H+1

"Laila, ini punya siapa?"

Bukannya menjawab, Laila justru masih fokus menatap pintu yang tertutup. Jian duduk anteng di pangkuannya, juga diam.

"Hey, Kumis."

Akhirnya, Laila menoleh juga setelah Erik menepuk kepalanya. Bedanya, jika biasanya Laila akan mendelik kesal karena panggilan itu, kali ini dia justru hanya menoleh dengan tatapan kosong.

"Apa, Kak?" tanyanya pelan.

Terdengar suara Erik yang mendengkus. "Jangan melamun, nanti kemasukan setan." Erik tampak menunjukkan sepasang bando telinga binatang. Ini punya siapa?

"Eh?" Pupil Laila membesar. "Kak Erik dapat dari mana?" Dia nyaris merampas dua bando itu jika saja Erik kalah gesit.

"Di dapur. Dekat kulkas. Jadi ini memang punya Laila? Satu lagi punya siapa?"

Bukannya menjawab, Laila justru bangkit berdiri dengan tiba-tiba dan berlari menuju kamarnya.

Semalam, Erik membangunkan Laila yang tertidur di teras sambil memeluk baju yang dipakai Dean. Dia sendirian.

Apa seharian kemarin Laila bermimpi?

Namun, Laila berani bersumpah baju yang ia peluk masih terasa hangat.

Saat dia berlari masuk untuk mengecek saputangan putih, benda itu tak ada di mana pun. Ponselnya juga mati kehabisan beterai. Laila mulai putus asa, dan benar-benar menganggap yang kemarin hanya bunga tidur.

Hanya saja, saat Erik menunjukkan bando itu, bukankah artinya dia memang pergi ke taman bermain kemarin?

Laila menyambar ponselnya yang sedang dicas, lalu buru-buru membuka galeri.

"Ada!"

Tangan Laila bergetar. Itu memang Dean! Dengan seekor kucing di atas kepala dan seekor lainnya bergelayut di bahu. Ini memang foto yang mereka ambil saat di kafe kucing!

"Laila, ada apa?" Erik masuk terlalu buru-buru, Laila tak sempat menutupi ponselnya. Ia bahkan tak sadar Erik terpaku sejenak menatap layar itu. "Itu foto kapan? Laila kenal Alex di mana?"

"Hah?"

"Kakak tanya, itu foto kapan? Laila kenal Alex?"

Laila tidak mengacuhkan wajah galak Erik, ataupun nada suara yang terdengar protektif dari kakaknya itu. Otaknya justru menangkap hal lain.

"Siapa Alex?"

"Siapa lagi kalau bukan pemuda yang berfoto bersamamu di sini, Nona."

Laila makin bingung. "Ini Dean," cetusnya tanpa berpikir dua kali, "Kakak kenal dia di mana?"

"Oh, tentu saja. Dean Alexander nama lengkapnya. Dia junior Kakak di kantor." Laila mengaduh saat Erik menjitaknya pelan. "Laila pikir, kenapa Kakak tidak mau memberi nama kucing kemarin Dean, huh?"

Sekali lagi, Laila terdiam. Kali ini antara cengo, terkejut, dan rasa lega berbaur menjadi satu.

"Terus, sekarang dia di mana, Kak?"

***

Dean Alexander. Dua puluh tiga tahun. Junior Erik di kantor yang baru masuk tahun ini. Tiga hari yang lalu terkena kecelakaan mobil. Dia koma, dan baru sadar tadi malam.

"Untung saja Laila hanya memeluk baju ini. Kita tidak sempat mencucinya. Yang penting dikasih."

Laila yang tadinya sibuk melihat ke sekitar, menjadi fokus pada kantong plastik yang dipegang Erik. Sekarang mereka sedang berjalan di koridor rumah sakit. Tidak sulit memaksa Erik agar membolehkannya ikut menjenguk Dean.

"Orang sakit itu diberi bunga, bukan satu setelan baju."

"Itu terlalu pasaran."

Laila hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar jawaban itu. "Terserah."

Mereka sampai setelah dua kali naik tangga. Laila menghentikan langkahnya, kala Erik berhenti di sebuah pintu. Nama Dean Alexander memang tertera di sana.

Laila mengepalkan tangan kuat, hingga buku-buku jarinya memutih. Tadi memang tidak terasa, tapi sekarang jantungnya mulai berdebar-debar lagi.

Dia akan menemui Dean yang asli. Dean yang ada di dunia nyata, bukan anak kucing yang mati kemarin malam lagi.

Taruhlah yang kemarin itu memang bukan mimpi. Namun, apakah Dean ini akan mengingatnya?

Begitu banyak pertanyaan yang bergelayut di kepala Laila.

"Kenapa? Tidak mau masuk?"

Gadis itu tersentak, ternyata pintu sudah terbuka lebar. Laila menggigit bibir bawahnya pelan. "Laila masuk."

Bau obat-obatan yang sedari tadi memang tercium, menjadi lebih pekat ketika Laila sudah menjejakkan kaki di ruangan itu.

"Hai, Alex. Kau masih hidup?" Suara Erik yang berkelakar menggema.

"Kupikir, aku sudah mati."

Napas Laila seolah tercekat sejenak. Dia hampir tak memercayai penglihatannya.

Di sana. Di kasur itu, bersandar seorang pemuda yang sedang tersenyum tipis.

Itu memang Dean. Rambut itu, alis tebal itu, hidung mancung itu!

"Siapa dia?"

Laila tersentak lagi, kali ini benar-benar tak bisa merespons.

"Adikku. Namanya Laila. Hei, kupikir kalian saling kenal?"

"Laila? Kita pernah bertemu?"

Hanya ada satu perbedaan sosok di hadapannya dengan Dean yang kemarin.

Laila menyadari tidak ada senyum polos yang mengembang. Orang ini terkesan dingin. Dan, seperti yang Laila duga, dia pasti tidak ingat.

"Halo, Dean. Senang bertemu denganmu." Laila mengangguk singkat.

"Jangan Dean, panggil saja Alex. Itu lebih manly." Alex tertawa pelan.

Melihat itu, Laila tak bisa menahan air matanya yang sedari tadi siap meluncur.

Itu memang senyum Dean. Senyum yang sama.

"He-hei! Kenapa menangis? Laila boleh panggil aku apa saja, kok."

"Alex sialan. Kau apakan adikku, huh?"

Laila tertawa di tengah air matanya.

Detik itu juga, dia memutuskan. Meski Dean tak mengingatnya, ia bertekad untuk mendapatkan hati itu sekali lagi.

TAMAT

Aloohaaa

Tamat? Iya, tamat!! Horeeee 😆😆

Makasih buat yang udah nemenin Laila dan Dean dua bulan ini!~

Ini cerita pertama yang belum ready di draft, tapi aku dah bikin kerangka, jadi aku menikmati waktu-waktuku yang menulis di waktu yang sempit 🤣🤣

Intinya, aku menikmati menulis cerita mereka~

Psst... minggu depan, bukan hanya satu, dua cerita akan tayang sekaligus~ dan akan menemani sampai akhir Desember 😆

Okelah, dah panjang ini 😂

Mungkin kalian punya pesan-pesan terakhir buat Laila, Dean, atau Erik? Atau buat Jian 😂😂 *ngarep

Babay!

Sampai jumpa di cerita selanjutnya~

25 Oktober 2018

Barakallah fii umrik for my brother~ 😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top