk menjadi ajang saling membunuh! Aku ... tidak, aku dan Aisley tidak bisa menerima kesenangan panggung diubah menjadi seperti itu!
"Alice ... tolong ...."
Kakak! Aku mendongkak, mendengarkan suara lirih yang familiar. Namun, yang kulihat hanyalah panggung di mana Elizabeth benar-benar siap menusuk Jeslyn dengan senjatanya.
Aku ... aku tidak mau itu terjadi!
Akhirnya kau sudah siap. Kau pikir sudah berapa lama diriku menunggu?
Suara itu datang bersamaan dengan sakit yang luar biasa. aku memegangi kepalaku, berlutut menahan kepala yang rasanya ditusuk oleh ribuan jarum. Mulutku terbuka, tetapi sama sekali tidak ada suara yang keluar. Aku ingin mengerang, rasa sakitnya sama sekali tidak tertahankan! Sampai akhirnya ....
"Aaaaarkh!"
"Situasi spontan seperti ini juga bisa terjadi. Benar-benar pemain yang menarik." Samar-samar aku masih bisa mendengar Kelinci Putih itu bersuara.
Bersukacitalah! Dengan memanggil diriku dari lubuk hatimu, kau akan dijanjikan kemenangan!
Kata-kata itu terus bergema, makin keras ketika semua tenaga mulai melayang dari tubuh ini. Semuanya mulai menjadi gelap, tetapi aku tidak bisa menghentikan situasi mengerikan di panggung sana. Kesadaranku, perlahan-lahan memudar.
***
"Akhirnya kau tiba." Sambutan itu terdengar. Suaranya begitu maskulin sekaligus merdu. Pandanganku masih gelap, tidak terlihat apa pun di sini. Rasa sakit yang luar biasa tadi telah menghilang, seolah tak pernah ada.
Perlahan-lahan bola mataku terbuka. Yang pertama kali tampak adalah sosok tinggi dengan jubah dan topi hitam membelakangiku. Aku menengok ke sekitar, yang ada hanyalah kegelapan tanpa ujung. Lantai yang kupijak berwarna putih dan itu berbentuk lingkaran besar. Seperti sebuah panggung di tengah kegelapan.
"Kenapa aku bisa ada di sini?" pertanyaan itu bukan ditujukan untuk dia, melainkan diriku sendiri.
Meski baru melihat sosok itu, perasaanku sama sekali tidak penasaran untuk mengetahui siapa dirinya. Hanya saja, dia terlihat sangat familiar. Orang yang benar-benar aku kenal, dari luar hingga dalam. Seolah, bisa mempercayakan punggungku padanya.
"Apa kau akan turun ke panggung itu?"
Dirinya kembali bersuara. Dalam kehampaan ini, nada bicaranya terdengar serius. Pria itu lalu berbalik. Memperlihatkan wajah yang tertutup oleh topeng di sekitaran mata. Netra semerah rubi menebus mataku, memperlihatkan kelam yang menenangkan.
Dalam sekejap aku langsung mengalihkan pandanganku, tepat setelah mantra pemikat tadi sudah hancur. Meski ditutupi oleh jubah hitam, aku bisa melihat pakaiannya yang dominan berwarna silver.
Semua kejadian yang secara tiba-tiba mengundang banyak pertanyaan. Akan tetapi, tubuh dan pikirian ini seakan dipaksa mengikuti arus takdir yang sudah ditentukan. Meski aku berusaha berpikir, menolak, atau mempertanyakan ... tubuh ini tidak bereaksi dan mulut ini tak bersuara.
"Apakah kau mengingatnya, panggung yang kau dan saudarimu senangi? Apakah kau ingin melihat panggung di mana darah akan membasahi lantai?"
Pertanyaan itu sama sekali tidak aku inginkan. Panggung seharusnya adalah tempat di mana para permain bersukacita, berbagi perasaan dan menampilkan permainan terbaik yang akan membuat siapa pun kagum dan terksan.
"Panggung di mana nyawa bisa melayang, bukanlah panggung yang aku tahu ataupun yang aku inginkan!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top