Masa Lalu 1
Semenjak kisah ini dibangun, Ana sudah rela untuk menjalani takdir yang Tuhan tentukan. Memang takdirnya begitu indah, tapi kenapa akhirnya seperti ini. Sekali lagi, gadis berlesung pipi itu menatap langit, berdoa.
“Ya muqolibal qulub, sabbit qolby ‘ala diinik ... Ya Alloh ... aku tahu engkau Adil. Kumohon tenangkan hatiku dan kembalikan keyakinannya lagi terhadap-Mu.”
Setetes hujan merangsek masuk celah jendela mobil, menetes tepat di tangan halus Ana. Hujan memang selalu mengantarkan rindu. Lihatlah! Hanya dengan sebuah tetes hujan, Ana ingat semua masa lalunya. Ingatan tentang perjalanan Al-Qur’annya. Perjalanan yang penuh akan ajaran kakawin dan ketulusan niat dalam hati sanubari.
***
Byur ... satu ember air dituang begitu saja. Air itu beriak. Percikannya berkilauan tersinari mentari. Kerja bakti rutinan digalakkan. Satu dua santri terlihat masih menguap. Mata mereka merah, lelah menahan kantuk setelah semalaman bergulat dengan hapalan yang tak kunjung usai. Apesnya jika mereka kembali ke kamar dan tidur, para pengurus dengan wajah bengis siap berteriak lantang.
Pagi yang tak biasa kini terlihat di pesantren. Dengkuran pagi hari sirna begitu saja. Minggu pagi membuat pondok riuh dan gaduh. Berpuluh-puluh orang terlihat lalu lalang, sibuk membersihkan area pondok. Tua-muda, semuanya sama. Dengan mengharap barokah, mereka kompak bahu-membahu mengkilaukan lantai kembali. Tidak hanya lantai komplek, kamar mandi pun mereka sikat.
Kerja bakti diiringi lagu pun dimulai. Beberapa yang ikhlas, enjoy-enjoy saja, tapi bagi mereka yang memang tak suka kerja, menganggap kerja ini adalah kerja rodi.
“Udah ngantuk, kegiatan full, disuruh kerja rodi pula. Ini pondok apa neraka?” keluh seorang santriwati. Bibirnya sibuk menguap.
“Biar dapat berkah Peh,” jawab Ana tenang.
Alipeh menggerutu. Tangannya meraih sebuah lidi untuk memungut kaos kaki yang menyumbat selokan.
“Iuu, kotor-kotor gini kok berkah. Berkah dari mana coba?” alis Alipeh mengernyit.
“Ya dari sini lah.” Ana merebut kaos kaki itu dan mendekatkannya ke muka Alipeh.
“Ih Ana! Jijik!” Alipeh mengibas kaos kaki itu.
Seorang santriwati bernama Reni datang melintas tiba-tiba. Matanya yang awas langsung meghindar dari kaos kaki itu.
“Fiuh untung nggak ....”
Teng ... ngeng ... ngeng. Sebuah tiang jemuran berdenting ketika jidad Reni terbentur. Melihat itu Ana dan Ipeh tertawa.
“Bukannya bantuin malah diketawain, huh dasar,” ketus Reni.
“Soalnya tertawa di atas penderitaanmu itu nikmat, Ren,” cetus Alipeh.
Selang beberapa saat, Ana dan Alipeh membantu Reni berdiri.
“Apes-apes. Udah jatuh diketawain pula. Lagian tuh kaos kaki bukannya dibuang malah buat mainan.”
“Eit jangan salahkan aku! Kalau mau nyalahin, salahin si Ipeh. Gara-gara dia nggak percaya sama berkah, kaos kaki itu jadi terbang deh .... Makanya, sekarang kamu mending nerangin deh ke Ipeh tentang barokah, kaya kamu nerangin aku tentang kakawin dulu.”
“Hehe, kalau jelasin kaya begituan aku nggak tahu, An. Aku malah baru tahu, kalau kek ginian ada berkahnya.” Reni mengangkat kaos kaki busuk seraya memandanginya heran.
“Tuh kan, An. Huh ... dibilangin nggak percaya. Benda kotor dan menjijikan kaya gini mana ada barokahnya. Mungkin barokah itu hanya modus mulus dari pengurus agar kita mau kerja bakti.”
Ana menepuk jidadnya, “ Hiih. Nggak gitu kali. Gini, gampangnya, sesuatu yang berkah adalah sesuatu yang membawa kebaikan atau bahasa kerennya jablul khoir. Berkah juga bisa diartikan dengan bertambahnya kebaikan. Nah kita bersih-bersih gini kan ngilangin sesuatu yang kotor. Nyatanya comberan jadi ngalir bersih, alhasil sarang penyakit minggat. Kalau sarang panyakit minggat, berarti kita membawa kebaikan, jadi kita dapat berkah, deh.”
“Oh gitu.”
Reni dan Alipeh mengangguk-angguk tak paham. Mereka berdua percaya bahwa menggangguk itu penting terlebih untuk Ana. Jika tidak, dia akan terus menjelaskan sampai Reni dan Alipeh mengantuk. Dan itu sangat membosankan. Jadi kedua cewe itu memilih mengangguk meski sebenarnya mereka tidak paham dengan ucapan sahabatnya. Yang penting Ana bisa mingkem. Beres.
“Awas air bah datang!” teriak seorang santriwati dari lantai dua.
Iza, Reni, dan Alipeh berbalik lalu menjauh. Air bekas pel mengalir begitu saja. Air yang bercampur dengan berjuta debu dan kotoran mengalir menuruni tangga.
“Hei, ngapain kalian bengong, ha!” bentak seorang pengurus dari atas.
“Cepet bersihin kamar mandi di belakang!”
Tanpa diperintah dua kali, Ana, Ipeh, dan Reni masuk ke kamar mandi.
“Ih nyebelin banget. Gara-gara kamu, Mba Devil nglabrak kita, kan?” tandas Ipeh.
“Bukan Mba Devil Peh, tapi Mba-De-vi,” tukas Reni.
“Iya, Devi kalau dia baik, Devil kalau dia galak. Lagian dia kan galak, jadi pantesnya Devil dong.”
“Heh Peh, kalau Mba Devi denger, kamu pasti bakalan di ....”
“Nggak usah repot-repot An, Mba udah denger kok,” potong seseorang.
Ipeh menelan ludah. Sedikit demi sedikit ia berbalik, ragu-ragu memastikan kalau pendengarannya tak salah. Terlihat di matanya, seorang pengurus yang senantiasa ia ghibahin.
“Eh Mba Devi!” sapa Ipeh kikuk.
Pengurus bagian keamanan itu berkacak pinggang. Matanya memincing, sarat akan kekejaman. Tatapan dingin nan liciknya tak membiarkan Ipeh lepas. Bibirnya mengembangkan senyuman sinis, sungguh menakutkan.
Tanpa mengalihkan pandangannya dari Ipeh, Mba Devi memberikan instruksi.
“Iza, Reni, kalian bersihkan kamar mandi di samping. Sementara kau Peh, bersihin kamar mandi ini sen-di-ri-an!” tegasnya.
Ana dan Reni melangkah pergi. Mereka menggigit bibir, menahan tawa agar tak kena hukuman juga. Di ambang pintu, kedua gadis itu melambaikan tangan ke Ipeh. Itung-itung untuk menambah kekesalan yang ia rasakan.
“Mampus kau, Peh!” batin mereka.
Selang beberapa waktu, Mba Devi pun turut pergi.
“Huh dasar Devil,” gerutu Ipeh seraya menyikat lantai.
***
Lembayung senja perlahan menyemai bibitnya. Acara roan telah lama usai. Kini saatnya bagi para santri untuk menghapal sembari menikmati cahaya orange yang berbaur di atas rerimbunan pohon. Iringan dawai angin turut menambah benih ketenangan sore itu. Hembusannya mengiri simfoni alam. Permai nan damai.
Di senja yang teramat manis ini, para santri berlomba-lomba menghapalkan kitab suci. Masing-masing menempati tempat sakralnya sendiri-sendiri. Ada yang hapalan di pojok kamar, atas genteng, bawah jemuran, atas pohon, bahkan di atas lemari baju. Meski demikian, rata-rata santri mencari tempat dimana cahaya mentari bernaung. Tempat dimana angin sepoi-sepoi bisa menerpa. Tempat dimana sejuk angin senja berhembus.
Tapi bagi Ana, hapalan dimanapun sama aja. Asal hatinya tenang dan mantap karena Allah, ia akan bisa menghapal dengan baik. Kurang lebih begitulah yang dikatakan oleh gurunya.
“Ana!!!” seseorang berteriak geram.
“Dalem ....” jawab Ana kalem.
“Kamu tega banget sih, main ninggalin aku di kamar mandi segala.”
“Siapa suruh ngejek Mba Devil eh Mba Devi. Aku ninggalin kamu tuh, itung-itung buat ngobatin penyakit OCD-mu, Peh.”
“Ya nggak segitunya kali, belain kek. Kamu kan tahu sendiri, gara-gara penyakit OCD ini, aku nggak bisa lihat barang kotor, bawaannya bersihin mulu.”
Ana menahan tawanya. “Ya malah bagus dong. Nah ... nanti, kalau-kalau OCD-mu kumat, tinggal bilang aku aja. Akan kukurung kamu di kamar kita. Biar kamar kita juga jadi rapi dan bersih.”
“Ish, nyesel aku kenal sama kamu.”
“Bodo amat. Mending kamu menyingkir gih! Aku mau hapalan. Hush-hush!”
Ana mulai menata hati. Ia benamkan pikirannya untuk mengulang hapalan. Momen ini lebih penting daripada memperdulikan makhluk nggak jelas di sampingnya yang terus-terusan menceracau.
“Iih bisa diem nggak sih! Nggak konsen nih!” Ana semakin kesal.
“Jawab dulu pertanyaanku, setelah itu kamu bebas hapalan.”
“Baik, apa pertanyaanya?”
“Tadi kamu bilang si Reni pernah jelasin tentang kakawin, emang kakawin itu apa?”
“Hadeh ... Alipeh-Alipeh, makanya tuh mata jangan digunain cuma buat nyawang oppa-oppa!”
“Ye nyolot, eh An, aku tuh nanya, bukan minta dinasehati.”
“Nih dengerin! Kamu pernah lihat tulisan di dinding aula ‘hidup mulia berawal dari prihatin’ kan?”
“Ouh tulisan butut dan jelek itu. Terus?”
“Tulisan di dinding itu adalah salah satu ajaran arif dari kakawin Sutasoma. Kakawin itu merupakan bentuk sastra klasik Jawa yang menceritakan tentang kehidupan seseorang. Kakawin Sutasoma sendiri sangat berarti bagi bangsa Indonesia karena kalimat bhineka tunggal ika juga berasal dari kakawin itu,” jelas Ana.
“Oh gitu.”
“Kakawin ini, selain menjadi spirit nasionalisme bangsa Indonesia, juga mempunyai beberapa ajaran arif. Nah ajaran arif ini diambil dari Raja Sutasoma. Beliau sebelum menjadi raja, melakukan pengembaraan. Makanya ajarannya berupa ‘hidup mulia berawal dari prihatin’. Ya itulah yang kudengar dari Reni.”
“Oh itu alasannya kenapa hidup di pesantren ini sungguh sangat amat memprihatinkan sekali, hem...” Alipeh menyilangkan kedua tangannya sembari mengangguk-angguk memantapkan perkataannya sendiri.
“Ya nggak gitu kali Peh. Udah kan? Sono pergi! Aku mau hapalan.”
Ana membaca basmalah kembali lalu meneruskan hapalan.
“An ... Ana .... Hellow!”
“A-pa-la-gi,” sahut Ana menahan marah.
“Aku kok nggak pernah lihat kamu nerima telpon ya. Setiap sore pasti kamu berada di balkon ini. Emang nggak kangen ama orang rumah? Kali aja si dia nelpon?”
Jantung Ana seperti berhenti. Kalimat itu berhasil mengguncang imajinya. Satu-satunya kabar yang ia harapkan adalah dari kang santri itu. Dialah, satu-satunya orang yang tidak pernah menghubunginya. Kadang ... ketika malam menyapa, Ana sering kali bertanya kepada bulan bagaimana kabarnya. Kang santri itu yang menyuruh Ana untuk menjemput impiannya sebelum ia dijemput kembali olehnya. Tapi kenapa sampai sekarang dia bak dimakan ulat, hilang tak berbekas.
Pikiran Ana mengawang, menjelajahi titik dimana kesedihan kian merengkuhnya. Waktu itu, waktu dimana pertama kali dia sampai di pondok ini.
Update tiap hari
Insya Alloh
Khusus hari ini dua bab
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top