8. Menemani Penakut
[13 Tahun Lalu]
Proyek Pak Pandu ini ternyata cukup melelahkan. Baru dua hari gue mengerjakan pendataan ini dan rasanya bosen banget, padahal jadwal seharinya padat loh.
Kami menghabiskan waktu seharian dengan berkeliling ke rumah penduduk. Mengobrol dengan mereka, mencatat apa yang mereka pikir mereka butuhkan, mengukur apa yang sebenarnya mereka butuhkan, dan lain-lain. Malamnya, kami langsung menginput data-data tersebut lewat satu software yang bisa disetor ke satu database. Nah database itu bisa diakses oleh kami, para tim pendata.
Kemampuan komunikasi gue cukup terasah di sini saat ngobrol sama penduduk. Gue suka amazed sama mereka. Desa ini bisa dibilang cukup gelap kalau malam, tapi nggak ada satupun yang merasa ingin akses listrik yang lebih banyak.
Listrik sudah masuk ke desa ini, tapi terbatas. Pukul 12 malam, listrik kompak mati dan baru akan nyala kembali pukul 6 pagi. Kami yang menginput data berkejaran dengan waktu agar bisa selesai paling lambat pukul sebelas.
Kemarin malam seru sih, gue dan anak-anak cowok uji nyali keliling sekolah pas lewat tengah malam. Malam ini, kami kembali mengerjakan input data di aula sekolah. Biasanya sih awalnya anak-anak bekerja dengan tekun dan fokus. Pas malam mulai larut, dosen-dosen sudah tidak ada dan hanya ada kita-kita saja, aula akan mulai ramai.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, waktunya anak-anak mabuk data dan mulai bersuara. Ngobrol-ngobrol biar tidak bosan.
"Eh, tahu nggak sih kalian? Katanya dekat sekolah ini ada sungai." Yak! Pemabuk pertama jatuh kepada Sakti, anak sosiologi yang cukup gue kenal dekat.
"Gaya lo macem anak kota aja, Ti. Di kampung jarang emang lihat sungai?" tanya Nathan. Dia dan Sakti sama-sama anak rantau yang berasal dari luar Jawa.
"Daerah gue kan tanah tinggi, Than. Jarang ada sungai," balas Sakti. Anak-anak lain ber-ooh-ria.
"Nah dekat sungai itu, kalau malam, banyak kunang-kunang. Tapi angker." Hahaha! Rupanya Sakti masih semangat cerita toh.
"Pengen ke sana deh gue," gue berceletuk. Belum pernah lihat kunang-kunang. Penasaran juga rasanya.
"Udah jangan macem-macem di Desa orang. Kalau kita bersikap aneh-aneh, yang kena Pak Pandu dan nama kampus," kata Yuli. Ini anak emang kaku banget. Gue yakin si Nash temenan sama dia karena Yuli rajin update soal tugas dan bahan UTS-UAS.
"Setuju, setuju," tambah Nash sambil terus mengetik. Gue toyor aja tuh bocah yang ada di sebelah gue.
"Alah, bilang aja lo takut, Nash," celetuk Sakti. Tepat dan sangat mengutarakan pendapat gue juga tuh.
"Ya emang takut! Nakutin tahu, ini Desa kalau malam gelapnya minta ampun ... deh. Gue tiap tidur ngerasa kayak nggak bisa lihat siapa-siapa," balas Nash. Gue terkekeh
"Penakut dasar." Nash manyun dengar komentar gue tadi.
"Ngomong-ngomong, gue jadi inget cerita horor yang--" Rasya, teman dari jurusan antropologi, tiba-tiba mau cerita seru.
"Nggaaak mau cerita horor!" seruan Nash itu membuat semua orang diam.
Nash bilang, "Takut gue, asli ...."
Empat belas anak lain kompak ketawa dengar Nash. Di satu kelompok ini, kayaknya cuma dia aja deh yang penakut. Nash ... Nash ... ada-ada aja lo!
***
[Saat Ini]
"Asmaaan!"
Suara riang Nash membuat senyum lebar gue mengembang. Sesuai janji, kami makan siang di mal yang terletak tepat di sebelah gedung tempat Nashila melakukan rapat.
Siang ini, jantungku berdetak tak keruan karena dia. Lucunya, setelah kami bertemu dan mengobrol, tiap detak tak keruan itu menjelma jadi desiran yang menjalar ke seluruh tubuhku.
Bagaimana? Sudah cocok jadi puitisi belum aku ini?
"Lo biasanya nulis cerita tentang apa, Nash?" tanyaku setelah kami saling bertukar kabar tentang aktivitas pagi ini.
Tahu tidak? Ternyata Nash itu baru rapat tentang naskahnya yang ingin difilmkan. Hebat sekali, padahal katanya dia penulis indie. Apa aku yang salah mengira bahwa penulis indie adalah penulis kecil yang kurang terkenal?
"Hmm ... pokoknya yang ada romance-romance-nya gitu," jawab Nash.
"Cie, pakar romance nih ceritanya." Aku begitu geli membayangkan Nash belasan tahun lalu yang serba malas bicara tentang cinta dan berpacaran. Siapa sangka dia tumbuh menjadi penggiat novel romansa seperti sekarang kan?
"Hyahahaaa ... bukan pakar, cuma suka aja. Kadang ngomongin first love, kadang ngomongin rumah tangga, banyak yang bisa dikulik dari genre romance." Sepertinya dia sadar kalau aku masih tersangkut pada imej-nya yang malas berpacaran dan berhubungsn dengan percintaan.
Kalau sudah begitu, aku jadi lebih ingin menggodanya, "Untuk orang yang nggak pernah pacaran kayak lo, cukup nggak nyangka sih gue."
"Ih, gue akhirnya pacaran tauuu, sama suami gue," Nash menaik-naikkan alisnya. Bangga banget dia pacaran sama suami sendiri.
"Iya deeeh ...."
"Lagian gue sekarang udah punya anak, satu. Itu bukan hasil kepolosan ataupun kurang pengalaman, Pak."
Malah dia lanjutkan pamernya. Dasar!
"Iya deh iyaaa ... romance expert, udah mature, top pokoknya!" Aku mengangkat kedua jempolku dengan penuh penekanan. Kalau Nash lanjutkan cerita tentang hubungannya dengan suaminya, bisa-bisa aku mati canggung. Kami lalu tertawa geli.
"Puas gue, dulu gue dikatain cupu. Sekarang gue balap kan semua yang ngatain gue. Hahaha ...," kata Nash. Memang dulu dia sempat jadi bulan-bulanan di Desa karena dari lima belas mahasiswa, hanya dia yang masih jomlo.
"Puas boleh, tapi jangan songong," aku menoyor kepalanya.
"Seneng aja, karena teori gue terbukti. Gue nggak perlu bolak-balik pacaran di masa muda. Kalau emang udah saatnya, pasti ketemu kan sama jodoh sendiri?"
Gue tersenyum lalu mengangguk pelan, "Iya ya? Ngapain juga pacaran dari kuliah, nikahnya cuma dua tahunan doang."
Wajah ceria Nash hilang, berganti salah tingkah.
"Eh, Kak, sorry ... gue bukannya nyindir lo, tapi emang ada orang suka ngatain gue dulu tuh ...," kata Nash panik sendiri.
Aku tertawa dan makin bersemangat menggodanya, "Sakit hati gue. Hayolo, Nash ...."
"Ampun, maafiiin ," Dia jadi semakin panik. Kali ini aku yang puas melihatnya.
"Santai, Nash. Gue masih belum move on kayaknya. Padahal udah setahun juga cerainya."
Kami melanjutkan makan kami yang sempat tertunda karena asyik bicara. Aku menyadari bahwa dia sesekali menatapku, tapi aku pura-pura tidak tahu. Setelah beberapa waktu, Nash kembali membuka percakapan.
"Kalau boleh tahu, Kak Asman sama Kak Riska cerainya kenapa?" Tidak basa-basi, Nash langsung bertanya ke inti permasalahan.
"Nggak usah pakai 'Kak', Nash," aku menyentil dahinya, lalu bersiap mengucapkan hal yang cukup pahit dan menyebalkan, "Riska selingkuh. Turns out dia lebih milih selingkuhannya ketimbang gue."
"Ya ampun ...."
"Gue sadar kok bahwa ada salah dari sisi gue juga. Dia selalu resah lihat kerjaan gue. Ada tunjangan sih, cuma komisi kan tergantung ada proyek atau nggak."
"Oh, nggak gajian per bulan ya?"
Aku mengangguk, "Karena gue suka sama kerjaan gue, dan karena menurut gue financially kita cukup, gue nggak merasa ini hal prinsipil. Ternyata buat Riska ini prinsipil. Mungkin itu penyebab utama kita pisah."
"Yaaah ...." Nash menatapku seperti anak kecil yang menatap krayon patah. Entah kenapa, aku jadi lebih bersemangat cerita tentang kegagalanku padanya.
"Dia pernah bilang, kepengen tinggal di rumah, nggak apartemen kayak tempat gue sekarang. Gue nggak tahu dia serius banget soal itu. Sekarang, dia sama suaminya udah tinggal di rumah. Berdua. Bahagia."
Nash tidak menanggapi. Dia hanya menatap gue dengan tatapan simpati. Lucu, gue sempat benci saat teman masa kuliah dan dosen-dosen
"Man."
"Hm?"
"Dia bukan jatah lo, nggak usah lama-lama diratapi," kata Nash sambil menepuk-tepuk cepat pundak gue. Aku tahu sekali kalau dia sebenarnya bingung mau melakukan apa, tapi berusaha sekuat tenaga menghiburku.
"Gue nggak meratapi dia ya," ujarku sambil menyentil dahi Nash.
"Baguslah. Sayang soalnya kalau lo terlalu fokus sama apa yang nggak ditakdirkan buat lo sampai-sampai apa yang Tuhan persiapkan buat lo luput."
"Emang Tuhan persiapkan apa buat gue?"
"Mana gue tahu? Emang gue Tuhan ...."
"Ya kan tadi lo yang ngomooong," kucubit hidung mancung Nash. Kadang bicara dengan manusia yang satu ini benar-benar membuatku naik darah.
"Ya gue nggak tahu rencana Tuhan, tapi gue percayaaa ...."
"Percaya apa?"
"Lo cuma harus fokus sama apa yang udah dijatahkan ke lo aja, jangan yang udah lepas. Jatah lo itulah yang bikin perasaan lebih bahagia." Aku mengerutkan dahi. Ini anak ngomong apa sih?
"Asli, gue nggak ngerti lo ngomong apaan."
"Ah, nggak tahu ah!" Nash lalu terlihat risih sendiri. Kasihan, niat mau menghibur, malah jadi kena sendiri.
"Nash ... marah nih ye ...," godaku padanya.
"Bodo amat!"
"Iya iyaaa, sorry ya, Nash."
Nashila memanyunkan mulutnya sambil berkata, "Emang omongan gue segitu susahnya dimengerti ya, Man?"
"Hm?"
"Gue ... suami gue juga selalu gitu," bibir Nash semakin mengerucut, "Dia selalu bilang kalo dia nggak ngerti gue ngomong apa."
"Wah, gawat. Gue terjebak praha rumah tangga," responsku cepat. Nash yang awalnya menekuk wajah pun jadi tertawa.
"Lebay banget prahara! Nggak lah, nggak selebay itu, it just ...."
"Just what?"
"Kalau ada cowok yang bisa gue percaya untuk memahami gue, cowok itu adalah suami gue."
Aku terdiam. Situasi kami sudah berbalik sekarang. Saat ini, perasaanku tak keruan mendengarmya bercerita tentang suaminya itu.
"Gue kadang berharap dia bilang untuk berusaha ngerti, bukan nyerah waktu nggak ngerti."
Oke, canggung berat. Nash itu kalau sudah terlalu asyik berbicara, kata-kata pilihannya mirip-mirip dan membuatku bingung. Segera saja kulihat sekeliling. Dari restoran yang cukup terbuka itu, aku melihat banner sebuah film Barat yang tayang di mal itu.
"Eh, itu film udah tayang toh?" kataku mengalihkan percakapan. Nash mengikuti arah pandangku, lalu tersenyum.
"Dari minggu lalu. Ramai banget loh, padahal film horor," katanya.
"Konsepnya keren soalnya. Dia nggak cuma ngegali rasa takut dari hantu aja, tapi dari phobia-phobia manusia juga."
"Iya, gue baca juga menarik sih ceritanya. Penasaran pengen belajar eksplorasi rasa takut itu." Oh iya, Nash kan penulis. Dia pasti suka menggali emosi-emosi tersendiri untuk dia tuangkan ke dalam tulisannya.
"... Tapi?" tanyaku dengan nada menggantung. Kalau memang dia tahu bahwa film ini sudah ada dari minggu lalu dan memang ingin menonton, kenapa dia masih belum menontonnya?
Nash memberi cengiran lebar, "Gue takut film horor."
Aku terkekeh. Sejenak kuingat bagaimana paniknya Nash saat kami dan teman-teman mata kuliah pengabdian masyarakat bertukar cerita seram. Wajah tak berdayanys mirip sekali meskipun sudah bertahun-tahun waktu berlalu.
Aku menarik napas, baiklah.
"Habis makan ikut gue sebentar," kataku. Alis Nash berkerut.
"Kemana?" tanya Nash bingung. Dasar, ke mana lagi kan?
"Ke bioskop lah," jawabku.
***
Update hari ini buat kalian yang udah berani-beraniin baca cerita ini. Hahahaa ....
Ku baru tahu tema selingkuhan itu cukup ngeri buat dibaca. Semoga kalian yang sudah baca tidak menyesal dan selalu senang membaca alur hubungan mereka berdua yaaa ....
Sampai jumpa di part selanjutnya ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top