9th Hour

"Bobby?"

"Oh, ternyata kau masih ingat aku."

Laila mendecakkan lidah, menatap tajam pemuda berambut cepak dan berwajah menyebalkan di depannya.

Dean tampak bingung. Kepalanya menoleh ke pemuda yang dipanggil Bobby dan Laila bergantian.

"Laila?"

Laila mengangkat tangannya pada Dean, mencegah pemuda itu berbicara. "Apa mau kamu? Kenapa kamu ada di sini?" Laila mundur satu langkah, matanya melotot pada Bobby.

Mereka sudah di daerah antrean bianglala.

"Kenapa? Kau lucu seperti biasa, Laila. Tentu saja ini tempat umum, aku bisa pergi ke mana saja aku mau." Laila mengepalkan tinjunya melihat Bobby menyeringai. "Kupikir kau sedang bersenang-senang bersama Karin atau abangmu yang super protektif itu, tapi lihat. Kau sedang berkencan dengan laki-laki lain."

"Aku tidak--"

"Apa dia juga melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan padamu, hmm? Oh, apa kau takut? Manis sekali."

Laila menepis kasar tangan Bobby saat pemuda itu mencoba meraih wajahnya. "Jangan mendekat!"

"Sayang, jangan ganggu gadis lain." Seorang gadis berambut pirang muncul dan memeluk Bobby dari belakang.

"Oh, aku tidak menganggu siapa pun. Mantanku ini sepertinya belum bisa move on dariku. Lihat, dia pikir aku ingin mendapatkannya kembali. Padahal tidak."

Laila rasa darahnya mendidih saat mendengar tawa melengking dan tawa berat dengan nada mengejek mengalun bersamaan. Jangan lupakan tatapan meremehkan dari dua sejoli di depannya. Buku-buku jari Laila sudah memutih.

"Gadis payah."

Laila mengangkat tangan, bersiap menampar Bobby.

"Argh!"

Namun, Bobby yang sudah terbanting ke tanah membuat Laila mematung. "Dean?" Laila menyadari sebuah bando telinga kucing berwarna cokelat sudah tergeletak di tanah.

Ditemukannya Dean dengan napas memburu dan geraman mengerikan sedang melihat pada Bobby dengan wajah yang belum pernah Laila lihat.

"Laila bukan gadis payah!"

***

"Maafkan Dean, Kak."

Laila mendengkus geli dan menggeleng. "Kamu enggak salah, kok."

"Tapi, kita jadi tidak bisa naik bianglala."

"Iya juga, sih." Keduanya melewati gerbang taman hiburan. "Tidak masalah, aku sudah cukup puas melihat ekspresi Bobby tadi. Aku tidak marah."

Usai Dean melemparkan satu pukulan pada Bobby, dia masih akan memberikan pukulan lebih, tetapi Laila sigap menahan. Dean memberontak, masih memaki-maki Bobby, sampai-sampai pihak taman hiburan turun tangan melerai.

Akibatnya, Laila dan Dean tidak diizinkan naik bianglala. Bobby dan kekasihnya beruntung, karena pertengkaran terjadi setelah mereka berdua selesai bermain.

Laila langsung membawa Dean pergi keluar, mencegah Dean yang sepertinya mau protes.

"Bobby itu siapa? Kenapa dia sangat menyebalkan?"

"Bobby itu mantanku. Maksudku, dia dulu kekasihku, tapi kami sudah putus." Laila berhenti sejenak. "Bukan, aku tidak pernah menyukainya, apalagi mencintainya. Dia memaksaku menjadi kekasihnya. Kak Erik akhirnya tahu, lalu memaksa kami untuk putus. Kami pacaran tak sampai satu hari."

Laila mengembuskan napas. Itu adalah memori yang kurang menyenangkan. Sejak saat itu, dia selalu menolak pernyataan cinta siapa pun dengan tegas.

Jarak antara taman hiburan dan rumah Laila tidak begitu jauh. Oleh karena itu, dalam waktu singkat mereka sudah memasuki kompleks perumahan Laila.

Laila diam-diam melihat jam tangannya. Jam setengah enam. Sudah berapa jam dia menghabiskan waktu dengan Dean?

Laila belum mau pulang. Dia masih ingin bersama Dean lebih lama lagi.

"Oh iya! Di dekat sana ada taman. Ayo istirahat sebentar di sana!" ajak Laila.

"Ayo!"

Laila menarik tangan Dean dengan semangat. Kali ini bukan lengan yang terbungkus kaus, tetapi benar-benar telapak tangannya.

Sensasi tersetrum yang aneh mengejutkan Laila, ditambah perasaan hangat seolah memenuhi dadanya.

"Laila!"

"Aduh...." Terlena dengan sensasi itu, Laila sampai tak sadar bahwa jalannya menurun. Detik berikutnya gadis itu terjatuh dengan lutut mendarat duluan. Cukup keras. Bando telinga kelincinya terjatuh. Bahkan air mata Laila sampai berlinang.

Lutut Laila berdarah.

Selanjutnya, Laila pulang dengan Dean menggendongnya di punggung.

Meskipun malu dengan tatapan orang-orang, Laila berbohong jika dia bilang dia tidak merasa senang.

"Kalau berat, aku bisa jalan sendiri."

"Laila tidak berat. Enteng."

"Aku tidak enteng. Memangnya barang."

Dean tertawa renyah, sedangkan Laila mendengkus.

Diam-diam, Laila menghirup dalam-dalam aroma tubuh Dean sambil memejamkan mata. Entah kenapa dia ingin waktu berjalan lambat sekarang.

Bolehkah aku berharap?

Aloohaa

Dari tadi mau apdet gagal mulu. Gara-gara banner-nya ga mau muncul --"

Akhirnya Laila dan Dean pulang ke rumah Laila.

Selanjutnya apa? Wkwk

Itu aja sih, babay!

*lagi latihan buat lomba besok, tapi yang lain ngaret -_-*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top