22. Pertanggungjawaban
A Frozen Flower by zhaErza
Naruto by Masashi Kishimoto
Sorot mata marah berubah, mengetahui jalan pikir Gaara, ia pun lebih memilih untuk menghilang dan lantas berdiri di depan Matsuri yang tengah tidak sadarkan diri karena waktunya dihentikan. Memang gadis itu tidak akan terluka, tetapi bola kelam akan menghisap jiwa seseorang dan menghancurkan tubuh gadis yang tengah dijaga oleh Sasori.
Menjulurkan telapak tangan, Sasori menahannya, menatap seringai Gaara dan keberhasilan lelaki itu untuk melarikan diri.
Sepersekian detik, bola kelam kini membeku, kemudian ditebas dengan pedang kilat merah hingga hancur berkeping-keping dan berubah menjadi debu. Kemarahan tercetak jelas, kedua kalinya ia membiarkan Gaara melarikan diri. Mengendalikan amarah, ia pun mengembuskan napas dengan perlahan.
Sekarang Sasori membuka mata takdir, ingin mengetahui apakah orang-orang disekitarnya diberikan kesempatan oleh Yang Mahakuasa untuk diselamatkan atau berakhir dengan kematian nantinya, iris keemasan yang telah berhenti bersinar menandakan sang Maharaja telah selesai mencari tahu takdir dari manusia yang masih tidak sadarkan diri di tempat ini.
"Bersyukurlah, Yang Mahakuasa masih menyertai kalian dan memberikan berkatnya."
Tersenyum sekilas, ia lalu melakukan apa yang telah menjadi tugasnya sebagai Maharaja. Mengembalikan situasi, dengan cara memperbaiki semua. Orang-orang yang terluka disembuhkan, dan tempat yang porak-poranda kembali seperti sedia kala.
Dengan sekali tiupan, kekelaman pun menghilang, tergantikan dengan situasi awal dari tempat yang sebelumnya mendapatkan serangan bertubi-tubi. Orang-orang yang baru saja sadarkan diri, terlihat kebingungan dan hanya bisa celangak-celinguk seperti telah melewatkan suatu hal, tetapi tidak tahu entah apa.
Pupil mata keemasan Sasori kini menatap gadis yang masih terduduk dengan pedar cahaya karena manteranya dan tengah menyandar di batang pohon. Ia lantas berjongkok dan menyentuh wajah pucat dari Matsuri, lalu memberikan tiupan kecil di ubun-ubunnya.
Beberapa saat berlangsung, setelah tiupan selesai Matsuri kembali bernapas dengan teratur. Sang gadis lantas merintih beberapa kali, bagaimanapun Matsuri masih terluka dan bayi yang berada di dalam rahim kini telah meninggal dunia. Apalagi Maharaja Sasori sama sekali tidak tahu cara mengeluarkan bayi dari perut seorang perempuan, tentu bukan membelahnya dengan pedang, kan?
Tidak ada cara lain, ia lantas menggembuskan napas.
Menggendong sosok sang gadis, Sasori lantas menanyakan di mana gerangan kediaman para tabib.
"Cepatlah berjalan! Sebab, gadis ini membutuhkan perawatan."
"Baik, Yang Mulia."
Seorang pengawal menunjukkan tempat tersebut setelah terlihat dari pandangan mereka, dengan secepat kilat Sasori lantas berpindah dan langsung masuk ke ruangan yang dipenuhi wanita dan juga obat-obatan herbal. Sepertinya para tabib tengah membuat ramuan dengan menumbuknya menjadi mirip seperti bubuk yang siap diseduhkan dengan air panas.
"Yang Mulia," ucap salah satu tetua di tempat ini, wanita yang adalah keturunan Dewa itu lantas menyujudkan diri, semua tabib yang melihat pun melakukan hal yang sama, memberi hormat kepada sang Maharaja.
"Bagunlah! Dan segera rawat gadis ini, dia tengah mengandung dan mengeluarkan darah cukup banyak." Sasori menjelaskan setahunya saja, beberapa orang berusaha untuk mengangkat Matsuri dari gedongannya, sebelum ia sendiri yang mengatakan harus meletakkan Matsuri di mana.
"Matsuri pendarahan hebat, bayinya mungkin masih hidup, tetapi setelah lahir pun tidak akan bertahan lama. Namun, hamba tidak bisa berharap banyak karena kondisi Matsuri sudah teramat lemah dan kehingan banyak darah." Sang tabib menjelaskan, melihat situasi gadis yang berwajah pucat dan keringat dingin karena tidak berdaya dalam derita.
Mengerutkan alis karena tidak memahami penjelasan dari sang tabib, Sasori yang duduk di samping kepala Matsuri pada ranjang tunggal pun bertanya karena tidak mengerti.
"Apa maksudmu?"
"Ampuni kelancangan hamba, Yang Mulia. Namun, dengan kondisi seperti ini, Matsuri pun tidak akan bisa bertahan untuk tetap hidup. Sekali lagi, mohon Yang Mulia mengampuni kelancangan hamba."
Menghela napas kasar, Sasori mengatakan dengan suara dalam bahwa ia hanya menginginkan agar bayi yang telah meninggal itu dikeluarkan dari perut Matsuri. Dan seharusnya mereka segera melakukannya karena setelah itu ia akan menyembuhkan sang gadis.
"Ampuni hamba, tetapi Matsuri harus sadarkan diri terlebih dahulu, Yang Mulia."
Sekali lagi sang Maharaja menghela napas dengan kasar, Sasori pun menggenggam telapak tangan Matsuri dan memberikan energi kehidupannya, bukan dengan sihir penyembuh. Sebab takdir berkata bahwa sang bayi telah meninggal dunia dan tidak mungkin bisa ia sembuhkan lagi. Maka dari itu, sekarang dengan energi kehidupan, Sasori menguatkan jiwa Matsuri, seperti yang sering dilakukan para Anak Dewa, meraka yang bukan merupakan keturunan dari Dewa Ishiki tidak memiliki anugrah sihir penyembuh.
Beberapa saat kemudian, kelopak mata mulai telihat terbuka secara perlahan, ketika telah berkedip dan menyadari situasi, Matsuri merintih merasakan sakit teramat sangat di perutnya.
"Ba... bayiku," lirihnya dengan air mata yang mulai mengalir di pipi.
"Matsuri, kendalikan pernapasanmu, kau harus melahirkan anak ini diusia bulan ke tujuh. Sekarang tarik napas dan embuskan perlahan." Jelas Tabib yang sekarang tengah duduk di bagian kaki ranjang dan tengah mengurusi Matsuri.
Sasori tidak tahu tentang kehidupan manusia pada mulanya, dan hari ini dia melihat seorang gadis yang tengah menjalani proses melahirkan. Gadis itu menjerit-jerit, menangis. Hingga ia bertanya-tanya, sebenarnya entah apa yang dilakukan oleh tabib karena terlihat hanya fokus untuk berada di bagian pangkal paha yang tertutup selimut, alis Sasori kembali mengerut ketika melihat Matsuri nyaris pingsan lagi.
"Matsuri, kau harus bisa bertahan. Kau adalah calon ibu dan harus kuat, Nak."
Energi kehidupan kembali dialirkan oleh Sasori, langsung menuju jiwanya untuk bisa bertahan lebih lama dalam kesadaran. Beberapa saat berlangsung, hingga akhirnya Matsuri terngah-engah ketika proses yang menyakitkan telah selesai ia emban. Gadis itu gemetar, begitu pucat dan masih menggenggam tangan Sasori yang lebih besar.
"Bayi itu telah keluar, sekarang aku bisa menyembuhkanmu." Sasori berkata, lantas Matsuri menolehkan wajah dan beru menyadari bahwa laki-laki yang tadi sempat begitu telihat mencurigakan, kini malah ada di sampingnya.
"Baik, Yang Mulia." Tabib berkata, kemudian mengurusi bayi yang baru saja lahir.
Matsuri tidak peduli, air matanya kembali menetes ketika tabib memandikan anaknya, kemudan membungkus dengan selimut putih. Fokus Matsuri hanya kepada buah hatinya, ia tidak tahu apa yang dilakukan lelaki asing itu sehingga ia merasakan tenaganya pulih dan rasa sakit mendadak hilang. Matsuri bahkan kini bisa mendudukkan tubuh, mengangkat kedua tangan untuk meminta bayi nan mungil itu dari tabib.
"Matsuri, sebaiknya kau beristirahatlah." Tabib tentu menginginkan sang gadis agar tidak langsung mengetahui bahwa bayi tersebut telah meninggal dunia.
"Saya tiba-tiba saja merasa pulih dan bertenaga, Nyonya. Saya mohon, saya sangat menantikan dirinya."
"Sebaiknya kauturuti perkataan tabib itu, walau sudah kusembuhkan, kau harus mengistirahatkan tubuh, Gadis Kecil."
"Hamba tidak tahu apa yang Tuan lakukan di tempat ini, tapi engkau kini telah menolong—"
"Matsuri, apa yang kaukatakan. Kau harus memohon ampunan, beliau adalah Maharaja Sasori, pemimpin dari Kerajaan Dewa Matahari." Tabib yang adalah tetua di tempat ini pun memperingati, sehingga bola mata Matsuri melebar dan memandangi wajah Sasori yang duduk di samping agak ke belakang dari tubuhnya.
"Ya-yang Mulia, mohon pengampunan atas kesalahan hamba." Gadis itu berniat menundukkan tubuh, tetapi Sasori lantas menghentikannya.
"Sebaiknya kau beristirahat, aku juga harus mengurus Sasuke dan Sakura. Mereka pasti berada di kediaman Uchiha."
"Hamba... hamba benar-benar menginginkan untuk memeluk anak hamba. Sekali saja, setelahnya hamba akan mematuhi ujaran Yang Mulia."
Tabib masih berpikir sekali lagi, apakah akan membiarkan Matsuri untuk melihat bayinya atau tidak, tetapi Sasori kemudian menganggukkan kepala. Lantas, diserahkanlah bayi tersebut kepada ibu kandungnya.
Matsuri berwajah haru, senyum nan tulus tersemat di bibir. Memandangi buah hati yang telah berada di gendongannya. Begitu mungil, matanya tertutup rapat, dengan bibir yang kecil dan agak kebiruan. Alis Matsuri mengernyit, senyum di wajahnya sirna ketika telapak tangan kini menyentuh wajah mungil itu dan mendapati suhu tubuh tidak hangat layaknya manusia normal.
Detak jantung kini bertalu-talu, keringat membasah wajah Matsuri, dan ia menatap tabib yang memandanginya dengan prihatin.
"Kenapa bayiku tidak menangis, Nyonya?" tanya Matsuri lirih, air mata langsung menetes deras. Menggelengkan kepala begitu kuat, Matsuri menjerit memanggil sang buah hati agar mau membuka mata dan menatap dirinya. "Bangunlah, ini Ibu. Ibumu!"
"Matsuri, tenangkanlah dirimu. Yang Mulia masih berada di sini."
Tentu gadis itu tidak mengindahkan. Malahan ketika menyadari kehadiran Sasori, Matsuri memohon agar Sasori menyembuhkan anaknya.
"Engkau adalah seorang Dewa, bukan? Hamba memohon agar Yang Mulai mau untuk menyelamatkan anak malang ini, hamba mohon." Gadis yang masih berusia teramat muda itu menundukkan kepala, dalam duduk nyaris bersimpuh terhadap Sasori yang ada di hadapannya.
"Kau mengira aku bisa membangkitkan jiwa yang telah mati, Yang Mahakuasa telah menulis takdirnya, dan aku tidak bisa menghalangi jalan yang telah Dia buat untuk anakmu."
"Tidak! Aku percaya akan selalu ada jalan, kumohon! Yang Mulia, selamatkan bayiku, aku tidak punya apa pun lagi, kumohon. Aku akan melakukan apa saja, bahkan menukarkannya dengan jiwaku sendiri, kumohon."
Sasori menatap tangisan gadis dan permohonan itu tanpa ekspresi, ia menjadi mengingat adik perempuannya yang dahulu sering menangis dan selalu menginginkan agar apa pun yang diminta untuk segera ia dikabulkan.
Menyentuh bahu Matsuri dan menegakan tubuh itu dengan perlahan, Sasori berujar maaf karena telah menyebabkan kematian untuk anak yang dikandung Matsuri.
"Yang Mulia, jangan berucap demikan." Sang tabib terkejut bukan main, pasalanya baru pertama kali ia melihat Maharaja melakukan ujaran permintaan maaf.
"Ini memang salahku, dan aku akan bertanggung jawab, Matsuri."
Gadis itu tidak juga menghentikan tangisnya, malah memeluk sang buah hati dengan seerat yang ia bisa. Untuk sekali saja, ia begitu menginginkan mendengar tangisan dari bayi yang telah dilahirkan olehnya. Namun, takdir begitu kejam.
"Kenapa Yang Mahakuasa begitu tega merenggutnya, Maharaja?"
.
.
.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top