24. Kedatangan Sasori

Dua minggu berlalu, Sasori yang telah memutuskan untuk menjumpai Sakura dahulu baru akan memikirkan lagi prihal kutukan yang berada pada diri Itachi pun menghela napasnya. Beberapa saat yang lalu, ia dapat membuka penglihatan para Dewa atas izin Yang Mahakuasa untuk mengetahui apakah Sakura telah sampai di Kerajaan Hyuuga. 

Ia lantas memutuskan untuk memberikan waktu beberapa jam sejenak, agar adindanya bisa merihatkan diri terlebih dahulu sebab telah menempuh perjalanan jauh, bagaimanapun Sakura sekarang sedang dikutuk berfisik manusia. 

Mengingat Kerajaan Hyuuga, menjadikan Sasori memikirkan seorang gadis pelayan yang tidak sengaja disakitinya. 

“Benar, bagaimana keadaannya sekarang?” 

Bola mata keemasan tiba-tiba bersinar, menampilkan sosok gadis yang beberapa saat lalu berada di pikirannya. Matsuri sedang membantu sang Tetua Tabib membuat sebuah ramuan, sepertinya gadis itu diperlakukan dengan baik dan mendapatkan semangat dari sesama rekannya. 

Di tempat para tabib, tetua memilah beberapa daun yang nantinya akan ditumbuk setelah dikeringkan, ia mengajarkan cara meramu obat untuk penderita demam. 

“Matsuri, sekarang lakukanlah seperti yang baru saja kucontohkan tadi. Setelah selesai ditumbuk, kau harus memasukkannya ke dalam kendi kecil ini.” 

“Baik, Nyonya. Akan hamba lakukan.” 

Mengingat apa saja yang harus dipilih dan dimasukkan ke dalam lumbung kecil terbuat dari batu seukuran telapak tangan, Matsuri lantas menunjukkan daun kering yang telah diramunya itu. Tetua hanya mengangguk singkat dan lantas menyuruh sang gadis yang masih terlihat sedih untuk menumbuknya hingga berbentuk bubuk. 

Tangan licah gadis belia itu bergerak, dengan lumbung dan juga lesung di tangan, beberapa saat setelahnya, ia pun mencampurkan ramuan ke dalam kendi yang tadi. 

“Sekarang telah bertambah pengetahuanmu tentang ilmu pengobatan, Matsuri. Walau kau hanya bisa meramu obat dan belum bisa memeriksa seseorang yang terkena penyakit.” 

Tersenyum tipis, gadis itu menganggukkan kepala dan berucap terima kasih. Sebenarnya Matsuri tidak tahu kenapa tetua seperti mengistimewakan dirinya daripada yang lain, padahal pekerajaannya adalah seorang pelayan dan bukan tabib. Ia terbiasa untuk membantu beberapa nyonya, kadang kala seorang putri. Namun, semenjak bertemu dengan Putri Sakura ia lebih sering di lingkungan istana Merak dan istana Dara. 

Tadi pagi Matsuri mendengar bahwa sang Putri dan Pangeran yang tengah berkunjung ke Kerajaan Uchiha telah kembali dan sampai di istana pusat, ia sekarang bertanya-tanya bagimana gerangan jika mereka berjumpa. Apakah Putri Sakura akan prihatin karena kondisinya? Beberapa hari setelah kehilangan bayi, Putri Mahkota Hinata datang berkunjung dan menghiburnya, tidak bertanya apa yang telah terjadi, tetapi terus memberikan semangat kepadanya yang hanya seorang pelayan ini. 

Oleh karena itu, berkat Hinata lah Matsuri merasa lebih baik sekarang, bisa mengendalikan perasaan dan suasana hati agar tidak bersedih bahkan nyaris gila. 

Mengembuskan napas, tubuh Matsuri yang saat itu baru saja melahirkan tiba-tiba menjadi sehat kembali. Tidak tahu apa yang telah dilakukan Maharaja Sasori, sang tetua tabib mengatakan bahwa Anak Dewa dari Kerajaan Matahari memiliki kekuatan penyembuh yang selalu menjadi rebutan bagi dua kerajaan lainnya. Terluka karena apa pun maka bisa disembuhkan dengan kesaktian tersebut. 

“Maharaja Sasori,” bisik Matsuri, gadis itu menatap sendu.

“Ya, ada apa, Matsuri?” tanya nyonya yang sibuk menyusun kendi kecil pun menatapnya dan berhenti sejenak.

“Ah, tidak, Nyonya.” Gadis itu tersenyum kecil, dan lantas ikut membantu.

Di dalam benak ia bertanya-tanya, apakah dirinya berhak marah atas kejadian yang menimpanya? Beliau adalah seorang Maharaja, tetapi tetap saja bagi Matsuri sang anak adalah sosok paling berharga. 

Aku benar-benar memohon maafmu, Matsuri. 

“Eh?” gadis itu berhenti sejenak, entah hanya kebanyakan melamun, Matsuri seperti mendengar suara Sasori. Namun, ia yakin bahwa tidak salah.

Tiba-tiba saja laki-laki yang berada di pikirannya benar-benar telah berada di tempat ini, sinar nan putih membuat ia menutup mata dengan sebelah tangan, sesaat kemudian Sasori muncul dan membuat sang tetua tabib terpaku seketika sebelum bersujud. 

“Bangkitlah, aku hanya ingin berbicara dengan Matsuri sejenak.” 

Wanita yang adalah keturunan Dewa itu mengangguk dan berpamit diri, tinggalah Matsuri dengan Sasori di ruangan ini. 

Menghela napas, Matsuri lantas ingin menyujudkan diri, tetapi sebelum menyentuh lantai, sebelah lengannya telah ditahan oleh tangan Sasori. 

Ia pun menegakkan kepala dan terkejut. Lantas menatap Sasori sebelum sadar tindakannya itu tidaklah sopan. 

“Ma-maaf, Yang Mulia?” 

“Tidak mengapa. Lalu, bagaimana keadaanmu sekarang, Matsuri?” 

Gadis itu terdiam sejenak, sebelah tangannya terangkat dan bagai menggenggam jantung. 

“Aku bisa merasakan keresahanmu.” Sasori menyentuh tangan Matsuri yang berada di tengah dada, lantas membuat gadis itu berjengit dan langsung memundurkan langkah. Melihat hal demikian, Sasori pun memandang tidak mengerti. 

“Hamba... hamba sudah lebih baik, Yang Mulia. Terima kasih atas perhatian yang telah Yang Mulia berikan.” 

Walaupun berkata demikian, Sasori tahu bahwa Matsuri masih memendam luka atau malah benci kepadanya. Untuk yang satu ini tidak perlu dilihat dengan kemampuan sebagai Anak Dewa, dengan mata kepala saja ia bisa menyaksikan sorot mata yang mencerminkan perasaan sang gadis. 

“Baiklah, untuk saat ini aku tidak bisa terlalu lama menemuimu karena ada keperluan yang harus kuurus, permisi.” Sasori lantas menghilang, meninggalkan Matsuri yang masih memandangi bekas lelaki itu berdiri di hadapannya. 

.

.

.

Kolam ikan menjadi pemandangan yang cukup membuat Sakura merasa lebih segar, sesekali tangannya menyobek roti dan menaburkan di sana mengikuti aktivitas yang tengah Sasuke lakukan. Sebenarnya, ia masih merasa banyak hal yang dilupakan, dan entah bagaimana walau dipaksakan, Sakura tidak bisa mengingat. 

Bertanya kepada Sasuke tidak akan membuahkan hasil tentu saja, sebab seperti yang terjadi beberapa pekan lalu, jika mereka membocorkan sesuatu yang berkaitan tentang dirinya, maka kutukan itu akan bangkit. 

Merasa agak bosan, ia pun menatap Sasuke dan berpamit ingin berada di gazebo saja. Melangkahkan kaki, ia memutuskan duduk di sana sambil menikmati camilan yang tersedia, teh dan juga dentingan dari kecapi yang dimainkan pemusik. 

“Sore nanti aku akan menemui Hinata dan Matsuri, sudah beberapa minggu tidak berjumpa.” 

Memejamkan mata sejenak, Sakura meletakkan dagu di pembatas kayu, menatap suasana taman dengan perasaan bergermuruh karena sekarang pikirannya sedang membuana kepada sosok Itachi. Bagaimana keadaan laki-laki itu, mereka harus segera meminta pertolongan dari Maharaja yang bernama Sasori.

Ketenangan itu mendadak lenyap, Sakura tersentak mendengar suara gedebum dari arah timur gazebo yang menjadi tempatnya tadi melihat ikan dengan Sasuke, Menolehkan kepala, lantas ia langsung terbelalak karena melihat seseorang yang telah menghantamkan pukulan hingga Sasuke terguling menghantam tanah. 

Sakura langsung berdiri, melihat sosok yang begitu mengerikan dengan tangan mengeluarkan bara api yang membakar apa saja, aura merah menguar dan menyebabkan rambut laki-laki itu berkibar. 

Berlari menghampiri Sasuke, ia terkejut karena melihat sang Pangeran Uchiha batuk darah mengerang kesakitan, setengah wajah laki-laki itu terbakar hingga menyebabkan cacat dengan luka yang bisa menjadi permanen. 

Bola mata Sakura terbelalak, tidak mungkin, semengerikan apa pun luka yang diterima Sasuke, laki-laki itu tidak akan merintih jika bukan karena serangan senjata yang terbuat dari emas. Lantas, kenapa Sasuke terlihat amat menderita?

“Sa-sasuke?” Sakura tersadar dan langsung membantu laki-laki itu untuk duduk. 

Memegangi bahu laki-laki yang telah menikahinya, Sakura lantas menatap sosok yang sekarang terpaku menatap dirinya. 

“Siapa kau hingga menyerang Sasuke?” tanya Sakura dengan teriakan dan sorot marah. 

Laki-laki yang berambut merah panjang itu seperti terhenyak, kemudian wajahnya berubah menjadi dingin. 

“Sasuke, aku akan mematahkan tulang-tulangmu, Sialan.” 

Dengan susah payah Sasuke mencoba menjawab, mengatakan bahwa Sasori tidak hanya akan mencelakai dirinya, Neji yang terlibat mungkin telah bernasib sama. 

“Apa? Tidak mungkin, jangan bilang bahwa sekarang Neji dan Hinata terluka karena ulahnya.” Pernyataan itu terucap, Sakura panik seketika. 

“Aku hanya akan menyiksamu, Sasuke. Maka dari itu, bersiaplah untuk menanggung segala yang telah kaulakukan!” 

Alis Sasori mengernyit karena menyaksikan Sakura menyembuhkan luka Sasuke dengan kemampuan suci dari Anak Dewa dan Dewi Kerajaan Matahari. Ia tidak bisa membiarkan karena ia akan memberikan laki-laki itu ganjaran atas segala perbuatan yang telah menyembunyikan adiknya, dan juga menjadikan dirinya kambing hitam untuk melawan Gaara. Sialan.

Kembali bersiap, Sasori mengepalkan tangan hingga kobaran api nan merah kembali mengelilingi tangan. Hal itu lantas tidak dibiarkan Sakura, ia mengambil pedang yang ada di pinggang Sasuke dan bersiap melawan sosok yang sepertinya adalah orang yang dimaksud Ratu Mikoto. Jadi, mereka harus meminta pertolongan dari orang seperti ini? 

“Jika kau mau melukainya, maka langkahi mayatku.” 

Menyaksikan hal ini, sebelah alis Sasori naik. Dadanya berdenyut sakit karena Sakura tidak bisa mengingatnya, tetapi sudah lama sekali ia tidak melihat adik kecilnya mengamuk karena tidak diindahkan oleh Sasori. 

Sasori menghilangkan auranya dengan mengembuskan napas panjang, kembali seperti sedia kala dan kini melangkah mendekati gadis yang sedang memegang pedang dan bersiap untuk menyerang. Tidak gentar, tentu saja. Ia adalah seorang anak dari Dewa. 

Melihat sosok Maharaja Sasori yang semakin melangkah mendekat, Sakura pun berpikir harus mundur atau malah melayangkan serangan dengan berlari ke arah Sasori? Menggigit bibir karena jarak mereka hanya terpisah dua meter, Sakura memutuskan untuk menebas lelaki yang teramat berbahaya itu, setidaknya ia berpikir agar sosok itu jera. Jika terluka, ia bisa menyembuhkannya’ kan? 

“Aku bilang jangan mendekat!” bola mata Sakura terbelalak, mencoba mengancam sekali lagi. 

Tidak punya pilihan, pedang emas yang menjadi senjata Sakura pun menerjang dengan ayunan sekuat tenaga menuju dada Sasori. 

Kelopak mata terpejam, takut-takut darah teramat banyak adalah hal yang pertama kali akan Sakura dapatkan. Membuka mata, ia malah tidak melihat hal yang seharusnya terjadi bila seseorang dihantam oleh mata pedang dengan terjangan kuat. Sosok itu, masih berdiri tanpa ekspresi, menatap Sakura yang hanya setinggi dada dan berkali-kali mengayunkan senjata kepada Sasori. Namun, tidak ada cipratan darah, luka, bahkan sutra yang robek karena ketajaman mata pedang.

APA DIA SEKUAT ITU? Sakura menjerit di dalam batinnya. Bagaimana ini??

.
.
.

Bersambung

Terima kasih udah baca dan vote, jangan lupa komen ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top