13. Sandera

A Frozen Flower

Story by zhaErza

Naruto by Masashi Kishimoto

INFO:
Status Kekuasaan:
Maharani Kaguya > Maharaja Sasori = Maharaja Indra (pemimpin dari tiga kerajaan Dewa) > Kerajaan Uchiha > Kerajaan Hyuuga = Kerajaan Uzumaki = Kerajaan Sabaku

.

.

.

Suara kecapi mengalun merdu, ketika terdengar nada sumbang, seorang wanita berusia paruh baya mengetukkan tongkat untuk memberikan tanda. Saat itu, Putri Mahkota Hinata pun menghentikan permainannya. Memandang sang guru yang menghela napas dan memberikan senyuman.

"Terima kasih atas kerja kerasnya, Putri Mahkota Hinata. Semua telah nyaris sempurna, hanya ada beberapa kesalahan di akhir alunan nada." Wanita dewasa itu menundukkan kepala untuk memberikan gestur meminta maaf karena perkataan tadi.

Menggelengkan kepala, Hinata pun mengembangkan senyuman.

"Seharusnya saya yang mengatakan demikian, Guru. Terima kasih karena tanpa lelah telah melatih saya. Iya, maafkan atas kesalahan tadi, semua itu karena saya masih belum bisa mengingat nada di akhir alunan. Namun, saya akan berusaha untuk lebih giat berlatih."

Menganggukkan kepala, sekarang Kurenai mengangkat tongkat sebagai tanda agar Hinata memulai latihan kembali.

Sebenarnya sejak tadi Hinata tidak bisa berkonsentrasi, ia merasa gelisah karena mendengar bahwa Sakura sempat tidak sadarkan diri beberapa hari lalu. Namun, ia tidak bisa sembarangan menjenguk demi menjaga kualitas istirahat Sakura. Memang tidak bisa dipungkiri, jika dirinya pergi untuk menjenguk, pasti mereka akan berakhir dengan membicarakan banyak hal. Apalagi selama ini Hinata begitu bahagia karena Sakura berada di tempat ini.

Semoga saja Sakura sudah dalam keadaan sehat, sebab sore ini Hinata memutuskan untuk menjenguk gadis yang sudah dipersuting sang Pangeran Uchiha.

Ketika berjalan ke istana Merak yang adalah area pribadi Pangeran Sasuke, memasuki kamar setelah diizinkan, Hinata sudah melihat Sakura yang membaca buku dengan ditemani seorang pelayan yang tengah mengandung. Gadis itu menatapnya, kemudian langsung menyujudkan diri.

"Bangunlah, Pelayan. Nyamankanlah dirimu, jangan terlalu sungkan."

"Hinata, apa kabar?"

Wajah Sakura sudah tidak pucat, gadis itu terlihat ceria ketika mengetahui kedatangannya, ia menggeser duduk di meja rendah dekat jendela, dan memberikan ruang untuk Hinata.

"Seharusnya aku yang bertanya demikian, Sakura. Namun, aku baik-baik saja, bagaimana dengan dirimu? Aku benar-benar meminta maaf karena baru bisa datang sekarang." Hinata menundukkan kepala memohon maaf, sebelum dihentikan Sakura.

"Sudahlah, aku juga telah merasa jauh lebih baik." Sakura menuangkan teh, dan memberikannya. "Ah, apa Sasuke yang tak mengizinkanmu datang?"

Hinata terheran, sebab ia tidak menyangka Sakura mengetahui prihal ini.

"Benar, bukan! Sudah kuduga."

Terlihat gugup karena tidak tahu harus mengatakan apa, Hinata pun menundukkan kepala, kemudian dengan suara pelan dan terbata, ia menjawab seadanya. "Pa-pangeran Sasuke terlalu khawatir, Sakura. Sebab, engkau sampai tidak sadarkan diri."

Mendengkus lucu, Sakura mengambil teh dan menyesabnya.

"Kau memang terlalu baik, Hinata. Namun, dengan semua perhatiannya yang diberikan kepadaku, tidak akan mengubah ataupun melunturkan kebencianku. Bagaimanapun caranya, aku harus membunuh Sasuke demi Gaara."

Mendengar hal itu, langsung saja membuat Hinata dan Matsuri terbelalak. Bahkan tangan Matsuri sampai gemetar ketika menyentuh mulutnya karena tidak percaya sang Putri yang begitu ia sayangi berniat mencelakai Pangeran Sasuke yang begitu ia hormati.

"Pu-putri," lirih Matsuri, tetapi hal itu tidak bisa didengar oleh Sakura.
.
.
.

***

Selama beberapa hari Sakura berpikir, bahwa setidaknya ia harus bisa keluar dari istana dan kerajaan. Jika membunuh Sasuke tak bisa dilakukan, maka dirinya harus bisa mengambil kesempatan, menggunakan segala yang ada agar bisa terlepas dari penjara emas ini. Sakura tahu, semua memiliki konsekuensi.

Sasuke dan orang-orang ini adalah salah satu keturanan Dewa, mereka pasti memilik kelemahan dan akhirnya ia menemukan celah itu.

Pagi hari ketika Sasuke dan Neji baru saja pergi ke ibukota untuk menyambut jajaran tentara yang baru saja pulang dari pengawasan di luar wilayah, Sakura pun mengundang Hinata untuk bersua bersama di kawasan istana Merak.

Gadis itu tentu datang setelah diundang, dan mereka pun duduk bersama untuk menikmati cahaya mentari. Mereka membicarakan banyak hal, sampai tiba pada waktunya dan Sakura mengatakan telah memutuskan untuk pergi dari istana dan Kerajaan Hyuuga. Tentu Hinata terkejut, menatap lamat gadis di sampingnya untuk membuktikan bahwa yang didengar adalah sesuatu yang salah.

"Sa-sakura, Kakanda Neji dan Pangeran Sasuke tidak akan membiarkan hal ini."

"Aku yakin Gaara belum mati, Hinata. Aku sangat mencintainya, aku menderita berada di sini! Apakah kau tidak bisa memahami hal ini?" Sakura berteriak, menatap Hinata yang masih terdiam pucat dan kaku.

Menarik napas dalam, Sakura menggelengkan kepala.

"Kau terlahir sebagai seorang putri, semua orang melindungimu dan keluargamu. Itu sebabnya, sekarang kau bisa menghentikanku! Kau tidak tahu, bagaimana rasanya melihat rakyat desa dibantai oleh Neji, dan seseorang yang baru saja menikah denganku disakiti! Lalu, si sialan Sasuke mengatakan telah menikahiku entah sejak kapan!"

Terengah-engah, tiba-tiba ia mengingat mimpinya beberapa waktu lalu.

Menundukkan wajah, baik Hinata dan Sakura terdiam. Kali ini sang Putri Mahkota benar-benar menahan kesedihannya agar tidak menangis, kalau saja ia bisa menjelaskan semua ini.

"Ada sekuntum bunga yang membeku, sang Rembulan, Cahaya, bahkan Semesta, tidak bisa melakukan apa pun untuk mencairkan es yang menyelimutinya." Hinata berbisik, mengangkat kepala dan menatap dalam Sakura dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Terheran karena gadis bermata perak itu malah membahas kisah buatan Sasuke, Sakura pun merasa geram. Namun, kemarahannya hilang ketika ia menatap wajah dan mata perak Hinata yang meneteskan air mata dalam diam.

Mereka saling memandang, kemudian Sakura memutuskan kontak mata.

"Aku harus memanfaatkan kesempatan ini."

Hari semakin siang, Sakura berdiri dan menatap tajam Hinata. Dari belahan sutranya, ia mengambil sebuah belati yang diikat dengan sabuk di paha. Menodongkan kepada sang Putri Mahkota, para pengawal yang berjaga pun mendekat dengan serentak.

Sakura langsung menarik kerah baju Hinata, membawa gadis itu untuk berdiri dan menjadi sanderanya.

"Jika ada yang berani mendekat, belati ini akan menancap di lehernya!" Sakura berteriak, membuat para pengawal terkaku karena mendapatkan ancaman demikian rupa.

"Sa-sakura, hentikan." Hinata memejamkan mata, ia benar-benar paham dengan tekanan yang gadis itu rasakan. Namun, cara seperti ini hanya akan merugikan Sakura.

Mereka berjalan, keluar dari istana Merak dan menuju istana inti. yang Sakura pikirkan sekarang hanyalah agar dirinya bisa keluar dari tempat terkutuk ini. Bagaimanapun caranya, ia harus bisa merealisasikan rencana tersebut. Kesempatan ini, tidak akan ia lepaskan.

"Aku bilang jangan mendekat! Jika sampai kulitnya tergores, maka Hinata tidak akan pernah diizinkan untuk menikah selama beberapa tahun ke depan." Mata emerald menatap para pengawal yang masih memasang kuda-kuda, semakin mendekat dan tak gentar. "Aku akan menusuknya, jika kalian mendekat selangkah lagi."

Sakura berjalan mundur, bersama Hinata dalam sanderaannya. Melihat para pengawal mengindahkan apa yang ia katakan, maka semakin cepat langkah kaki Sakura untuk bersegera pergi dari istana ini.

Keributan membuat banyak orang keluar dari ruangan mereka masing-masing, bahkan Raja Hiashi pun membelalakkan mata karena menemukan kejadian yang tidak pernah ia sangka-sangka.

"Putri Sakura, hentikan semua ini." Raja Hiashi melangkah, mencoba mendekat. Namun, langsung berhenti ketika Sakura melayangkan ancaman kembali.

Keringat menetes semakin banyak, orang-orang yang berkumpul mulai waswas karena mata belati benar-benar telah menempel di kulit sang Putri Mahkota. Takut akan anak gadisnya mendapatkan cedera, walau adalah keturunan Dewa, seorang Putri Mahkota tidak diizinkan untuk terluka barang sedikitpun. Maka dari itu, Hiashi menyerukan agar jangan ada yang berani mendekat, demi kelangsungan pernikahan Hinata yang akan dilaksanakan beberapa bulan lagi.

Sebenarnya Hinata merasakan detak jantung Sakura yang begitu kuat, tangan gadis itu pun sekarang tengah bergetar, juga keringat yang terus-terusan mengalir di tubuh. Ia tahu, senekat apa pun Sakura, gadis itu tetap merasa ketakutan atas perbuatannya ini. Tersenyum sedih, Hinata pun menghapus air matanya yang kembali mengalir.

"Sakura, aku akan berkerjasama untuk ini. Jadi, setelah sampai di gerbang istana utama, kita akan segera mengambil kereta kuda dan pergi."

Langkah Sakura lansung terhenti, ketika mendengarkan perkataan gadis yang tengah disanderanya. Ia kini berkaca-kaca, setetes air nyaris menetes sebelum ia tahan dengan menghapusnya. Menarik napas, Sakura membisikkan terima kasih.

Hinata memang benar-benar begitu baik hati.

Mereka pun melangkah lebih cepat, tidak ada lagi pengawal yang berani menghalau, mereka hanya menatap kepergian dua orang gadis ke arah gerbang istana utama.

"Siapkan kereta kuda untuk kami, sekarang!" Sakura berteriak.

Alis mengerut, kereta kuda yang telah ditarik agar mendekat ke arahnya tiba-tiba terhenti di tengah jalan. Mereka semua terdiam, Raja Hiashi bahkan kembali masuk ke ruangan singgasana, seperti tidak memedulikan bahwa anak gadisnya sedang disandera Sakura.

"Aku bilang, bawa keretanya ke gerebang utama!"

Langkah Sakura yang sempat terhenti, kini kembali digerakkan, tiba-tiba punggungnya menabrak sesuatu hingga ia tersentak.

"Memangnya kau mau ke mana, Istriku?"

Sakura terbelalak, ia tidak bisa menggerakkan tangan kanannya yang memegang belati karena Sasuke tengah mencengkeramnya. Dengan perlahan, lelaki itu menjauhkan tangan Sakura agar tidak membelenggu leher Hinata.

"Putri Mahkota, minggirlah." Sekarang kedua tangan Sakura telah dipegangi oleh Sasuke dari belakang, bahkan kini lelaki itu membelenggu bagian pinggang sang Putri.

"Lepaskan aku! Lepaskan!"

Belati diambil dan dicampakkan. Masih memeluk pinggang Sakura, Sasuke pun berbicara dengan perlahan.

"Sakura, kau pasti tahu kalau masalahmu itu adalah berurusan denganku. Jadi, kenapa kau sampai berniat melibatkan Putri Mahkota?" tanya laki-laki itu dengan berbisik di telinga Sakura.

Melihat situasi jalanan istana yang sekarang menjadi lenggang, sebab para perajurit yang berjaga dan orang-orang yang berkumpul telah membubarkan diri, membuat Sasuke bisa lebih leluasa untuk memberikan pelajaran kepada gadis ini.

Bibir Sasuke membentuk senyuman tipis, kemudian ia membalikkan tubuh Sakura agar gadis itu bisa menatap langsung wajahnya.

Pupil mereka saling menumbuk, hitam bak oniks dan juga hijau bak emerald. Sakura menatap wajah sang lelaki dengan kemarahan yang tercetak jelas di sana, sedang Sasuke menampilkan ekspresi tenang.

"Aku rasa ancamanku tidak akan terlihat mengerikan kepadamu, sebab mungkin saja aku terlalu lunak. Benar bukan, Putri Sakura?"

"Masa bodoh! Lepaskan sekarang juga!" Sakura meneriaki Sasuke di hadapan wajahnya, dan lantas membuat lelaki itu sempat memejamkan mata karena telingnya menjadi berdengung.

Mengehela napas, sekarang Sasuke merasa dengung di pendengaran telah hilang, ia pun mengerutkan alis dan tersenyum miring. Mendekatkan wajah kepada gadis yang masih tidak bedaya di dalam rengkuhannya, membuat Sasuke bisa menyaksikan pupil mata Sakura yang terbelalak. Gadis itu pun mencoba memberontak, menjauhkan wajah karena mendapati Sasuke seperti berniat memberikan ciuman.

"A-apa yang-jangan mendekat!"

"Tertangkap basah melarikan diri, maka kau akan mendapatkan ciuman."

Setelah mengatakan hal demikian, Sasuke melakukan seperti apa yang telah ia jelaskan tadi. Walau mendapati Sakuran terus-terusan memberontak, ia tidak peduli.

Sebenarnya Sasuke sekarang sedang teramat marah, jika Sakura hanya mencoba menyakiti dan berusaha membunuhnya maka ia tidak akan peduli. Namun, gadis itu menyandera Putri Mahkota, mengacungkan sebilah belati yang entah didapat dari mana tepat ke leher Hinata. Jika sampai separut luka tertera di kulit, maka gadis itu tidak akan diperkenankan untuk menikah selama beberapa tahun ke depan karena dianggap telah melanggar kewajiban menjaga diri. Peraturan yang benar-benar tidak masuk di akal untuk kerajaan kolot semacam Hyuuga.

Maka dari itu, sekarang Sasuke mencoba memberikan efek jera kembali dengan sebuah ancaman baru, sebab ia tahu betapa keras kepalanya Sakura.

Melepaskan ciumannya, Sasuke langsung tersenyum sinis, walau ia masih dihadiahi pelototan oleh gadis yang masih terengah-engah di rengkuhannya.

"Aku akan mencabik-cabikmu!" teriak Sakura dan dihadiahi tawa kecil mencemooh oleh Sasuke.

"Aku sangat menantikannya, Istriku."

.
.
.

Bersambung

Wadooo Sasuke lagi mode menggoda Sakura nih. Jangan sampe kelewatan, nanti Saku ngamuk dan makin buat onar. 😂😂

Silakan kasih komentar, saran, kritik, opini, ulasan, curcol dan lainnya.

Terima kasih sudah membaca.

Salam sayang dari istri Itachi,

zhaErza

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top