18. Percaya
Naruto by Masashi Kishimoto
Story by zhaErza
.
.
.
Rambut Sakura menjadi putih bak salju, gadis itu seperti kehilangan seluruh tenaga dan jatuh tak sadarkan diri dengan kelopak mata masih terbuka sayu. Tentu saja, menyaksikannya membuat Hinata panik bukan main, sebab tanpa sadar ia telah membocorkan informasi tentang diri Sakura. Kutukan itu bangkit, kutukan yang telah membekukan ingatan sang Dewi terakhir.
Napas Hinata terengah-engah, berpikir apakah ini adalah akhir dari segela yang terjadi. Jika Neji mati maka ia akan bernasib sama, sebab beberapa dari keturunan Dewa yang sebenarnya terlarang memiliki ikatan satu sama lain terhadap keluarga. Biasanya yang terlahir di tanggal gerhana bulan merah, kelemahan yang lain yang tidak banyak diketahui masyarakat pada umumnya.
Maka dari itu, jika Neji terluka karena senjata terbuat dari emas maka Hinata akan merasakan efeknya, begitu pula sebaliknya. Dan yang bisa memutuskan takdir terlarang ini, hanyalah seorang Maharaja.
"Putri Mahkota, biarkan hamba memberitahu Raja Hiashi agar Pangeran Neji segera diobati."
Gadis itu menganggukkan kepala, kemudian pengawal mendudukkan Hinata di tiang agar bisa bersandar. Namun, beberapa saat berlalu datanglah sosok yang begitu mencolok karena dibalut sinar putih nan terang, hingga membuat pandangan menjadi silau.
Iris Hinata yang perak pun membesar, mengetahui siapa tamu yang tak diundang itu.
"Yang Mulia Pangeran Toneri Yang Agung," bisik Neji, ia pernah melihat catatan dan lukisan dari wajah sang Pangeran di buku pohon keluarga Kerajaan Bulan.
Laki-laki itu menolehkan wajah ketika mendengar namanya disebutkan, kemudian ia kembali menatap sosok yang sempat dibicarakan oleh sang kakak—Indra. Mengembalikan atensi ke sudut lain, bola mata sang Pangeran pun terbelalak karena mendapati sosok gadis yang selama ini diperebutkan beberapa kerajaan dan telah dikabarkan menghilang, kini tergeletak tak berdaya.
Melangkah mendekati sosok Sakura yang kelopak matanya terbuka sayu seperti tanpa jiwa, Toneri pun langsung menjongkokkan tubuh.
"Kutukannya telah terbangkitkan." Sang lelaki berucap, kemudian menatap Hinata dan pengawal yang tengah berlutut hormat.
"Yang Mulia." Gadis itu kembali berbisik.
"Seharusnya Keturuna Dewa dilarang di muka bumi ini, sebab inilah yang akan kalian dapatkan dari darah terlarang."
Mengerutkan alis, Toneri melangkah kembali dan mendatangi sosok Neji yang tengah dipangku Sasuke. Laki-laki itu mendengkus, sebab ia tahu bagaimana watak dari sang Pangeran Uchiha yang sekarang tengah menatapnya tajam. Mengangkat sebelah tangan, ia meletakkan telapak di atas dahi Neji.
"Aku terpaksa membuang energi kehidupanku untuk ini? Seharusnya kalian lebih menjaga diri, mengingat Keturunan Dewa memiliki kelemahan yang seharusnya tidak diketahui oleh banyak orang." Mata tajam Toneri menemukan sebuah senjata yang sepertinya bukan terbuat dari emas, tetapi berhiaskan darah. "Sang Dewi bahkan bisa memikirkan hal demikian, bersyukurlah senjata itu dilapisi semacam baja, luka yang disebabkan tidak langsung merenggut nyawa kalian."
Menggigit bibir, Hinata hanya bisa terdiam karena mendengar omongan menyayat hati yang diucapkan Toneri. Ia tidak bisa menjelaskan sebab dari kejadian ini karena derajat Toneri jauh lebih tinggi darinya, benar-benar tidak pantas untuk menyela ucapan tersebut.
Perlahan-lahan luka di dada kiri Hinata tersembuhkan, ia mengembuskan napas lega karena hal buruk yang sempat terpikirkan ternyata tidak terjadi. Dipandanginya Sakura yang masih terbelenggu di dalam kutukan tersebut, tubuh Hinata kembali bergetar, sebab ia tidak ingin Sakura akhirnya tiada dengan tanpa ingatan.
"Hah, aku benar-benar membuang energiku. Jika saja ini bukan perintah agar Gaara tidak menemukan kerajaan ini, dan mengambil kembali Dewi Sakura." Luka sudah tersembuhkan, tetapi Neji malah berakhir tidak sadarkan diri karena membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan energi Dewa.
"Karena sesuatu yang dinamakan cinta, makhluk seperti kalian berani membangkang." Walau suara Toneri selalu berintonasi datar, tetapi Hinata benar-benar sudah sangat tersinggung dengan apa yang dikatakan lelaki itu. Ia mengigit bibir untuk bertahan agar jangan sampai lepas kendali.
Sosok tersebut berdiri dan mendekati Sakura, memegangi dahinya dan mendeteksi sesuatu.
"Bahkan Gaara rela bersekutu dengan iblis, hanya karena cinta dan obsesinya. Kalian memanglah keturunan manusia yang rendah." Lelaki itu mendecak, berdiri, kemudian menatap Hinata teramat dingin dan tajam, setelah itu ia mengalihkan pandangan kepada Sasuke sejenak.
Sebelah tangan Hinata sejak tadi sudah mencengkeram sutra yang ada di pahanya, embun-embun lensa pun mulai terkumpul walau coba ia halau dengan menguatkan diri. Berusaha agar tidak menangis, ia menghirup napas dalam.
"Cinta adalah berkah terindah yang diberikan Yang Mahakuasa, jika ada hal buruk yang terjadi, itu semua karena mereka salah menyikapi dan mengambil langkah untuk meraih cinta." Sedari tadi Hinata berusaha bertahan, tetapi ia sekarang tak rela jika berkah terindah itu diperolok oleh makhluk yang bahkan tidak pernah merasakan karunia-Nya.
Tersenyum sinis, Toneri pun bersidekap.
"Ya, jual jiwamu kepada iblis untuk meraihnya, Makhluk Rendahan."
Gadis itu terdiam, Toneri tersenyum puas karena meyakini bahwa Hinata mati kutu karena ucapannya. Ia melihat sang Putri Mahkota menundukkan kepala dan bergetar. Apa dia tengah menangis?
"Bahkan, demi cinta... Maharaja Indra sampai menyuruh Anda datang ke sini, bukan?"
Terbelalak karena mendengar hal demikian, Toneri merasa berang, berani sekali makhluk tidak sempurna seperti mereka berkata lancang tentang Maharaja Indra.
"Kalau saja Dewi Kaguya tidak ada di sini, Maharaja Indra pasti sudah memerangi Maharaja Sasori, demi cintanya, akh!"
Hinata menjerit, sebab tiba-tiba saja leher belakangnya dicengkeram teramat kuat oleh telapak Toneri. Laki-laki itu telah berada di hadapannya, berjongkok untuk menyamakan tinggi mereka, menatap dengan tajam dan sarat akan kemurkaan.
"Aku akan menghancurkan kepalamu sekarang juga, jika kau berani mengatakan sesuatu tentang kakandaku lagi." Toneri berkata dengan geraman, ia melonggarkan cengkeraman karena menatap wajah sang Putri Mahkota yang sekarang terlihat begitu kesulitan untuk bernapas.
Air mata menetes, Hinata tersenyum dan menatap tak kalah tajam sang Anak Dewa.
"Pembelaan terhadap sosok yang berharga adalah salah satu bukti dari perasaan yang bernama cinta," bisik gadis itu, langsung saja Toneri menghempaskan Hinata hingga pelipis membentur lantai.
Memutuskan untuk mengalihkan atensi terhadap Sakura, Toneri berdiri dan melangkah pergi. Ia membiarkan pengawal sang Putri Mahkota bergetar karena menyaksikan kemarahannya. Toneri benar-benar merasa terusik, berani sekali sosok itu menceramahi. Apalagi mengatakan bahwa ia juga pernah merasakan yang bernama cinta, baginya perasaan demikian hanya untuk para kalangan lemah seperti manusia dan makhluk terlarang.
.
.
.
***
Setelah membawa Neji ke kediaman pribadinya, Sasuke lantas masuk ke kamar dan melihat sang Dewa yang masih berada di sini, ia pun terbelalak dan menundukkan kepala hormat ketika mereka berpandangan. Pangeran Toneri duduk di sisi ranjang yang terbaring seorang gadis berambut seputih salju.
Mengembuskan napas, Sasuke melangkahkan kaki menuju ranjang yang terbaring Sakura. Menelan saliva, kemudian melihat sosok gadis tak berdaya yang telah menjadi istrinya.
"Sakura." Sasuke terperangah, ia mengusap wajah karena rasanya masih tidak menyangka hal ini terjadi.
Bagaimana bisa demikian?
Sasuke mengalihkan atensi, menatap pelayan yang berjaga karena ingin memerintahkan untuk memanggil Raja Hiashi, sebelum dihentikan oleh Pangeran Toneri.
"Putri Sakura seperti ini karena seorang gadis bermulut lancang memberitahukan sesuatu yang berhubungan dengan jati dirinya."
Sasuke hanya bisa diam, menatap wajah Sakura dan menyentuh pipinya yang sedingin es. Tiba-tiba ia juga mengingat Putra Mahkota Itachi, pastilah lelaki itu bernasib sama sekarang. Sebab, kutukan tersebut diarahkan kepada mereka berdua.
"Sakura memang sangat keras kepala dari dulu."
Helaan napas kasar membuat Sasuke sadar bahwa Toneri tidak senang dengan ucapannya.
"Aku tidak mengerti kenapa Maharaja Indra menyuruhku untuk ikut campur tangan di dalam permasalah ini." Laki-laki itu menyoroti Sasuke tajam, dan mengeraskan rahang ketika ia melihat sang Pangeran Uchiha sama sekali tidak gentar karena intimidasinya. "Dan kenapa dia tidak juga mau menyerah untuk memperjuangkan sang Dewi," bisik Toneri pada kalimat terakhir.
Bahkan Indra pun tidak menjelaskan bahwa sang Putri berada di istana Hyuuga, jadi pertikaian ini terjadi karena Dewi Sakura yang berusaha membunuh orang-orang ini? Jika mereka mati, maka Gaara akan menemukan kerajaan Hyuuga dan kembali menculik Sakura. Toneri mengerti, inilah tugas yang diberikan kakaknya untuk menjaga Dewi Sakura dari orang-orang rendahan seperti para Keturunan Dewa.
"Tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengembalikannya, jalan satu-satunya hanyalah menyerahkan semuanya kepada Dewi Sakura." Ya, hanya itu yang bisa mereka lakukan sekarang, percaya dengan sang Dewi bahwa dia bisa melawan kutukan yang bersarang di tubuh.
"Yang Mulia membaca pikiran saya?"
"Kalian terlalu mudah ditebak, bahkan gadis itu sekarang masih menangisi kesalahannya. Tidak berguna."
Mengerutkan alis, Toneri dibuat kebingungan. Apa yang harus dilakukan untuk menyadarkan Sakura? Jika sembarangan bertindak, maka gadis itu akan semakin tenggelam di dalam kutukan.
.
.
.
***
Suasana di istana Dara sangat menyayat hati, pasalnya Putri Mahkota tidak mau menghentikan kesedihannya dari kemarin. Padahal ia baru saja sembuh dari luka yang diderita karena Neji terluka. Matsuri duduk menemani sedari tadi, mencoba menenangkan Hinata yang terus-terusan meneteskan air mata dan berkata bahwa segala yang terjadi terhadap Sakura adalah kesalahannya.
Menggunakan sebelah telapak tangan untuk kembali mengelus punggung yang beberapa kali masih bergetar, Matsuri pun berkata agar sebaiknya Hinata memakan sesuap hidangan yang telah disediakan untuknya.
"Putri Mahkota, Putri Sakura juga akan bersedih Jika Anda seperti ini. Hamba yakin, Putri Mahkota tidaklah bermaksud untuk mencelakai Putri Sakura."
Gelengan kepala terlihat, Hinata yang sejak tadi mengubur kepalanya di lutut pun mengangkat sedikit wajah untuk mengintip.
"Kalau saja aku bisa bersabar saat itu, Matsuri. Putri Sakura tidak akan demikian," ucap Hinata nyaris berbisik, ia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Beranikah ia untuk menampakkan diri di hadapan Hiashi atau Neji? Beranikah ia menampakkan diri kepada Naruto? Laki-laki itu pasti akan membencinya, tidak mau meneruskan pertunangan ini karena kebodohan Hinata.
Tangisan Hinata semakin terisak.
"Putri Mahkota, kita harus mencari jalan keluar dan percaya bahwa Putri Sakura bisa menghadapi semua ini."
Kelopak Hinata yang sayu sekarang terbuka lebar, memandang Matsuri yang berwajah meyakinkan di hadapannya.
"Apa Sakura bisa sadarkan diri? Matsuri, kutukannya telah bangkit dan aku lah penyebabnya."
Saat itu Matsuri tidak terlalu mengerti dengan perkataan sang Putri Mahkota, dirinya hanyalah pelayan di istana ini dan tentulah tidak sepantasnya mengetahui hal-hal demikian yang terjadi. Namun, melihat Hinata yang begitu terpuruk, ia pun menggengam tangannya, mencoba sekali lagi menguatkan dan mempercayai apa pun yang terjadi pasti ada jalan keluar yang dihendaki.
"Kita harus percaya, bahwa Putri Sakura pasti bisa menghadapi segala cobaan ini."
Beliau adalah gadis yang kuat dan baik hati, aku meyakini sejak pertama kali menatap matanya yang memiliki sorot begitu hangat.
Berdiri dari keterpurukan yang menyedihkan, Hinata pun menatap Matsuri dengan sorot percaya. Ia harus melihat keadaan Sakura sekarang juga, tidak peduli apakah kakaknya atau Sasuke mengizinkan atau tidak. Tidak peduli kalau lelaki yang adalah Anak Dewa itu akan menolaknya mentah-mentah.
"Matsuri. Ayo, kita pergi ke istana Merak."
Sorot mata Hinata berubah, Matsuri lantas tersenyum karena melihat sang Putri Mahkota telah kembali bersemangat. Ia begitu bersyukur dan sekarang melangkah mengikuti menuju istana Merak yang adalah wilayah pribadi Sasuke dan Sakura.
Sesampainya di sana, pengawal mengiringi mereka dan menyerukan bahwa sang Putri Mahkota datang untuk menjenguk Sakura yang tengah tidak sadarkan diri.
Belum mendapatkan izin juga, tiba-tiba saja Sasuke keluar dari pintu, dan saat itu Sasuke menatapnya dingin. Hinata merasakan jantungnya begitu kencang berdetak, kedua tangannya mulai memainkan kuku masing-masing karena gelisah. Namun, semua itu sirna ketika Sasuke menerima kehadiran Hinata. Ia dipersilakan masuk juga.
Langsung saja Hinata menganggukkan kepala dan mengucapkan terima kasih, ia pun melangkah dan menatap sebuah ranjang yang di sana terbaring sosok yang sejak tadi berada di pikirannya.
Ah, tiba-tiba langkah Hinata berhenti karena melihat si Anak Dewa masih juga berada di ruangan ini.
"Sasuke, kenapa kau malah menyuruhnya masuk. Kurasa telingamu masih berfungsi dengan baik?"
Menggigit bibir karena mendengarkan kalimat pedas itu, Hinata pun melanjutkan langkah, apalagi ketika mendengar bahwa Sasuke membela dirinya.
Menarik napas sejenak, sekarang mata bak mutiara menatap punggung kokoh dari laki-laki yang tengah duduk di pinggir ranjang. Sang Pangeran yang merupakan Anak Dewa, tidak memedulikan dirinya yang sekarang tengah bersujud memohon ampun.
"Kukira kau tidak memiliki nyali untuk sekadar berdiri di sini." Laki-laki itu berpindah dan membiarkan Hinata mendekati sang Putri.
Berada di sisi ranjang, gadis itu lalu menatap rambut seputih salju sang Dewi, embun-embun langsung berkumpul di lensa seindah rembulah, menyesali apa yang telah terjadi. Punggung tangan Sakura digenggam Hinata, langsung saja dadanya merasa sesak karena jari-jari itu sedingin es.
"Aku memohon maafmu, kebodohanku ini...."
Hinata menarik napas, mencoba mengenyahkan kesedihan yang mengendalikan, kemudian ia pun tersenyum walau air mata kini menetes di pipi.
"Matsuri bilang, kami harus percaya bahwa kau bisa menangani ini. Percaya bahwa kau begitu kuat dan baik hati, Sakura."
Tak menyangka bahwa sang Putri Mahkota mengatakan apa yang sempat ia pikirkan di benak, Matsuri langsung merasa hatinya berdesir. Senyuman pun tersemat, mendoakan agar Putri Sakura segara sadarkan diri.
"Putra Mahkota Itachi, bersedia menanggung kutukan ini agar kau tak menderita, Sakura. Jadi, segeralah sadarkan diri."
Napas Hinata terengah, mencoba menahan isak yang sebentar lagi terlepaskan, punggungnya gemetar karena tidak sampai hati melihat sang sahabat berada di kondisi sememprihatinkan ini. Benar-benar putus asa, dan menyesal karena kebodohannya. Kalau saja waktu bisa ia kembalikan, kalau saja....
Tidak, Hinata harus percaya.
"Kak Hi... nata," ucapan lirih itu terdengar, Sasuke dan yang lainnya melebarkan mata. Menatap kelopak sang Dewi yang perlahan-lahan terbuka. "Kau berjanji... untuk mengajariku merangkai bunga... kan?"
Langsung saja Hinata menolehkan wajah, pupilnya membesar, terkejut karena mendapati sang Putri yang membuka mata dan tengah menyebutkan hal yang pernah ia janjikan dahulu. Ia lantas memeluk gadis itu dengat erat sambil menggumamkan nama sahabat yang sudah dianggapnya sebagai saudara perempuannya.
"Kau mengingatnya, Sakura. Kau mengingatnya."
.
.
.
.
.
Bersambung
Akhirnya Sakura sadar dan ingatannya perlahan pulih, Guys.
Tentu babang Sasuke yang paling seneng. :')
Jangan lupa vote, komen dan kritik saran.
BTW, lagi suka banget sama covernya si Udin di lagu Under The Influence. Enak banget suaranya gils.
Salam sayang dari istri Itachi,
zhaErza
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top