9. Di Pinggir Batas

Nash tergopoh mengikuti aku yang menyuruhnya untuk mempercepat langkah. Saat ini, kami tengah menuju ke bioskop. Lucu sekali, dia lebih seperti anak yang tengah melompat-lompat kecil ketimbang orang dewasa yang sedang berjalan. Nash si Kelinci ternyata belum berubah.

"Man, pelan-pelan dong. Kaki lo tuh panjang, gue jadi harus lari kalau jalan lo kecepetan," keluh Nash.

"Keburu telat nanti, Nash," kataku tak peduli.

"Telat gimana?" Pertanyaan ini keluar bertepatan dengan masuknya kami ke dalam bisokop. Tak ada antrian di tempat pembelian tiket. Bagus.

Aku meninggalkan Nash dan menuju tempat pembelian tiket. Tanpa banyak berpikir, aku memesan dua tiket untuk nanti malam. Kursinya? Tentu saja di bagian tengah kan?

"Eh eh! Ngapain lo, Man?!" Baru ingin memesan, suara panik Nashila datang mengganggu.

"Beli tiket lah, buat nanti malam," kataku. Nash memelototiku, tapi ia lalu menatap segan Mbak penjaga loket.

"Tengah kiri aja, Man. Biar dekat pintu keluar yang di belakang sini," kata Nash berbisik. Aku mengangguk dan mengikuti permintaannya. Segera kubayar tiket itu sebelum Nash berubah pikiran. Setelah kami berjalan ke luar bioskop, Nash langsung menepuk bahuku keras-keras.

"Kenapa beli tiket film itu sih?!" ujar Nash. Aku menyeringai.

"Mumpung gue lagi bisa, gue temenin. Meeting lo nggak sampai malam kan?" tanyaku basa-basi. 

"J- jam lima sih," jawab Nashila. Sepertinya dia gugup melihatku yang dengan cepat mengajaknya ke sini.

"Gue temenin. Gue ahli nonton horor. Kalau gue ngerasa setannya bakal keluar gue suruh lo tutup mata. Jadi lo tetap bisa nonton film ini dan nggak penasaran lagi," kataku. Mata Nash terbuka lebar. Mungkin dia tak percaya bahwa aku mau melakukan hal sejauh ini demi memenuhi rasa penasarannya. Setelah itu, berangsur-angsur senyumnya mengembang. Setiap kali dia melakukan itu, aku seperti terhipnotis dan terbawa ke satu suasana yang sangat menentramkan.

"Serius? Makasih, Maaan," seru Nash dengan senang. Kamu tahu, Nash? Demi senyum itu, rasanya aku bisa melakukan apa saja untukmu.

***

Aku mengambil popcorn dan minuman pesananku. Waktu untuk menonton masih lima menit lagi dan aku tak ingin melewatkan film ini. Sudah lama aku tak menonton di bioskop dan rasanya menunggu untuk melakukannya malam ini membuatku begitu bersemangat.

Apalagi aku akan ditemani oleh seorang teman yang menyenangkan.

Nash tengah bertelepon ketika aku sedang berjalan menuju ke arahnya. Setelah aku tinggal beberapa langkah lagi menuju sisinya, ia menutup telepon itu.

"Suami lo?" tanyaku sambil memberi popcorn dan minuman untuknya.

"Eh, thank you, man," balas Nash sambil menerima camilan dariku. Ia lalu menggeleng dan menjawab pertanyaanku, "Anak gue."

"Oooh ...," aku mengangguk canggung. Kenapa juga aku merasakan lega yang berlebihan mendengar jawabannya tadi?

"Suami gue sih mana pernah nyariin kalau gue keluyuran," tambah Nash. Aku menyeringai dan menubruk bahunya dengan bahuku.

"Nggak takut istrinya keluyuran sama cowok lain kayak sekarang?" tanyaku sambil mengajaknya duduk di tempat duduk dekat studio.

"Sama lo doang mah, dia pasti selow ...." Oh, sialan nih Nash. Meremehkan aku ceritanya?

"Parah, nggak ada wibawanya banget gue kesannya," kataku tak terima.

Nash tertawa, "Ya lo kan cuma temen, Man. Lagian suami gue tuh cuek orangnya."

"Cuek? Ke lo?" 

"Ya ke gue. Ya ke anak gue."

"Hmm ...." Aku tak tahu harus merasa apa saat ini. Menyadari Nash hanya menganggapku teman membuatku kecewa, tapi mendengar ia membicarakan tentang betapa tak acuhnya sang suami juga membuatku berharap.

Asman ... sebenarnya apa yang kamu cari dari acara menonton berdua ini? Sebenarnya mau dibawa kemana perasaan kepada Nash?

"I mean ... Gue suka sama cowok passionate, tapi bukan berarti nggak tahu prioritas. Suami gue tuh kalau sudah kerja suka lupa segalanya. Kadang capek ngasih tahunya."

Baiklah. Aku kembali terjebak ke dalam prahara rumah tangga Nash. Anak ini, umur sudah lewat 30 tahun, masa' sih tidak tahu etika berhubungan di mana kita tidak boleh menceritakan kejelekan pasangan kepada lawan jenis?

Aku kan jadi berharap suami-istri ini kenapa-kenapa. Ampuni aku, Ya Tuhan ... namanya juga hati, khilaf tipis sedikit-sedikit. Segera kupejamkan mataku, berharap kewarasanku membuat hatiku tak goyah dan bertindak di luar batas malam ini.

"Gue selalu berharap bahwa gue dan anak kami bisa jadi prioritasnya meskipun target kerja menggila." Nash terus bercerita dan aku terus mendengar cerita tentang suaminya itu. Harusnya aku senang mendengarnya mengeluh tentang pria itu, tapi dadaku tak berhenti merasa panas.

Bahkan saat berdua dengan pria lain, Nash tidak bisa berhenti membicarakan suaminya. Aku tak pernah melihat dia begitu tertarik membicarakan laki-laki seperti saat ini.

"Kalau ada uneg-uneg, bilang ke suami lo. Jangan ke temen lo. Nggak baik, Nash." Pada akhirnya, aku tak kuat mendengar keluhan yang lebih mirip perhatian kepada suaminya itu. Aku sendiri juga tak paham, mengapa aku begitu terganggu dengan cerita Nash tentang pria yang ia nikahi itu.

Kenapa bukan aku yang berada dalam pikirannya?

"Nggak baik kenapa?" Nash balik bertanya tentang ucapanku tadi.

Aku menengok dan tersenyum. Kusenggol kupingku dengan telunjukku, "Karena bukan kuping ini yang butuh dengerin isi hati lo itu."

"Tapi kenapa ya, Man, rasanya lebih gampang ngomong ke temen ketimbang ngomong ke pasangan?" Nash mendongak , mulutnya manyun. Wajahnya terlihat bingung. Begitu menggemaskan untuk ukuran perempuan berusia tiga puluh tahunan.

"Gue juga nggak tahu ...," balasku sambil mengalihkan perhatian. Sejenak aku kembali mengingat bagaimana Riska meledak saat aku mengetahui tentang perselingkuhannya. 

Perempuan itu bilang bahwa dia tidak merasa bersalah melakukannya. Saat itu ia juga bilang dirinya memendam banyak hal dan menyembunyikan perasaannya dariku. Lalu tanpa ragu memuntahkan semua perasaan yang terpendam itu padaku dalam satu waktu. Seolah kenyataan tentang perselingkuhannya tak cukup menyakiti hatiku.

"Pintu studio dua telah terbuka. Kepada para penonton yang telah memiliki karcis ...."

Suara itu menyadarkan aku dan Nash. Kami menengok dan studio tempat kami menonton ternyata memang sudah dibuka. Segera saja kuajak ia masuk dan membuat topik tentang hubungan suami istri tadi menguap.

Wajah Nash menjadi begitu cerah di dalam studio yang masih terang, "Duh, deg-degan gue ...."

"Kayak lagi mau main halilintar ya?" tanyaku geli.

"Bukan, kayak mau masuk rumah hantu," jawab Nash. 

Kami pun tertawa. Setelah itu, percakapan kami mengalir tentang film-film favorit yang terakhir kali kami tonton. Ternyata dalam setahun belakangan, kami sama-sama tidak pergi ke bioskop sama sekali. Tak heran bahwa aku dan Nash sama bersemangatnya malam ini. Studio kami cukup penuh dengan penonton. Meskipun begitu, sebelahku dan bagian depan kami kosong. Mungkin karena itu kami merasa leluasa untuk mengobrol tanpa takut orang di sekitar kami terganggu.

Lampu mulai meredup. Wajah tegang Nash kembali terlihat.

"Tenang," uajrku pelan. Dia pun mengangguk.

Film dimulai. Tidak ada basa-basi, film itu sudah menengangkan sejak awal. Sampai pertengahan film, entah sudah berapa kali kudengar Nash menahan erangan dan menutup matanya. Perhatianku pun terbagi antara menonton, mengawasi kira-kira kapan bagian menyeramkannya muncul, memperingati Nash tentang hal seram yang akan muncul, serta melihat gelagat Nash yang benar-benar ketakutan sampai menekuk kaki ke atas kursi.

Beberapa kali aku berbisik untuk memberitahu perkiraanku tentang setan yang akan muncul. Beberapa kali juga Nash terpekik karena ada hal seram yang muncul secara tak terduga. Karena merasa cara tadi terlalu berisik untuk acara menonton di studio penuh penonton ini, aku mencari cara lain. 

Kucoba tutupi matanya saat hal seram muncul. Setelah beberapa kali, Nash dengan mandiri menarik tanganku untuk menutup matanya. Kepalaku terasa pusing merasakan sentuhannya, bagaimana tanganku menyentuh wajahnya. Perutku seperti bergejolak, geli dan mual. Mungkin karena tontonan kami yang lumayan sadis juga ini.

"Maaan ...." Saking takutnya Nash pada setan yang mengejar tokoh utama, dia pun membenamkan wajahnya di bahuku. Perasaanku jungkir balik saat itu. Merasakan Nash berada sedekat ini denganku membuat tubuhku terasa seperti ditusuk-tusuk. Aku ingin memeluknya, membiarkan ngilu di badan hilang dan berganti nyaman.

Entah dorongan apa yang muncul di diriku sehingga kuusap kepalanya saat itu. Aku merasa aku membutuhkan sentuhan itu. Kupejamkan mataku erat-erat, aku sudah tak sanggup berkonsentrasi pada tontonan kami.

Aku takut. Bukan karena filmnya, tapi karena pesona Nash terasa berjuta kali lipat lebih kuat di sini, di sebelahku dalam studio yang gelap.

Film selesai setelah dua jam penuh pacuan adrenalin. Kudengar Nash mendesah lega.

"Ya ampun, akhirnya selesai juga penderitaan gue," katanya sambil tertawa sendiri. Aku menarik senyumku dengan berat. Saat ini, aku ingin sekali menjadi pasangannya. Menjadi pria yang wajar memeluk dan mengusap bahunya untuk menenangkan perempuan itu. 

Keinginanku begitu kuat, sampai aku kelelahan menahan diri.

"Pulang yuk? Lo mau gue antar?" tanyaku tanpa basa-basi. Sudah malam, bahaya juga kalau dia pulang sendiri. Nash menggeleng.

"Gue bawa mobil," jawab Nash.

"Oke. Semoga nggak ketemu yang serem-serem di jalan," godaku yang berusaha untuk tak terlihat terlalu kaku terhadapnya.

"Maaan, jangan ngeselin deeeh," katanya sambil berdiri, "Tapi makasih ya, udah temenin gue hari ini."

Kami berjalan berdua menuju pintu keluar yang berada di dekat tempat kami duduk. Setelah ke luar studio, aku langsung berpamitan. Aku tak sempat melihat bagaimana reaksinya. Mungkin dia pikir aku aneh ya?

Aku tak peduli. Tanpa berhenti aku langsung bergerak secepat mungkin menjauhi perempuan itu. Sebelum pikiranku makin kacau, sebelum kendaliku blong. Di mobil, aku seperti orang gila. Hatiku tak bisa berhenti merindukan Nash, tak bisa berhenti untuk menginginkan perempuan itu.

Teleponku berbunyi. Mataku terpaku pada nama yang tertera di layar ponsel. Nash. 

Sepotong tawa lepas dari mulutku. Aku berpikir untuk mengangkatnya ketika satu pertanyaan menghantamku,

"Bagaimana hubungan kami setelah telepon itu kuterima?"

Bagaimana dengan keluarganya? Anak dan suaminya? Apa yang akan terjadi pada hidup orang lain akibat kuangkat panggilan dari Nash ini?

Akhirnya aku dapat merasakannya. Batas yang memisahkan aku dan Nash, akhirnya aku dapat melihatnya. Di saat kaki nyaris menyentuh batas, aku menarik diri.

Perasaanku sudah jauh dari sekadar kagum. Sudah tidak pantas lagi disimpan. Aku menarik napas, nyeri sekali rasanya mengakui bahwa aku ingin merebut Nash dari keluarganya. Bahwa aku ingin didampingi perempuan itu untuk membuat hatiku kembali utuh.

Tidak boleh, Man. Tidak boleh ....

***

Bersambung ya~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top