Oneshoot - A Girl Who Trust Me
Kamu mempercayaiku, dan aku memilihmu.
-FADO-
ⓒ 2016 Nnrlxs
°°°
Rintikan air hujan membasahi bumi. Lorong sekolah mulai sepi karena bel pulang telah berbunyi tiga puluh menit yang lalu. Para murid sudah meninggalkan sekolah sejak mendung menyelimuti langit ibukota.
"Do! Celana Reza robek!" Aku refleks menoleh saat nama panggilanku disebut.
"Robek kenapa?" Aku menahan tawa sambil melirik ke arah celana Reza yang robek.
"Kepleset dia. Sumpah mukanya kocak banget tadi," jawab Aya sambil tergelak.
"Aya! Ah, lo mah nyebelin banget." Reza datang sambil mengelus pantatnya yang sepertinya sakit.
"Ampun deh, haha." Aya mengerling jahil, sesekali ia melirik ke arah celana Reza dan kemudian tertawa kecil.
"Do, sakit." Dia mengaduh kepadaku dengan muka memelas yang membuatku ingin muntah.
Sebelum aku menjawab, Aya mendahuluiku, "Alah, gaya lo, Za." Ia memutar bola matanya malas.
Aku hanya terdiam mendengar perseteruan kedua temanku. Sedetik kemudian, mataku menangkap seseorang yang tak asing. "Fid!"
Lalu, seseorang yang aku teriaki tadi melirik. Tapi tak lama, ia kembali fokus pada jalannya. Dia Fido, kembaranku. Dia yang mengetahui seluk beluk kehidupanku sejak kecil. Dan sampai sekarang, masih saja Fido yang mengetahui apa pun tentangku.
"Aya, gue pulang gimana ini? Nanti Bunda gue marah. Lo jangan nodai Ado dong."
Aku tersenyum lebar melihat Reza dengan mukanya yang terlihat kesal. "Ya, temen lo."
"No, dia bukan temen gue. Jangan ganggu gue, plis. Gue gak pernah nodain Ado ya, Za. Gue cewek suci," jawabnya.
Sudur bibirku tertarik. Mungkin, aku harus bersyukur memiliki teman seperti mereka semua. Entah kenapa, aku selalu merasa bebanku terlepas ketika bersama dengan mereka.
"Kalian berdua tuh cocok ta―"
"Eh sorry tadi cuma ngelirik aja." Fido yang tiba-tiba datang membuatku kaget.
Perkataan Fido yang terlewat biasa membuat Reza cemberut. "Fid, celana gue robek, anterin pulang dong. Masa naik bis celana kayak gini?"
"Ha?" jawab Fido bingung, lalu ia menunduk menatap celana Reza. Melihat itu, Fido membekap mulutnya menahan tawa.
"Udah ah, jangan bully Reza. Lama-lama kasian gue sama dia. Mukanya kayak orang sengsara banget." Suara kalem sekaligus tegas itu menghentikan tawa Fido.
"Ah, Aya. Dari tadi kek!" ujar Reza sembari tersenyum lebar.
"Gue anterin pulang deh, mau?" Aya memainkan kunci mobilnya. "Jarang-jarang nih gue baik sama lo."
Setelah perkataan itu, Reza tersenyum lebar, ia mengangguk semangat. "MAU DONG!"
Aya memutar kedua matanya. "Dasar cowok lembek." Kemudian, ia kembali fokus pada ponselnya.
Fido tertawa kecil, lalu ia menoleh padaku. "Oh ya, lo cariin Elise."
Aku terbengong mendengar perkataan Fido. Bagaimana bisa dia melihat Elise? "Di mana?"
"Ruang musik," jawabnya.
Aku mengangguk. Lalu, berjalan meninggalkan mereka. "ADO MAU KE MANA?"
"NYELESEIN SEMUANYA, ZA!"
Aku berjalan cepat menyusuri koridor yang sunyi. Terpaan semilir angin beberapa kali membuat tengkukku terasa gatal. Suara tapak kakiku menggema. "Njir, berasa main film horor." Aku mengusap tengkukku pelan, mataku melihat sekeliling lorong dengan liar.
Kakiku berhenti melangkah. Aku mendengar alunan biola yang menyanyat hati. Mataku terpejam rapat mendengarnya. Napasku memburu, keringat mulai bercucuran membasahi seragam. Tanganku mengepal kuat. "Ado, selesain Do. Jangan mundur." Aku melangkah lagi, semakin jelas suara biola itu masuk dalam pendengaranku. Tanganku terulur memegang gagang pintu.
Clek.
"Elise?" panggilku. "Kamu masih di sini? Tolong, jangan dulu pergi dari sini. Aku, aku mau ngomong sama kamu."
Hawa dingin di pundakku membuatku tersentak. "Kenapa, Do?"
Dengan segala kekuatan yang aku punya, aku menoleh. Tanganku bergerak ragu menyentuh permukaan pipinya yang seputih kapas. Tapi tidak, aku tidak bisa lagi merasakan halusnya pipi Elise. "E―Elise."
Ia tersenyum tipis. "Ada apa?"
"Elise." Lidahku menjadi kelu. Semua kata-kata yang sudah kususun rapi, seketika hilang dari memori. "Elise."
"Ada apa? Waktuku gak banyak, Do." Elise terlihat tenang dalam balutan dress putih yang nampak pas di tubuhnya.
"Aku ke sini cuma mau jelasin dan minta maaf buat semuanya." Aku menarik napas dalam.
"Waktu itu, aku gak sengaja rusakin biola kamu, semuanya terjadi gitu aja, Elise. Aku―aku bahkan gak tau apa yang aku perbuat waktu itu. Aku cuma pengen kamu perhatiin aku, tapi aku gak mikir gimana resikonya. Sampai biola kamu patah, kamu kepleset dan―maaf Elise. Kamu tau sendiri lanjutannya, aku gak perlu jelasin, kan? Setelah itu, aku tau, bahwa rasa cinta aku ke kamu terlalu berambisi. Elise, aku mohon maafin aku, aku nggak mau hidup dipenuhi rasa bersalah."
"Do, itu semua sekedar masa kelam. Asal kamu tau, aku udah maafin kamu. Tapi, sebelum aku pergi dari artian yang sebenernya, aku pengen kamu tau, kalo aku juga cinta sama kamu. Tapi, jangan khawatir, aku bakal makin cinta sama kamu, kalo kamu berhasil nemuin perempuan lain yang gantiin aku. Lupain aku, Fado."
Mataku terpejam, dengan itu, tubuh Elise menghilang dari hadapanku.
°°°
Aku menyandarkan punggungku di pintu balkon, memori saat bertemu dengan Elise selalu menganggu pikiranku. Elise, aku lelah, hatiku tidak bisa menghapusmu. Kamu terlalu berharga untukku. Andai ada Elise kedua di Jakarta, aku akan mencarinya sampai pelosok.
"MAS YANG DI ATAS!"
Keningku mengerut mendengar teriakan cempreng dari bawah. Tapi, aku tidak menghiraukannya, dan kembali mengingat Elise.
"MAS! WOI! BUDEK YA?"
Sebenernya, teriakan ini menganggu ketenangan dan ketentraman. Tapi, biarin ajalah, aku gak mau nyari masalah.
"MAS! YANG DI ATAS DEPAN PINTU BALKON! NENGOK KE BAWAH KEK!"
Aku bisa saja tidak menoleh, membiarkan perempuan yang ada di bawah sana mengomel karenaku. Tapi tidak, aku menutup pintu balkon, lalu berjalan keluar. Menuju tempat di mana perempuan tadi berteriak.
"Ada apa?" Aku menyapanya yang sedang berdiri membelakangiku. Ia menoleh, dan aku meneguk ludah.
Sempurna.
Ya, dia cantik dengan balutan baju yang menurutku. Urakan. Tidak rapi sedikit pun. Tapi aku merasa dia, sempurna.
"Akhirnya."
"Ada apa? Lo ada perlu sama gue?"
"Gue kesasar. Dan di sini, gue cuma liat lo lagi gegana di balkon," jawabnya sambil melirik arah balkon yang tadi kududuki.
"Lo mau modus ya sama cogan kayak gue?"
Matanya melebar. "Najis, gue cuma mau nanya alamat." Ia menyodorkan satu kertas kecil lusuh yang berisi alamat.
Aku berpikir sebentar. "Oh. Lo lurus aja, terus ada tiang, lo belok kiri, jalan dikit ada belokan lagi. Nah lo belok kanan, deket situ ada rumah gede, catnya warna cokelat, itu alamatnya," jelasku. "Paham gak, sih?" tanyaku jengkel saat melihat wajah cengonya.
"Gak."
"Ya udah, gue anterin. Gak baik juga kalo cewek jalan sendiri malem-malem gini."
"Bilang aja lo yang mau modus," gerutunya pelan, tapi masih bisa aku dengar dalam jarak sedekat ini.
"Nama lo siapa, hm?"
"Lisa, lebih tepatnya Elisa."
Aku tersentak. Bayangan tawa Elise seketika berputar dalam ingatanku. "Ja―jadi nama lo Elisa?" Aku bertanya.
"Ya, kenapa?"
"Gak apa, nama lo mirip temen gue."
Lisa menaikkan alisnya jahil. "Temen apa demen, eh?"
Aku mendengus, dasar cewek usil. "Apa sih, Lis."
Dia mengerling jahil, kemudian mulai berbicara tanpa henti dan tak lupa ia sedikit mengejekku. Aku diam, tidak berminat menyahuti perkataannya.
"Oh ya, nama lo siapa?"
"Ado, lebih tepatnya Fado."
Embusan angin menerbangkan beberapa helai rambut sebahunya. Aku melihat wajahnya yang tirus dengan bibir tipis. Oh, kenapa perempuan ini tidak memiliki sorot takut sedikit pun pada matanya.
"Kenapa lo mau nyamperin gue ke bawah tadi? Lo gak takut gue ada niat buruk? Kita kan gak saling kenal."
Refleks, aku menoleh menatapnya, seketika mataku terkunci oleh mata coklat gelapnya. "Kalo gue jawab gak tau gimana?"
"Ya gimana lagi."
Dengan ragu aku mencoba menjawab pertanyaannya. Aku berkata, "Gue gak tau, ada bayangan yang nyuruh gue buat turun. Entah, gue langsung nurut aja, kayak kehipnotis."
Lisa berhenti melangkah. "Jadi lo didatengin bayangan itu juga, Do?" tanyanya terkejut.
Aku mengerutkan kening bingung. Didatangi juga?
Kemudian, ia melanjutkan perkataannya, "Gue juga liat bayangan tadi. Yang jelas, itu bukan bayangan gue yang kena sinar lampu. Bukan. Tapi, itu bayangan cewek yang bikin gue refleks teriak ke lo. Ya, awalnya gue juga punya niatan buat manggil lo, karena lo orang satu-satunya yang ada di sini. Tapi, karena bayangan itu, respon mulut gue lebih cepet dari otak. Heran gue."
"Lo gak takut?"
Lisa menggeleng. "Apa yang harus ditakutin?"
"Ya kali aja, itu setan atau bayangan jahat." Aku menggendikkan bahu.
"Gaklah, Do. Selagi Tuhan masih sama gue, apa yang harus gue takutin? Gue percaya, di mana aja gue, Tuhan selalu liat gue, Tuhan selalu lindungi gue. Gue yakin, semuanya akan berjalan lancar," ucap Lisa tenang. "Oh ya, bayangan yang lo liat nyerupain cowok apa cewek?"
Aku berpikir sebentar. "Cowok."
"Kok yang datengin gue cewek, ya?"
"Sesuai jenis kali," jawabku asal.
"Lah?"
"Gak usah dibuat beban, Lis. Udah nyampe, nih." Aku menunjuk sebuah rumah yang cukup mewah.
Lisa tersentak. "Wih, gede amat rumah gue," ucapnya sembari berdecak kagum.
"Jadi ini rumah lo? Tapi, lo kok bisa kesasar?" Aku bertanya bigung.
"Temuin gue hari Sabtu di Taman Kota jam tiga sore, kalo lo mau tau kenapa gue bisa kesasar. Padahal itu rumah gue. Thanks udah nganterin. Kalo lo takut gue ngelakuin hal-hal yang tijel, gak usah dateng. Lagipula, kita baru kenal. Kalo lo percaya sama gue, dateng aja. Bye." Lisa membuka gerbang, dan masuk ke dalam rumah tersebut.
Seperti pikiran kalian, aku akan ke Taman Kota hari Sabtu nanti. Aku penasaran, perempuan ini terlalu banyak teka-teki yang harus kupecahkan.
°°°
Pantulan bola basket yang sedang dimainkan terdengar nyaring. Suara bass para remaja laki-laki terasa berdengung di telingaku. Aku menghembuskan napas jengah. Sebenarnya, mulutku sudah gatal untuk menceritakan pertemuan dengan Lisa yang cukup aneh, tiga hari yang lalu kepada teman-temanku. Entah, aku merasa ganjal. Aku merasa bayangan itu selalu menghantui.
Aku menepuk bahu Fido, lalu berkata, "Fid, bantu gue."
Fido menoleh, wajahnya menampakkan kepuasan yang nyata. "Akhirnya, lo bilang kayak gini juga, Do."
Aku meringis, merasa bersalah. Ternyata, Fido sudah mengungguku untuk menumpahkan seluruh keluh kesah yang aku simpan. "Jadi gini, Fid ...."
Aku menjelaskan serinci-rincinya kejadian tiga hari lalu. Tidak ada satu saja kejadian yang aku lewatkan. Aku suka menceritakan keluh kesahku kepada Fido. Karena, reaksi Fido selalu sama ketika aku selesai menceritakan keluh kesahku. Fido menutup matanya pelan. Lalu, jika ia sudah menemukan jawabannya, ia tersenyun tipis dan membuka matanya. Seperti saat ini. "Gimana, Fid?"
"Temui dia nanti sore," jawabnya. Aku mengangguk. Kemudian ia kembali berkata, "Yang perlu lo tau Do, bayangan itu Elise dan cowok pengisi hati Lisa." Aku membeku.
Tidak perlu diragukan lagi kekuatan kembaranku yang satu ini.
°°°
Angin sore mengembus pelan, beberapa kali menghela napas berat. "Lisa mana, sih? Lama amat." Aku mendumel kesal sembari melihat-lihat sekitar.
Banyak anak-anak tertawa riang, menaiki ayunan dengan gembira. Orang-orang yang bersepeda, bercengkrama. Tak lupa, para remaja lawan jenis sedang bergandengan tangan dengan mesranya. Meninggalkanku di sini, menunggu Lisa yang tak pasti. Cukup, Do.
"Lah? Lo beneran ke sini?"
"Lo lama banget, sih?" tanyaku sebal tanpa menoleh kepadanya.
"Ngg ... itu gue ta―"
"Kenapa?"
"Gue tadi," ucapnya menggantung. "Gue kesasar," lanjutnya sembari mendengus sebal.
Aku menoleh cepat ke arahnya. "Lo kesasar lagi?"
Dia mengangguk, kenapa Lisa sangat menawan. Wajah halus nan tirus berwana kuning langsat. Alis yang tebal, bibir yang tipis berwarna merah. "Lo pake lipstick, Lis?"
Dia menyentuh bibirnya, dengan sebal ia menggosok kasar bibirnya. Lalu, ia menyodorkan tangannya kepadaku. "Ini lipstick? Sorry aja ya, gue pake bedak aja gak suka, apalagi gituan. Najis," jelasnya kesal.
Aku menatap tangannya yang tetap bersih, tanpa ada noda merah bekas lipstick. "Oh. Lo mau jelasin apa?"
"Jadi, gue harus mulai dari mana?" tanya Lisa sembari menangkup wajahnya.
"Dari kenapa lo bisa kesasar aja."
"Ya bisa, gue kan gak tau jalan," jawabnya.
Aku menggeram kesal mendengar jawabannya. "Oh my god, Lisa. Maksud gue ya gak gitu-gitu amat, bego."
"Ya udah, yang lain kek." Lisa menyahuti kesal.
"Lo kenapa bisa pindah ke sini?"
Lisa menatapku dalam, mata cokelat gelapnya meruntuhkan pertahananku, aku tenggelam dalam pesona matanya. "Gue patah hati." Ia menjawab sambil menunjukkan deretan giginya yang rapih.
Kalimat itu cukup mendeskripsikan bagaimana ia tidak sanggup menceritakan masalahnya. Dan tentu saja, senyum di bibirnya itu tidak bisa menipuku. Ugh, gadis ini benar-benar membuatku penasaran. "Gak usah dilanjutin, gue gak maksa."
"Gak, gue harus lanjutin. Capek mendem semuanya sendiri," ucapnya lelah. Dia berdehem sebentar, menetralkan suaranya yang mulai serak.
"Jadi dulu gue punya pacar. Nah, dia innalillahi gara-gara gue. Waktu itu, lagi ujan deres, emang gue yang dasarnya manja. Tanpa pikir panjang langsung nyuruh dia jemput gue di sekolah. Dan alhasil, di tengah perjalanan dia meninggal. Gue trauma, dan akhirnya Mama gue nyuruh gue buat tinggal di rumah Nenek gue." Dia menghela napas berat, kemudian berkata, "Udah gitu aja, sekarang giliran lo."
Sepasang mataku menatap dedaunan yang berguguran menghempas tanah. Kurasa, sore ini akan menjadi sore yang panjang. Dengan menceritakan masalah ini kepada seseorang yang baru saja kukenal kemarin malam. Entahlah, aku percaya padanya. Meski, sedikit rasa dalam hatiku menolak.
Aku menarik napas berat. "Dulu, ada satu cewek. Namanya Elise. Dia cantik, baik, dan pinter banget main biola. Waktu itu, dia lagi sibuk banget main biola sampe gak merhatiin ataupun noleh ke gue. Entah, gue ngerasa diabain dan gue kesel. Akhirnya gue narik biola dia, dia kaget. Waktu biola itu gue tarik, biolanya patah. Gue masih inget mata marah dia saat gue ngelakuin itu. Terus, dia mau lari ke arah gue, tapi kepalanya kebentur dan dia meninggal."
Lisa menatapku dengan mata melebar. "Kita sama-sama salah. Gak mau ngalah, maunya diperhatiin terus. Dan akhirnya, lo tau sendiri."
Aku membenarkan perkataannya. Aku selama ini terlalu egois, tak pernah memaklumi kesibukan orang lain. Padahal aku tau, mereka menyayangiku. "Gue pengen ketemu Elise lagi. Lo enak, udah ketemu sama Elise. Nah gue?"
Dia menoleh, lalu berkata, "Gue kenal Elise aja enggak. Mau ketemu gimana caranya."
"Hmm," sahutku sambil meliriknya. "Bayangan yang lo liat itu Elise. Dan bayangan yang gue liat itu cowok lo."
Mendengar itu, Lisa terkekeh mengejek. "Haha, gak usah boong." Dia menatapku tak percaya.
"Buat apa gue boong? Gue tau semua ini dari temen―kembaran gue yang agak cenayang."
Matanya mengerjap pelan. "Terus, gue harus apa?"
"Mungkin lo sama gue harus lupain masa lalu. Mencoba percaya kalo mereka udah maafin kita. Gak perlu merasa bersalah lagi, cukup doain mereka dan cari orang yang lebih tepat," jawabku sambil menatapnya santai.
Lisa mengangguk pelan sambil menatapku balik. "Gue tau, dan gue percaya sama lo."
Kupemjamkan mataku erat, mencoba menghapus bayang-bayang Elise yang sedari tadi memenuhi benakku. "Gue tau, lo yang tepat buat gue. Bantu gue ngelupain segalanya."
"Bantu gue ngelupain dia, Do."
-selesai-
°°°
An//
hai! 🍃🍂 aku ... lagi lagi hadir dengan genre tenpik💃 dan dengan kurang ajarnya buat cerita lagi tanpa nyelesein cerita terdahulu😂 semoga kalian ngerti jalan ceritanya💋 hope u like it! See u👋
Tetap padamu, 11 April 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top