Bagian I : 6

"Apakah bodoh jika aku bertanya apa aku akan pernah melihatmu lagi?"

Bahkan saat aku menanyakannya aku merasa bodoh. Aku gadis manusia fana bertanya hal semacam itu pada Pangeran Fairy. Tentu saja, aku mungkin bukan gadis pertama yang menanyakan pertanyaan bodoh ini, tapi seharusnya setelah setiap detik dari kehidupanku di Mag Mell, aku seharusnya cukup kebal. Seharusnya setelah setiap mimpiku untuk meninggalkan Mag Mell dan menemukan Beyond the Ground, untuk setiap harapanku dapat menghindari fairy, aku seharusnya tidak tertarik dengan satu. Tapi aku memang melakukanya, aku rasa aku cukup menyukai Oak untuk berharap bisa melihatnya lagi.

Dia tersenyum, senyum miring yang biasa. Aku tidak yakin harus membalas senyumnya atau tidak. Dia duduk di bangku tempatku biasa menulis. Jarinya mengetuk meja dengan ritme yang lambat, melihat ke botol tinta dan pena.

"Itu lebih terdengar menyanjung untukku dari pada bodoh," ucapnya, berbalik untuk melihatku duduk di tepi ranjang.

Aku seharusnya tidak menbawanya ke kamarku, aku seharusnya tidak mempertimbangkan untuk menuruti keinginannya, aku seharusnya tidak mempercayainya sama sekali. "Jadi apakah kita akan pernah bertemu lagi?"

"Aku akan berkunjung," jawabnya begitu mudah, seolah itu hal paling normal untuk dia katakan. Sebagian diriku merasa senang dan sedikit lega, tahu fairy tidak bisa berbohong, tapi kemudian itu bisa berarti besok, lusa, minggu depan, atau bahkan abad. Dia tidak berbohong tentang akan berkunjung, tapi mungkin saat itu aku sudah menjadi terlalu tua atau mati. Aku seharusnya tidak peduli sebanyak ini.

Aku menghela napas, kurasa malam ini aku benar-benar banyak berpikir tentang seharusnya. "Baik."

"Dan apakah kamu ingin melakukan tawar menawarmu sendiri?"

Aku tidak siap dengan pertanyaan itu, jadi aku sedikit terkesiap dan mengembuskan napas terlalu keras. Aku bertemu dengan matanya berharap melihat ada yang berbeda, tapi tidak ada.

"Tidak. Bibiku akan melakukanya," jawabku dan seoleh dia tidak memperhatikan perubahan sikapku yang menjadi terlalu gugup, dia hanya mengangguk. "Kenapa kamu ingin melihat kamarku?" Aku bertanya ketika keheningan membuat ruangan menjadi terlalu sesak.

"Aku hanya ingin tahu seperti apa tempatmu tidur, jadi aku bisa menyelinap ke mimpimu."

"Jangan lakukan itu!" ucapku sedikit terlalu keras.

"Kenapa? Aku pikir kamu ingin melihatku lagi, Yreva." Dia bertanya dan berhenti mengetukkan jarinya.

Itu benar, aku ingin mengaku padanya kalau aku menyukainya, aku senang bersamanya, dan mungkin mulai mempercayainya bahkan jika dia fairy. Tetapi Bibiku terus memberi tahuku untuk tidak tertipu, dia terus memperingatkanku bahwa fairy bisa menjadi begitu baik hanya untuk menunggu waktu yang tepat untuk melemparkan permainan mereka. Aku masih ingat pembicaraan kami semalam.

"Mereka abadi Yreva, fairy bisa menunggu selamanya hanya untuk membujuk manusia ke penderitaan mereka. Jangan pernah percaya padanya! Bahkan jangan berpikir untuk mulai percaya!" ucap Bibiku saat Oak baru saja pergi sore itu.

"Aku tahu itu! Aku tidak akan lupa!" jawabku secara otomatis, Bibi meraih bahuku, membuatku melihat langsung ke matanya.

"Aku melihat kamu, Yreva! Caramu menatapnya dan kilau di matamu saat dia mengucapkan namamu, atau rona di pipimu saat Pangeran Oak mencium tanganmu. Tidak jatuh cinta pada fairy, Yreva! Itu peraturan untuk bertahan hidup di Mag Mell!" Bibi membentakku dan aku sedikit malu karena sadar bahwa semua yang dia katakan benar.

"Aku tidak akan, Bibi Marie. Aku tahu apa dia dan apa yang bisa dia lakukan. Bahkan jika aku benar-benar jatuh cinta, aku selalu tahu perasaan itu tidak akan sama di sisinya." Dia mendesah seolah-olah dia telah kehilangan tenanga untuk meneruskan percakapan itu. "Aku tahu apa yang aku hadapi."

"Baik, hanya jangan pernah percaya pada fairy!"

Aku mengangguk semalam tetapi sekarang saat melihat Oak duduk di kursi kayuku, aku bertanya-tanya benarkah aku tidak bisa mempercayainya? Di hutan waktu itu, saat Redcap muncul. Dia melindungiku, dia tidak membiarkan hal buruk terjadi dan bicara seolah-olah dia tidak ingin perang dengan manusia, dia tidak ingin bermasalah dengan kami. Mungkin Oak berbeda dengan fairy yang lain, lagi pula hampir dua bulan aku mengenalnya dan dia tidak pernah berusaha untuk membujukku atau mencoba menipuku dalam tawar-menawar, kecuali barusan beberapa saat yang lalu dia menawarkannya. Namun ketika aku menolak dia tidak mendorongku, tidak berusaha membujukku lagi.

"Yreva? Kamu tidak mendengarkanku?" ucap Oak. Aku mendongak, tersenyum minta maaf dan menggeleng.

"Maaf, hanya sedang memikirkan beberapa hal di kepalaku," jawabku. "Apa yang kamu katakan?"

"Aku bertanya, apakah kamu menulis cerita?"

"Tidak, tentu saja tidak." Aku melompat berdiri dan meremas jari-jariku dengan gelisah. "Kenapa kamu bertanya?"

Dia tidak mungkin tahu, bagaimana dia bisa?

Dia menatapku dengan tatapan yang terluka seolah dia kecewa padaku. Aku ingin datang padanya dan memohon untuk tidak melihatku seperti itu. Aku ingin dia menyukaiku dan itu mengejutkanku lebih dari apa pun. Aku tidak pernah berharap sebanyak ini untuk diterima oleh seseorang atau fairy dalam kasusku. "Oak?"

"Aku pikir kita teman." Dia tetap duduk dan aku masih berdiri beberapa langkah darinya, aku tidak yakin untuk mendekat atau memintanya pergi. Aku tidak siap untuk ini, jika dia tahu, apa yang akan dia lakukan?

"Kita," jawabku, meskipun aku tidak yakin manusia dan fairy bisa berteman, atau memiliki hubungan apa pun.

"Lalu kenapa kamu harus berbohong padaku?" Dia bertanya dengan pelan, seolah untuk menanyakan hal itu saja membuatnya sakit. Aku ingin menjerit padanya bahwa dia fairy dan aku gadis manusia. Aku tidak boleh mempercayainya.

"Aku tidak berbohong," desisku. Aku semakin merasa buruk ketika dia hanya diam, melihatku seolah dia tidak bisa mengenaliku.

"Aku menemukan beberapa perkamen yang terselip di buku sketsamu beberapa minggu yang lalu. Ada tulisan tanganmu dan beberapa coretan. Itu potongan sebuah cerita. Aku tidak bertanya karena aku pikir kamu takut untuk mengatakan itu padaku." Aku tidak mengatakan apa pun, aku tidak mungkin seceroboh itu, mungkinkah aku?

"Aku—"

"Aku pikir kita berteman, aku selalu ingin berteman dengan manusia. Kalian adalah keajaiban."

"Fairy adalah keajaiban." Kami saling menatap. Mungkin baru saja sadar bahwa kami iri satu sama lain, ingin apa yang kami tidak miliki.

"Bisakah aku melihat cerita yang kamu tulis?" Dia bertanya, benar-benar ingin tahu. Aku tidak mau melihatnya dan menggeleng.

"Aku tidak menulis cerita," ucapku lagi meski aku sadar suaraku terdengar bergetar. Aku mendengar bunyi derit kursi yang bergeser di lantai saat dia berdiri, berjalan ke arahku. Dia mengambil wajahku di antara tangannya dan ketika dia membuatku mendongak untuk menatap ke wajahnya aku ingin menangis hanya karena dia begitu cantik. Sudut tajam rahangnya, tulang pipinya yang tinggi, dia semua hal indah yang disatukan menjadi satu. Aku ingin dia untuk diriku sendiri, Pangeran Fairy-ku. Aku sudah bermimpi, banyak mimpi, di mana Oak akan memegangku seolah aku hal tercantik yamg pernah dia lihat. Dia akan membungkuk dan menekan busur bibirnya ke bibirku. Aku tidak berpikir aku jatuh cinta padanya tapi aku jelas terpikat. Atau mungkin itu sihirnya?

"Yreva—" Napasnya berbisik di bibirku dan dari jarak kami berdiri sekarang, aku bisa menghirup aroma dari dirinya yang begitu pekat. Dia mengingatkanku pada aroma musim panas. Apel masak, matahari, dan rumput. Aku bisa membayangkan saat ini kami sama sekali tidak berdiri di kamarku, tapi di bawah pohon apel dengan rumput tinggi di bawah kaki kami. Bayangkan sinar matahari yang terik membakar kulit kami dan membuat pipiku memerah, atau itu mungkin hanya karena Oak melihatku begitu dekat.

"Kamu Pangeran Fairy, aku ingin percaya padamu, tapi itu akan menjadi hal yang bodoh untuk dilakukan. Tolong jangan beri tahu siapa pun. Jika mereka tahu, mereka mungkin akan mengambilku." Aku fokus pada matanya saat aku mulai tersedak kata-kataku. "Kamu tidak ingin mereka mengambilku, bukan? Kamu tidak akan membiarkan mereka, bukan?"

"Aku tidak akan membiarkan mereka." Dahinya menyentuh dahiku. Aku kehilangan napasku saat itu. Seperti aku tidak lagi memiliki tubuh, seperti setiap bagian dari diriku mencair. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun memilikimu."

Tidak ada kata-kata yang bisa aku pikirkan saat perlahan lengannya melingkari tubuhku. Memelukku. Menekanku ke tubuhnya. Aku bisa mencium aroma musim panas yang menggoda saat wajahku di tekan ke dadanya. Begitu dekat. Begitu terhubung. Rasanya detik itu aku bisa mempercayai Oak. Tanganku yang sebelumnya terkulai di sisi tubuhku bergerak untuk balas memeluknya, mencengkeram punggungnya dengan putus asa.

"Aku takut. Aku selalu takut."

Tangannya naik ke leherku, membelai rambutku, dan dia membisikkan kata-kata di telingaku. "Tidak apa-apa, Yreva manis. Tidak apa-apa."

Dia terus membisikkannya. Berulang-ulang hingga itu menjadi litani di kepalaku. Membuatku ingin mempercayainya.

Kami bertahan dalam posisi itu beberapa saat lagi sampai akhirnya aku mengendurkan pelukanku dan mundur menjauhinya. Aku menemui tatapannya, sedikit merasa malu, tapi Oak hanya tersenyum. Seolah aku tidak pernah berantakan dalam pelukannya. Seolah kami tidak baru saja membicarakan tentang aku yang menulis cerita.

"Kapan Bibimu akan kembali?"

"Seharusnya tidak lama lagi. Kita sebaiknya menunggu di ruang tamu. Aku cukup yakin Bibiku tidak akan senang jika menemukan kita berdua di sini."

Aku mulai berjalan ke pintu dan dia mengikuti di belakangku tanpa protes. Saat kami mencapai ruang tamu aku mengambil jubahnya. Menyerahkannya pada Oak dengan rasa bangga dan sedikit khawatir. Aku telah menciptakan seni yang solid di jubah itu. Setiap bagian cerita dan kehidupan seekor gagak yang liar dan tidak terikat. Indah dan terjalin. Sejujurnya aku belum pernah membuat yang seperti itu. Keindahan dan cerita menjadi satu, aku hampir bisa merasakan sihir di dalamnya.

"Kamu menyukainya?" tanyaku tapi dia membeku.

Matanya berkilau seolah dia tidak berada di sana. Tubuhnya diam secara tidak wajar.

"Oak?"

Tidak ada jawaban.

"Pangeran Oak?"

Dia tetap diam. Itu membuatku takut. Rasa panik pertama mulai memasuki kepalaku. Aku baru saja akan mengangkat tanganku untuk mengguncangnya saat akhirnya dia berkedip. Dia menatapku dan perlahan tersenyum.

"Sangat indah, Yreva. Luar biasa!"

Aku mengerutkan dahiku, masih takut dengan apa yang baru saja terjadi. Suaraku terdengar gugup saat aku bicara, "Kamu yakin baik-baik saja?"

"Tentu saja. Aku belum pernah melihat sesuatu yang seindah ini."

Perlahan aku tersenyum. "Jujur, aku pikir itu bordir terbaikku."

"Ohh ... Yreva menis, kamu tidak tahu—" matanya berkilauan saat melihatku, jarinya menyentuh pipiku dengan lembut. "Aku begitu senang. Ini luar biasa."

Pintu depan terbuka detik itu dan Bibiku masuk. Membuat suara seperti tersedak di tenggorokannya saat dia menangkap jari Pangeran Summer Court menyentuh wajah keponakannya. Aku tersentak menjauh dari jari halus di pipiku. Malu dan merasa bersalah. Aku melihat Oak tapi dia sama sekali tidak terkejut, dia menarik tangannya dan mengangguk para Bibiku seolah tidak ada yang salah.

"Kami sudah menunggumu untuk sementara waktu, Marie. Yreva bilang kamu akan melakukan tawar menawar untuknya."

Bibi melemparkan tatapan tidak setuju padaku tapi saat dia kembali melihat Pangeran Oak, senyum bisnis sudah kembali ke bibirnya.

"Beberapa camilan dan teh panas akan bagus saat membicarakan pembayaran yang tepat," ucap Bibi sebelum dia memberiku isyarat untuk pergi ke dapur, "bagaimana jika kamu pergi untuk menyiapkannya Yreva?"

Aku mengangguk tanpa sepatah kata pun, kali ini Oak tidak menghentikanku seperti malam pertama dia datang ke pondok kami. Aku menyelinap ke dapur dengan tenang seperti gadis baik yang selama ini Bibiku besarkan. Aku mengambil ketel dari rak, mengisinya dengan air sebelum menyalakan tungku dan membiarkan air panas. Sementara itu aku mengambil beberapa biskuit gandum, itu bukan camilan yang mewah tapi hanya itu yang tersisa di rak. Aku menatanya di atas piring sebelum meletakkannya di nampan. Mengambil dua cangkir keramik dan teko untuk memasukkan bubuk teh ke dalamnya.

Ketika tidak ada yang perlu dilakukan kecuali menunggu air di ketel mendidih aku diam-diam menempelkan telingaku pada dinding kayu yang memisahkan dapur dari ruang tamu, tapi apa pun yang dikatakan Oak dan Bibiku, aku tidak bisa mendengarnya. Ada kata-kata tapi mereka mengucapkannya dalam nada rendah. Mustahil untuk menangkap apa pun itu. Suara menjerit dari ketel yang mendidih menarik perhatianku kembali. Aku bergegas meraih kain untuk melapisi tanganku sebelum mengangkat ketel dari api dan menuangkan air panas ke dalam teko.

Aku mengangkat nampan, praktis bergegas ke ruang tamu tepat di saat pintu depan pondok kami mengayun menutup. Aku sempat melihat sekilas jubah merah Oak, jubah yang baru saja aku selesaikan. Aku meletakkan nampan di atas meja, mengerutkan dahiku dengan bingung sebelum akhirnya aku melihat ke Bibiku.

"Kemana dia pergi?"

"Bagaimana mungkin aku tahu, Yreva?" Bibiku menatapku seolah aku anak kecil yang benar-benar bodoh. Seolah pertanyaanku sama sekali tidak masuk akal.

"Oak tidak pernah pergi begitu saja sebelumnya," jawabku, dan aku tahu aku terdengar tidak masuk akal.

"Oak? Sejak kapan kamu memanggil Pangeran Musim Panas tanpa gelarnya?" Ada nada peringatan di suara Bibiku dan aku tahu saat itu aku harus tutup mulut, tapi aku tidak bisa, aku perlu tahu.

"Apa yang kamu minta?" Aku bertanya, takut pada jawaban yang akan aku dengar.

Nada Bibiku naik satu oktaf saat dia menyilangkan tangan di dadanya. "Apakah dia memikatmu?"

"Dia tidak menggunakan sihirnya," jawabku lemah, jujur aku tidak tahu. Apakah itu sihirnya? Apakah apa yang aku rasakan selama mengenalnya nyata?

"Fairy tidak harus menggunakan sihir mereka untuk memikat manusia. Mereka cukup cantik. Cukup indah. Cukup mempesona untuk membuat seorang gadis melupakan apa sebenarnya Fairy. Mereka monster Yreva! Jenisnya mengambil ibumu. Jenisnya mengubah ayahmu. Mereka membunuh suami dan putriku. Apakah kamu lupa?"

Aku menggelengkan kepalaku. Mataku menyengat dengan panas. Aku tidak ingin diingatkan tentang semua itu.

"Tapi Oak berbeda." Mungkin jika aku bertanya pada Oak dia akan membantu ayah sembuh. Mungkin jika aku lebih berani. Lebih percaya.

"Mereka sama sayangku," ucap Bibi lirih. Kemudian dia berdiri dan memelukku saat itu air mata membelah pipiku. "Mereka memikat manusia ke penderitaan mereka."

"Apa yang Bibi minta untuk pembayaran?" tanyaku, untuk sesaat aku pikir Bibi tidak akan menjawab.

"Aku meminta hal yang benar."

"Bibi," rengekku tapi dia hanya melepaskanku dan menggelengkan kepalanya.

"Itu tidak masalah," ucapnya dan aku tahu dia tidak akan memberi tahuku.

***

Please vote comment and share!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top