Prolog
Rintik hujan turun menemani Ana yang sedang termangu menatap masa lalunya. Pikirannya menjelajah mengais sisa-sisa masa lalu yang begitu menenangkan. Saat-saat di pondok dulu, sebuah pondok dimana dia menemukan kata cinta dari seorang pria. Serta sebuah pondok dimana ia menemukan sahabat bak saudara.
Ana masih ingat ketika kesiur angin senja mengiring kepergiannya menuju pondok tahfidz, seorang pria yang tak sangka adalah gus memberinya sebuah wejangan.
“Disaat kamu rindu akanku, dengarlah hujan menyampaikan cerita kita....” ucap seorang lelaki.
Samar-samar, laki-laki itu menitipkan cintanya pada hujan. Dia sangat tahu di pondok tahfidz yang akan menjadi rumah baru bagi bidadarinya tidaklah mungkin mengirim surat elektrik ataupun surat kertas. Tak akan lagi leluasa untuk menabur kasih. Namun jauh dalam lubuk hatinya, ia ikhlas.
Ana menghembuskan napasnya. Ia tahu kalau mimpi bertemu dengannya cukup mustahil. Kalaupun ia memaksa pasti laki-laki itu akan berkata,
“Kejarlah gelar itu, jangan sibuk ngejar abang mulu!”
Membayangkannya membuat Ana tersenyum tipis. Dia seorang laki-laki yang selalu mengingatkan akan ajaran arif orang Jawa. Dia seorang laki-laki yang selalu mengingatkan ajaran arif Kakawin Sotasoma, sebuah kakawin yang mencetuskan spirit nasionalisme Bhineka Tunggal Ika.
“Tidak ada kehidupan mulia tanpa hidup prihatin.”
Itulah sekelumit ajaran arif Kakawin Sotasoma. Ajaran yang sangat sejuk mendamaikan, bagai embun yang mereguk pagi. Sayangnya ajaran yang mulia itu makin tergerus zaman. Bahkan jika laki-laki itu tidak memberi tahu Ana, Ana tidak akan pernah tahu menahu mengenai ajaran arif Jawa ini.
Ana tersenyum kembali. Ia ingat akan panggilan khas yang selalu dilontarkan oleh laki-laki itu. “Bidadari balkon” sebuah panggilan yang menandakan dimana pertama kali mereka berjumpa. Panggilan unik, klasik dan tidak romantis, tapi justru karena itu Ana menyukainya. Sebanding dengan cintanya pada laki-laki itu.
Oooh masa lalu. Memang kehadirannya tak pernah lekang. Tak pernah bosan-bosan diulangi dan diulangi. Tak bosan-bosan diputar lagi dan lagi. Masa lalu memang tak pernah kadaluarsa bagaimana pun zaman itu berkembang.
Namun masa lalu tetaplah masa lalu. Kedatangannya di masa ini tidak akan mengubah apapun. Hal itulah yang dirasakan Ana saat ini. Wajah tirus nan halusnya melesu. Ana menghela napas. Jilbab yang dikenakannya melambai anggun. Mata beningnya mulai berkaca. Ia rindu akan kehadirannya.
“Kapankah kamu akan menjemputku, Kang? Aku tak yakin bisa tegar mempertahankan cinta kita,” desisnya.
Air mata yang mulai mengalir, tersamarkan oleh rinai hujan. Gemerutuk guntur bertalu-talu mulai terdengar seakan mengimbangi teriakan pilu Ana. Derai air yang mulai deras, mencoba menyudahi lamunannya, namun gagal. Gadis dengan tubuh mungil itu tetap bertahan di balkon, membiarkan emosinya mencair seiring hujan turun.
“Ana!” seorang santriwati berteriak mengalahkan derasnya hujan.
Buru-buru Ana mengusap wajahnya lalu berbalik melihat siapa yang memanggilnya.
“Dipanggil Gus Fikri tuh.” Santriwati itu kembali berteriak.
Ana menghela napas. Ia hanya mengangguk sembari mengisyaratkan agar santriwati yang memanggilnya pergi duluan.
“Kamu dengar Kang? Jika hujan memang menjadi penghantar rindu kita, aku harap kamu tahu bagaimana keadaanku sekarang. Cepatlah jemput bidadarimu ini! Kalau memang kamu tidak ingin kata selamat tinggal itu benar-benar terjadi.”
Kesiur angin muson membawa lantunan rindu Ana. Walau pelan dan berputar-putar tak tentu arah, angin itu menyampaikan perasaan amat mendalamnya.
Hujan kini benar-benar menjadi buaian rindu terakhir bagi gadis penghuni balkon itu. Sayang ia tak mengerti kalau belahan hati penerima pesan itu, kini juga sedang menitikkan air mata. Seorang lelaki berwajah cokelat bak pantat panci yang dipernis halus, juga tengah dirundung pilu.
Terbit setiap kamis
Jangan lupa kasih komen
Terima Kasih 🙃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top