11th Hour
“Aku bahagia.”
Setelah keheningan yang Laila rasa mencekam menyelimuti keduanya, akhirnya jawaban itu meluncur mulus.
“Aku bahagia, Dean. Sangat.” Laila mengulang jawabannya, saat ekspresi serius Dean berubah. Pemuda itu tampak terkejut.
“Sungguh?”
Laila mengangguk dengan perasaan lega, senyum Dean kembali. Yang di depannya sekarang adalah Dean yang dikenalnya. Laila tidak mengenal Dean dengan wajah dan intonasi serius seperti tadi.
“Boleh Dean memeluk Laila?”
Mata Laila membulat. “Kenapa?”
“Karena Dean senang.” Dean cengar-cengir. “Misi Dean sukses!”
“Memangnya misi kamu apa?”
Bukannya mendapat jawaban, Laila justru merasakan rengkuhan hangat dari pemuda bersweter merah di depannya. Singkat. Namun, benar-benar sukses membuat Laila mematung.
Laila baru tersadar setelah Dean memanggilnya berkali-kali dan melambaikan tangan di depan wajahnya. “Eh?”
“Maaf, Dean memeluk Laila tanpa izin.”
Laila menggeleng, meskipun masih agak linglung. “Tidak, tidak apa-apa.” Dia berusaha menetralkan detak jantungnya yang menggila.
Aliran darah seolah berbalik menuju pipi, membuat wajah Laila berubah panas saat ia menatap wajah Dean.
“Dean senang Laila tidak marah. Dan misi Dean berhasil!”
Laila mengerjapkan mata dua kali mendengar itu. “Apa?”
“Eh, Dean belum bilang misi Dean, ya?”
“Belum!” cercanya cepat. “Misi kamu itu … membahagiakan aku?” tanya Laila agak gugup, tetapi diam-diam dia berharap.
“Bukan!”
Sungguh! Baru kali ini Laila merasa dibanting kuat ke tanah setelah sebelumnya diangkat tinggi-tinggi.
“Lalu … apa?” Suara Laila agak bergetar. Bodohnya, ia merasa sangat bodoh.
“Misi Dean itu, membuat Laila tidak bersedih lagi.” Dean tersenyum lembut.
Laila menoleh dengan wajah terkejut.
“Dean tidak bisa membahagiakan Laila. Tapi, Dean bisa membuat Laila tidak sedih lagi. Tuhan bilang begitu.”
“Jangan sok berkata manis!” Laila bersidekap sambil memalingkan muka, menyembunyikan wajahnya yang pasti memerah hebat.
“Berkata manis bagaimana? Dean hanya bilang yang sebenarnya.”
“Iya, aku tahu.” Namun, detik berikutnya, Laila kembali melihat pada Dean yang sedang menatapnya dengan bibir yang dimajukan.
Laila terlalu senang dengan segala hal yang Dean katakan, sampai-sampai dia lupa untuk bersikap seperti manusia pada umumnya.
Tidakkah ia harus curiga lagi? Dean dan misinya. Apa hatinya benar-benar sudah mantap percaya?
“Laila?” Dean terlihat bingung.
“Kenapa … kamu bisa mendapat misi seperti itu?” tanya Laila pelan dan hati-hati. Rasa berbunga-bunga dan tersipunya sudah meluap.
“Kenapa?” Dean mengulang. “Dean juga tidak tahu.”
Laila menepuk kening. Tentu saja itu adalah jawabannya. Jawaban yang sama seperti saat pertama kali ia bertemu Dean.
Mata Laila menangkap gestur Dean yang terlihat cemas. “Laila masih belum percaya pada Dean?”
Hening sejenak sebelum Laila mengembuskan napas.
Persetan dengan fakta bahwa Dean berbohong atau tidak, atau dia sedang menghadapi sesuatu yang mustahil atau tidak. Laila tidak mau peduli lagi.
Laila menyukai Dean. Laila sudah jatuh pada pemuda dengan tingkah bocah di depannya.
Oh, kenapa aku baru sadar sekarang?
Fakta itu, adalah sesuatu yang tidak bisa Laila tolak. Jadi, dia sudah tak peduli lagi. Dia hanya mau Dean. Dia hanya mau menghabiskan waktu bersama Dean.
“Laila?”
“Dean, bisa kamu tutup mata?”
Dean mengerutkan kening. “Tapi, kenapa?”
“Sudah, tutup saja!” Laila berkata lebih tegas. “Jangan buka sebelum aku suruh.”
Laila tersenyum kecil saat Dean sudah memejamkan mata. Diperhatikannya lekuk wajah pemuda itu dengan saksama. Pernahkah ia melihat pemuda ini sebelumnya?
Degup jantung Laila semakin cepat, dan baru kali ini dia benar-benar menikmati irama jantungnya yang seperti ini. Matanya melirik jam dinding.
Jam delapan kurang sepuluh menit.
Laila mengepalkan tangannya, sebelum menatap wajah Dean lagi.
Oh, betapa Laila ingin ... sekali saja. Bisakah ia?
“Laila?”
Gadis itu mematung saat Dean tiba-tiba membuka mata. Jarak wajah mereka kini hanya sejengkal.
Matilah aku!
Alooohaaa
Waktu berlalu dengan sangat cepat ._.
18 Oktober 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top