23. Keputusan
Wajah murung masih menghiasi raut Sakura, walau sudah hari ketiga berada di Kerajaan Uchiha, gadis itu masih mendapati keadaan Itachi yang tidak juga ada perkembangan berarti, begitu menyedihkan dan sangat memprihatinkan. Menghela napas, ia keluar dari kamar sang Putra Mahkota, menatap Sasuke dan memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar mengelilingi pekarangan istana.
Tiada cara untuk menyembuhkan diri Itachi, sebab lelaki itu begitu menyanyangi Gaara. Namun, tiba-tiba Sakura memikirkan Maharaja Sasori yang tidak ia ingat sama sekali bagaimana rupanya, tetapi bisa menyembuhkan Putra Mahkota Itachi.
Sakura lantas menatap Sasuke, menarik lengan lelaki itu untuk lebih dekat dengan dirinya, memastikan bahwa Naruto telah berjalan dengan Raja Fugaku cukup jauh dari mereka.
"Sasuke, aku ingin bicara."
Menganggukkan kepala, mereka lantas berbelok dan memutuskan untuk duduk di bawah pohon.
"Ada apa?"
"Maharaja Sasori, kita harus meminta bantuannya untuk menyelamatkan Kakanda."
Laki-laki itu menatap dengan cukup intens.
"Maharaja bukanlah seseorang yang bisa dimintai tolong untuk saat ini, beliau pasti tidak mengindahkannya, Sakura."
Terheran sejenak, Sakura kini mengernyitkan alisnya.
"Kenapa demikian? Bukankah beliau adalah Anak Dewa yang paling sakti dan menjadi Maharaja, berarti bisa mengangkat kutukan para Keturunan Dewa?"
"Terjadi sesuatu hingga mengubah beliau seperti sekarang ini. Namun, kita juga tidak bisa menyalahkan Maharaja Sasori."
Terdiam sejenak, Sakura memandang Sasuke yang tidak menatapnya ketika menjelaskan hal demikian, malahan laki-laki itu menyoroti entah apa di depan sana. Sakura menghela napas, tiba-tiba ia memikirkan sesuatu. Agak ragu ketika ingin menanyakan hal in kepada Sasuke, tetapi akhirnya ia mengeluarkan suara juga.
"Apa... apakah ini ada hubungannya dengan kejadian lima tahun silam, Sasuke?" tanya gadis itu, bola matanya menatap wajah tegas laki-laki berambut kelam nan panjang.
Tidak ada jawaban untuk beberapa saat, Sakura mulai mengerutkan alis bertanda agak kesal karena merasa bahwa dirinya sedang tidak diacuhkan. Mencoba bersabar sejenak, tetapi ternyata tidak membuahkan hasil karena Sasuke tetap bergeming.
Sebelah tangan gadis itu lalu meninju pelan lengan atas laki-laki yang duduk di sebelahnya, membuat Sasuke lantas menolehkan wajah dan menatap Sakura.
"Semua itu, harus kau cari tahu sendiri, Sakura." Kalimat tersebut membuat Sakura mengembungkan pipi kesal, ia memahami bahwa karena kutukan ini, Sasuke tidak bisa menjelaskan sesuatu yang berkaitan tentang ingatan masa lalu.
"Aku memiliki firasat bahwa Maharaja Sasori memang memiliki hubungan dengan kita semua."
Tersenyum simpul, Sasuke lantas meletakkan tangannya di kepala Sakura, membuat gadis itu melotot lucu dan berusaha menghentikan tindakan tersebut.
Menarik lengannya, sekarang Sasuke menghela napas. Mengatakan kepada Sakura bahwa mereka harus segera kembali, tidak bisa terlalu lama berada di tempat ini. Dalam benak, Sasuke menambahi perkataannya, jika sampai Sasori menemukan ia di tempat ini maka laki-laki itu pasti akan melakukan sesuatu kepadanya.
Keesokan hari, mereka pun meminta izin kepada Raja dan Ratu, sudah lebih dari tiga hari mereka berada di tempat ini, dan ia yakin sekarang Maharaja Sasori masih berada di istana Hyuuga karena telah membaca suratnya.
"Anakku, kapan-kapan datanglah lagi untuk menjenguk kakandamu ini." Ratu Mikoto dan Sakura saling menguatkan, menggengam telapak tangan masing-masing dan tersenyum pasrah atas keadaan sang Putra Mahkota.
"Iya, Ibunda, kami pasti akan datang lagi. Sakura harap, kakanda telah sadarkan diri nantinya ketika kami ke istana ini."
"Sasuke, jagalah dirimu dan istrimu baik-baik. Ibunda mendoakanmu." Mikoto memeluk putra bungsunya, kemudian tersenyum tulus.
Mereka lantas memisahkan diri, Naruto juga telah menuju kerajaan Uzumaki sehari lalu, sebab harus mengurus beberapa pekerjaan yang diberikan kepadanya. Dan sekarang, giliran pasangan suami-istri itu yang kembali ke Kerajaan Hyuuga.
***
Rasa bersalah cukup menguasai Sasori ketika mendapati gadis belia yang baru saja kehilangan bayi masih belum juga berhenti menangis, walau ia tengah mengawasi, nyatanya Matsuri ingin dibiarkan seorang diri untuk saat ini. Hela napas terdengar, tidak mengherankan memang, dari yang ia tahu, bayi itu adalah buah hati pertama sang gadis.
Melihat Maharaja dari Kerajaan Matahari berdiri di depan pintu dan sesekali mengintip di celah, sang Tetua para tabib pun menyapa sambil bersujud hormat. Setelah Sasori menyuruhnya berdiri, ia memerintah agar wanita itu menghibur parasaan Matsuri yang sedang teramat bersedih.
"Dengar, aku menitipkan gadis itu kepadamu untuk bebepa saat. Buatlah dirinya nyaman dan melupakan kesedihannya."
Lantas setelah mengatakan hal demikian, Sasori memilih pergi, ia harus menuju ke istana Uchiha. Pasti adindanya berada di tempat itu untuk melihat keadaan Itachi atau memanglah Sasuke yang sengaja menyembunyikan keberadaan Sakura.
Mendengkus kesal, ia lantas pergi dengan cara menghilangkan diri.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk bisa sampai di Kerajaan Uchiha, ketika Sasori memijakkan kaki ke istana, para keturunan Dewa yang berusia panjang dan telah mengenalinya langsung terhenyak dan lantas bersujud, salah satu dari mereka berlari untuk mengabarkan hal ini kepada Raja Fugaku. Munculnya sang Maharaja tentu adalah suatu berkah tersendiri bagi mereka, sebab sudah sejak dahulu Raja ingin meminta tolong untuk menyembuhkan kutukan yang berada di dalam tubuh Itachi.
Menatap sekeliling, tanpa memedulikah para petinggi atau pengawal yang berjaga, ia pun melangkah. Menuju kamar Itachi, tetapi tidak merasakan hawa keberadaan Sakura dan Sasuke. Hanya Putra Mahkota dan Ratu Mikoto.
Membuka pintu tanpa membiarkan pengawal menyerukan kehadirannya, sosoknya yang menjulang dengan rambut merah tergerai panjang membuat sang Ratu langsung membelalakkan mata. Beberapa saat kemudian, Raja Fugaku menghadap Sasori dan langsung bersujud sambil berterima kasih karena kunjungannya.
"Tidak perlu berbasa-basi, Raja Fugaku. Di mana adikku dan Sasuke?"
Ia berjalan mendekat, menatap sosok Itachi yang tertidur bak mati, rambut putih menghiasi kepala Putra Mahkota bak uban, punggung tangan lelaki itu begitu dingin ketika ia menyentuhnya.
"Putri Sakura dan Pangeran Sasuke telah kembali sehari lalu, Yang Mulia."
"Apa katamu?" mendecak dan menghela napas dalam, Sasori lantas memijat pangkah hidung.
Ia sekarang tefekur, berpikir kenapa Yang Mahakuasa selalu tidak mengizinkannya untuk memakai mata takdir untuk melihat keberadaan adiknya, sosok Sakura yang entah di mana sekarang. Sekitar seminggu lagi mereka baru sampai ke istana.
Tiba-tiba saja, Sasori teringat perkataan Kabuto dahulu, yang menjelaskan bahwasannya mungkin saja ia akan diberikan kemudahan oleh Yang Mahakuasa untuk menemui adindanya, jika mau mengabulkan keinginan Raja dan Ratu untuk menyembuhkan Itachi.
Matanya yang keemasan menyoroti laki-laki yang dahulu dekat dengannya, sudah lima tahun berlalu dan Sasori tidak bertemu satu kali pun dengan lelaki yang masih terpenjara di dalam kutukan.
Itachi terlalu baik hati. Di dalam benak, Sasori berbicara.
"Yang Mulia," bisik Ratu Mikoto membuat laki-laki itu menolehkan kepala.
"Kalian tahu, bukan. Urusanku hanyalah kepada Gaara dan bukanlah Itachi, dia membiarkan Gaara hidup padahal bisa mengembalikan kutukan yang membelenggu di tubuhnya. Membiarkan adindaku tersiksa dalam ingatan dan kisah cinta palsu, aku tidak akan memaafkan meraka semua." Sasori berkata dingin, ia sama sekali tidak menatap suami-istri yang terlihat saling menguatkan.
Isak tangis mulai terdengar, Ratu Mikoto gemetar karena mendengar sendiri bahwa Gaara dan Itachi tidak mendapatkan pengampunan dari sang Dewa.
"Pangeran Gaara hanyalah salah langkah, Yang Mulia. Kumohon sadarkan dirinya dan berikan dia bimbingan agar kembali ke jalan Dewa. Sejak kecil dia telah menderita karena dibuang oleh Kerajaan Sabaku." Mikoto nyaris bersujud di kaki Sasori jika tidak dihentikan suaminya.
Mengerutkan alis, Fugaku sendiri tidak menyangka bahwa Sasori pun berbuat sama untuk tidak mengampuni Itachi, padahal semestinya sang Anak Dewa pasti memahami bagaimana perangai anak sulungnya itu.
"Yang Mulia, Putra Mahkota Itachi hanyalah seorang kakak yang menyayangi adik-adiknya, begitu pula dengan Putri Sakura. Itu sebabnya kita tahu, ia rela mengorbankan diri demi Dewi. Jika tidak, kita tidak akan tahu hal apa yang akan menimpah Dewi."
Menatap Fugaku, alis Sasori mengernyit. Ia tahu saat itu Sakura masilah seorang gadis kecil yang tidak bisa menggunakan kesaktian sebagai Anak Dewa, dan kegelapan yang terlalu pekat pada kutukan tersebut akan sulit dikendalikan Sakura yang masih berusia dua belas.
Benar-benar hanya para Anak Dewa yang diberikan mata takdirlah yang bisa mencari keberadaan Sakura karena jiwa dan raga gadis itu diselimuti iblis.
Memandang Itachi kembali, Sasori mengembuskan napas dan memejamkan mata sejenak. Ia pun melangkah dan berhadapan dengan pasangan suami-istri.
"Aku akan memikirkannya kembali, jika aku telah bertemu dengan Sakura."
Laki-laki itu lantas menghilang, pergi menuju Kerajaan Matahari.
.
.
.
Suasana di ruangan pribadi seorang Anak Dewa terlihat begitu suram, meski hari menjelang siang, Toneri tidak membuka jendela dan tetap berbaring di atas ranjang. Ia sedang gusar, tentang perkataan kakandanya beberapa pekan lalu mengenai takdir hidup yang telah dilihat Maharaja Indra.
Tidak bisa ia lupakan, kakaknya mengatakan ia akan mengerti jika telah merasakan sendiri apa yang telah terjadi terhadap Indra. Cinta? Ya, ia mendengkus memikirkannya.
Kelambu disibak, digenggam erat hingga tiangnya jatuh. Kembali ia menghela napas gusar. Belakangan ia bermimpi, seorang gadis lancang menyumpahinya dengan begitu lantang bahwa ia akan menerima karma karena telah menghina karunia terindah dari Yang Mahakuasa.
Tidak mau memikirkan hal itu, Toneri menggelengkan kepala. Memutuskan bangun dan melepas sutra tidurnya. Telanjang dada, ia melangkah dan memutuskan untuk memanjakan diri di pemandian istana. Kadang kala ia penasaran, hal apa yang membuat Maharaja Indra jatuh cinta?
Tidak ada yang bisa dijelaskan jika engkau telah merasakan cinta, Toneri.
Tiba-tiba laki-laki itu mendengar suara sang kakak, itu adalah Ashura—kakanda keduanya yang selalu usil mengerjai Toneri. Tiba-tiba laki-laki itu muncul dan tersenyum ramah.
"Kakanda, tidak seharusnya dirimu memasuki area pribadiku tanpa imbawan dan izin."
Laki-laki berambut gelap itu duduk di bangku berbantalan empuk, mengangkat sebelah kaki dan memandangi adiknya yang tengah mencari pakaian yang lebih layak untuk keluar dari istana.
"Apa yang kita pahami dengan kehidupan manusia dan keturunan Dewa, Kakanda? Sebagian dari kita bahkan memutuskan tidak menikah, contohnya Kakanda sendiri."
Tertawa kecil, laki-laki itu lantas menggeleng-gelengkan kepala sejenak.
"Belum menikah, bukan berarti memutuskan untuk tidak menikah, Adikku. Kita berusia kekal, dan sebagian terlampau nyaman dengan kekuasan atau kepemimpinan, mengayomi masyarakat dan langsung bertindak jika ada yang mencoba memulai perseteruan. Namun, tetap saja banyak yang pada akhirnya memilih takdir untuk menikah dengan orang yang entah dijodohkan oleh para tetua atau bahkan karena berlandas saling cinta."
Mengernyitkan alis, Toneri menatap Ashura yang masih memakai pakaian kebesaran berupa semacam armor berbentuk kepala naga di sabuk pinggang dan sebelah bahu.
Melihat keraguan di wajah adiknya, Ashura kembali menjelaskan tentang kalangan mereka.
"Dewa juga memiliki hati, kita adalah ciptaan Yang Mahakuasa dan pastilah yang ada di dalam dada ini memiliki kegunaan. Menurut Kakanda Indra, ia merasakan perasaan yang bernama cinta dan semua itu bermula dari hatinya."
"Aku tidak tahu harus berkomentar apa, Kakanda."
Tertawa lagi, sekarang Ashura berdiri, mengenggam bahu Toneri dan menatap laki-laki yang lebih muda itu.
"Aku telah mengetahui bahwa kau tengah gusar akan penglihatan Kakanda Indra terhadap takdir dirimu, bukan?"
Anggukan kaku terlihat.
"Kau tidak perlu resah, ikuti saja kisahmu ini. Semuanya akan mengalir dengan indah, dan juga," jeda sejenak, Ashura menepuk-nepuk tengah dada adiknya dan melanjutkan berbicara, "jika kau merasa sesuatu yang berbeda di sini, jangan melawannya."
Tidak terlalu mengerti, Toneri pun kembali terdiam dan menganggukkan kepala.
"Kakanda, apakah engkau pernah merasakan sesuatu di sini juga?"
Tersenyum, Toneri melihat laki-laki itu menganggukkan kepala dan hal demikian lantas membuatnya membelalakkan mata.
"Kenapa bisa? Apa saja ciri-cirinya?"
"Awalnya kau merasa cukup tertarik kepadanya, memikirkannya, bahkan akan memimpikannya berkali-kali, ketika kau sadar, kau telah berada teramat dalam dengan perasaan bernama cinta."
Pupil lelaki itu kembali melebar, membuat Ashura memiringkan kepala dan mengerutkan alis untuk mencerna mimik yang ditampilkan adiknya.
"Tidak mungkin?"
.
.
.
Bersambung
.
.
.
Ternyata ngecek di file komputer udah diedit, cuma tinggal upload doang.
Makasih udah baca, jangan lupa vote dan komen.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top