2. Lettre de Créance
Aku langsung menghempaskan diriku di kasur, mengusir semua rasa lelah dari perjalanan panjang hanya untuk sampai kemari. Benar-benar menghabiskan tenaga.
Setelah dipikir-pikir asrama ini tidak terlalu buruk. Meskipun bangunannya sudah terlihat tua dari luar, tetapi masih terawat dengan baik. Dengan tiga lantai.
Dengan rincian lantai satu untuk murid kelas Rostand dan lantai ketiga adalah tempat untuk murid-murid dari kelas Shakespeare dengan total 5 kamar tidur.
Seharusnya satu kamar diisi oleh dua orang, karena ada dua kasur yang tersedia, tetapi ketika masuk kemari aku tidak menjumpai siapa pun. Meski begitu sudah ada beberapa tas yang sudah diletakkan di atas kasur dengan sprei putih yang ada di dekat jendela.
Teman sekamarku sepertinya sedang keluar. Padahal ini adalah kesempatan bagus untuk berinteraksi dengan orang lain selain nenek. Aku masih ingat pernah berlatih mengenalkan diri di depan cermin beberapa malam sebelumnya.
Kemampuan komunikasiku dengan orang yang baru sedikit buruk, aku berharap bisa memperbaikinya di akademi ini. Aku juga berharap teman sekamarku adalah orang yang terbuka.
"Tapi ini benar-benar hebat," gumamku sembari melihat tampilan ruangan yang dibuat mirip dengan kamar hotel bintang lima.
Lampu di langit-langit terlihat begitu megah. Dindingnya sendiri dilukisi berbagai ornamen yang memiliki nilai artistik berwarna emas putih. Bahkan di dekat pintu masuk tersedia dua buah sofa yang terlihat mewah, dan mustahil aku bisa membelinya meskipun mendapat hasil panen yang bagus.
Kenyataannya tidak seperti itu. Semuanya hanyalah hologram. Bentuk asli kamar ini hanyalah dinding polos dan segala perabotan yang biasa saja. Aku tadi menonaktifkannya sebentar untuk memastikan. Ternyata gaya yang disukai teman sekamarku benar-benar unik.
Yap, aku sudah menyadarinya ketika melihat sebuah alat dengan logo A.L.i.C.E yang berada di dekat tempat tidur. Hologram benar-benar menjadi trend sekarang ini. Tentu saja yang paling menikmatinya adalah remaja dan orang-orang yang baru dewasa.
03 April XX21
Sungguh tidak terduga. Tadi malam setelah merebahkan diri di kasur badanku malah terlalu nyaman sehingga dengan entengnyaterlelap. Ketika bangun saat fajar menyingsing, teman sekamar yang kunanti-nanti sudah ada di teritorinya.
Itu mengejutkanku, karena orang itu adalah Jeslyn Abigal. Gadis cantik yang membuatku iri. Ya, iri dengan kecantikan dan sifat anggunnya. Kepalaku langsung berpikir keras, bagai roda gigi berkarat yang dipaksa bekerja tanpa henti. Aku mana mungkin bisa akrab begitu mudah dengannya.
Bahkan tanpa membangunkannya, aku langsung pergi ke luar. Aku merasa belum sanggup jika harus berbicara dengannya sekarang. Ini benar-benar masalah yang besar.
Menghirup lagi embun pagi yang sejuk, aku menatap langit yang mulai terang. Suasana di luar asrama benar-benar tenang dan damai. Akademi A.L.i.C.E VII yang berada di pegunungan memberikan nostalgia tersendiri. Sangat mirip dengan tempat tinggal bersama nenek, tentu saja suasana ini yang kumaksud.
Waktu yang tepat untuk melakukan beberapa peregangan.
"Wah, sungguh kebetulan ya, Alice."
Tepat ketika ingin mengangkat lutut, panggilan dari suara yang baru kemarin kudengar memanggil. Menengok sumbernya yang ada di depan pintu asrama aku bisa melihat sosok Jeslyn dengan pakaian olahraga dan celana pendek sedang berjalan kemari.
"I-Iya," sahutku sedikit terbata-bata.
Ah, situasinya jadi canggung dan tidak selancar pembicaraan kami sebelumnya. Aku tak pernah menduga akan sekamar dengannya, sehingga aku sama sekali tidak begitu memikirkan pertemuan semalam. Namun, masalahnya sekarang berbeda.
Selama dua tahun ke depan aku harus berbagi ruangan dengannya, dan dia adalah orang yang benar-benar membuat gugup. Aku tidak sanggup berhadapan dengan orang seperti itu. Sebuah ide terlintas di kepalaku, apa boleh mengganti teman sekamar nanti?
Tidak, meski diganti pun aku belum yakin bisa akrab dengan orang lain. Dilema yang menyebalkan. Berjuanglah Alice, ubahlah dirimu menjadi lebih baik.
"Apa kamu sering melakukan latihan pagi begini?" tanyanya yang ikut melakukan peregangan.
"Begitulah."
Untung saja dia tidak menghentikan pembicaraan tadi, sehingga selanjutnya aku hanya perlu menjawab dan mengikuti arus. Meski hanya begitu sudah ada hubungan timbal balik di percakapan kami.
Jeslyn tertawa singkat ketika meregangkan kaki kirinya ke depan. "Sepertinya aku punya teman sekamar yang memiliki kebiasaan yang sama."
"Hoo, jadi kamu juga sering melakukan hal ini?" tanyaku penasaran.
Menjulurkan tangan ke depan, Jeslyn menarik napas dalam lalu menghembuskannya dengan tenang. "Ya, ini sudah jadi kebiasaanku ketika memutuskan masuk akademi."
Dengan kata lain, ini adalah kebiasaan yang sudah dimulai sejak beberapa tahun lalu. Untuk berada di panggung, kau harus memiliki cukup stamina. Untuk hal itu diperlukan olahraga yang teratur. Stamina diperlukan saat melakukan gerak, bernyanyi dan berakting di depan penonton.
Stamina akan meningkat ketika kau terus berlatih. Jeslyn yang sudah memutuskan melatih staminanya sejak dini pasti sudah memikirkan dengan matang masa depannya nanti. Dia pasti akan menjadi aktris panggung paling berkilau nantinya.
"Apa kamu sendiri sudah lama melakukan ini?"
Pertanyaan yang sudah kuduga cepat atau lambat akhirnya keluar dari mulut Jeslyn. Bagaimana menjelaskannya, ya? Aku juga melakukan hal ini karena kebiasaan dulu bersama kakak. Dulu dia juga memutuskan untuk menjadi aktris panggung dan tanpa sadar aku mulai mengikutinya.
"Ini hanya kebiasaan." Mencampur sedikit kebohongan pada kata-kata itu aku kembali fokus melenturkan otot-ototku.
"Kebiasaan, ya?"
Meski pelan, aku bisa mendengar kata-katanya tadi. Nada yang lemah itu seperti sebuah keraguan. Entah kenapa dirinya juga berhenti sesaat, seperti mengingat kenangan yang buruk.
***
Atmosfer aneh kurasakan sejak tadi. Untuk menyebutnya sederhana, ruang kelas yang diisi oleh sepuluh orang ini benar-benar mirip seperti makam. Kenapa bisa demikian? Tentu saja hal ini dikarenakan hampir semua orang hanya duduk di kursinya tanpa melakukan apa pun.
Mereka seperti boneka yang sudah di-setting demikian. Mata gadis yang duduk paling depan saja sudah seperti ikan mati, tidak ada cahaya sama sekali. Aku seperti memasuki sekolah yang horor. Apa mereka benar-benar sesuram itu? Ah, aku tidak pantas mengatakannya.
"Maaf atas keterlambatannya. Saya Calliope, guru yang akan bertanggung jawab untuk kelas Shakespeare."
Seorang guru baru saja memasuki ruangan dengan perawakan tinggi mengenakan kemeja hitam yang dibalut oleh jas hitam. Matanya yang tajam itu memandang kami satu per satu. Hidungnya yang kecil mancung menambah kesan tegas dirinya. Dengan bibir tipis merah dan kulit putih, dia juga sangat cantik.
"Mengingat ini pertama kali kita bertemu, dipersilakan untuk memperkenalkan diri." Ms. Calliope memberikan tatapan tegasnya itu kepadaku.
Melihat tidak ada seorang pun yang bangkit dari tempat duduknya, aku akhirnya menunjuk diriku sendiri karena ingin mengonfirmasi kalau orang yang dimaksudnya adalah aku. Ms. Calliope pun mengangguk, dia masih mengarahkan pandangannya tadi terhadapku.
Situasi yang benar-benar tidak terduga. Aku memang tahu kalau waktu ini akan segera tiba. Akan tetapi, menjadi orang pertama yang memperkenalkan diri di kelas sungguh membuat hatiku sama sekali tidak siap. Terlalu memalukan dan menyeramkan.
Jika aku gagal, mereka akan menganggap aku memang orang yang sangat suram. Terlalu banyak bicara juga akan menghancurkan kesanku pada beberapa orang dan mengundang beberapa musuh yang tidak seharusnya. Menjadi yang pertama adalah hal terburuk dari segala kemungkinan. Lagi pula, kenapa harus aku?
"Ayo perkenalkan dirimu," desak Ms. Calliope. Wajahnya masih datar seperti tadi.
Mendapatkan tekanan yang lebih dari ini akan membuat derita yang lebih lama. Setelah mengumpulkan cukup keberanian, aku bangkit dari tempat duduk. Puluhan mata langsung terarah kemari, seakan-akan menjadi pusat dunia.
Keberanian yang susah payah seakan tidak berarti ketika banyak mata yang menusukku bagaikan bilah tajam. Menyeramkan, ini sungguh lebih menakutkan dibandingkan situasi horor dalam film.
"Na-Namaku, A-Alice Marioline ... Bell." Dengan suara terputus-putus dan suara yang agak pelan, aku mengerahkan sisa-sisa keberanianku tadi.
Reaksi orang di sini sama sekali tidak aneh. Mereka hanya terus menatapku sampai akhirnya kembali mengarah ke depan, tepat di mana Ms. Calliope berdiri. Guru itu bahkan sama sekali tidak memberikan tanggapan apa pun dan malah sudah mengambil amplop kecil berwarna putih dengan segel mawar biru.
Aku masih heran, karena setelah memperkenalkan diri tidak ada orang lain setelahnya. Keanehan ini cukup menganggu pikiranku, tetapi Ms. Calliope sudah mulai menjelaskan pelajaran-pelajaran yang akan kami dapatkan beserta jadwalnya di depan kelas.
"Saya rasa sudah cukup untuk hari ini. Oh, sebelum itu saya meminta Nona Bell untuk tinggal sebentar di kelas." Ms. Calliope pun selesai menjelaskan dan mulai merapikan barang-barangnya. Dia juga kembali memberikan tatapan datar itu kepadaku.
"Baik," sahutku dengan suara pelan. Rasanya seperti ditelan oleh kegelapan yang terpancar dari sorot tersebut, membuatku sama sekali tidak bisa lari atau menolak.
"Tunggu, Ms. Calliope!"
Tiba-tiba suara lantang itu terdengar dari meja paling depan. Dari suaranya aku sudah bisa menebak siapa orangnya tanpa harus melihat langsung.
"Ada apa, Nona Abigal?"
"Bukankah terlalu cepat. Seharusnya Anda tidak melakukan ini sekarang. Dia baru satu hari ada di akademi ini!"
"Lalu apa masalahnya? Cepat atau lambat dia juga akan menerimanya."
Aku sama sekali tidak bisa menangkap apa yang sebenarnya mereka bicarakan. Namun, melihat wajah Jeslyn tampak khawatir dan gelisah bisa saja hal itu adalah sesuatu yang gawat. Sementara Ms. Calliope sama sekali tidak mengeluarkan ekspresi apa pun, tetap datar sejak pertama kali masuk.
"Tapi ...."
"Ini adalah permintaan langsung dari direktur. Kau bisa menanyakan hal ini kepadanya. Baiklah, selain Nona Bell, silakan segera keluar dan segeralah pergi ke gedung utama untuk pelajaran berikutnya."
Jeslyn sama sekali tidak bisa membalas, dengan terpaksa dirinya juga mengikuti gadis-gadis lain untuk keluar dari kelas. Menyisakan diriku dan Ms. Calliope di dalam ruangan.
Entah kenapa perasaan aneh tiba-tiba datang mengusik. Mulai dari keanehan mengenai murid lain yang tidak mengenalkan diri. Lalu pembicaraan tadi juga sangat janggal.
Apa yang sebenarnya terjadi di sekolah ini? Apa yang mereka bicarakan? Aku ingin tahu, karena bisa saja itu menjadi petunjuk untuk mencari keberadaan Aisley. Seseorang tidak mungkin menghilang begitu saja dari akademi yang berada di daerah pegunungan.
"Bagaimana pendapatmu mengenai akademi ini, Nona Bell?"
"Aku belum terbiasa." Aku memberikan jawaban jujur.
Ms. Calliope sama sekali tidak mengganti ekspresinya. Sekarang aku merasa sedang berbicara dengan robot dibandingkan manusia. Tidak, mungkin lebih tepatnya berbicara dengan boneka daripada robot.
"Sebenarnya ini terlalu cepat. Ambilah ini," ujarnya sembari menyerahkan sepucuk surat yang kulihat sebelumnya.
Aku menyambutnya, melihat dengan jelas surat tadi. Bagian amplopnya polos jika saja tidak ada segel mawar biru. Tak ada nama pengirim, atau surat itu ditujukkan pada siapa. Tak ada informasi apa pun di sana.
"Kau bisa membukanya nanti. Kalau begitu saya akan kembali sekarang."
"Tunggu!"
Ms. Calliope menghentikan langkahnya, dia berbalik dan merasa heran kenapa diriku memanggilnya.
"Kenapa cuma saya yang melakukan perkenalan?"
"Saya sudah mengenal siswa lain. Permisi."
***
Sungguh awalan yang buruk. Pelajaran pagi tadi adalah bencana. Aku sama sekali tidak memberikan kesan yang baik dihadapan orang lain di kelas. Benar-benar menyedihkan, mengutuk diri sendiri karena kegagalan entah sudah berapa kali dilakukan.
Sekarang adalah pelajaran berikutnya. Kami semua disuruh untuk menuju gedung utama. Mungkin hari ini ada penjelasan mengenai panggung atau kami memang harus menunjukkan sesuatu di atas sana. Entahlah, yang jelas aku harus bergegas karena tertinggal dari yang lain.
Notifikasi di ponselku tiba-tiba saja berbunyi. Aku pun segera mengambilnya dan melihat ke layar.
"Bohong," kata itu keluar dari mulutku bersama dengan keterkejutan.
Bagaimana tidak. Aplikasi yang semalam sudah aku hapus malah kembali terpasang. Malah sekarang tidak ada opsi untuk menghapus instalasinya. Bersamaan dengan itu, rasa panas tiba-tiba muncul di punggung tanganku. Tanda aneh yang semalam ada kian membesar. Apa-apaan ini?
Daripada memikirkannya, lebih baik abaikan untuk saat ini. Aku sudah cukup terlambat dan tidak mau membuat masalah semakin sulit di kehidupan sekolah.
Namun, aku merasa ada yang tidak biasa. Lorong yang seharusnya hologram malah tampak lebih nyata. Kaca patri di dinding sama sekali tidak terlihat. Berganti dengan dinding batu yang berwarna putih keperakan. Lantai yang menjadi pijakan pun sudah berganti menjadi warnanya, merah seperti darah.
Apa aku bermimpi lagi?
Ah, mungkin pihak akademi sudah mengganti hologram bangunan lagi, sekarang dengan yang lebih realistis dan sulit dibedakan. Aku melanjutkan langkahku menuju pintu keluar. Gedung utama tidak begitu jauh dari gedung kelas.
Lagi-lagi hal mengejutkan terjadi. Di ujung lorong, pintu besar yang lebih mirip gerbang dijaga oleh sosok misterius yang mengenakan setelan jas dan topi bowler hitam. Dengan tongkat yang dia pegang dan kumis, mengingatkanku pada sosok pantomim terkenal.
Aku mulai meragukan apakah ini memang kenyataan atau mimpi aneh lainnya. Rasa sakit langsung timbul ketika mencubit pipi sendiri. Kenyataan, tapi mustahil ada orang aneh seperti itu!
"Apa Anda punya surat untuk masuk, Nona?"
Ketika aku masih berpikir, sosok tadi sudah mendekat. dengan mata bulat itu dirinya memperhatikan dengan seksama. Seakan-akan menggeledah dan mencari sesuatu.
"I-Ini tidak sedang bercanda, 'kan?"
"Untuk memasuki panggung ini, Anda harus menunjukkan surat resmi kepada saya. Saya yakin ada yang sudah memberikannya pada Anda." Dia mengelus-ngelus dagunya sembari beberapa kali menghentakan satu kaki di tempat.
Panggung? Surat? Beberapa kata itu membuatku sadar akan sesuatu. mungkin ini memang hologram jenis baru dan laki-laki di depanku adalah salah satu staf akademi.
Aku mengambil surat yang tadi diberikan oleh Ms. Calliope dan langsung menyerahkannya kepada orang aneh ini.
"Lettre de Créance. Dengan begini Anda bisa masuk sekarang. Mari ikuti saya."
Akhirnya kamu sudah sampai sejauh ini. Sebentar lagi, panggung akan benar-benar melihat kilauan itu.
Kalimat itu seperti suara yang berbicara di dalam kepalaku. Sontak aku memegang kepala. Tidak, ini pasti halusinasi. Ah, jam tidurku kelihatannya masih kurang.
Ketika masuk melewati gerbang tadi, mataku langsung disambut oleh puluhan kursi merah dan sebuah panggung di tengah-tengahnya. Panggung itu disorot oleh lampu yang begitu banyak.
Namun, hal yang mencengangkan adalah, di sana ada empat orang yang mengenakan kostum dan senjata. Mereka terus menyerang, seakan benar-benar ingin melukai satu sama lain? Dan salah satu orang itu adalah Jeslyn.
Ini ... Teater A.L.i.C.E?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top