5. Penarik Minat
[13 Tahun Lalu]
Setelah perjalanan panjang sepanjang jalan kenangan, akhirnya kami sampai di Desa Jaya Mancur. Langit udah gelap banget, meskipun baru pukul tujuh malam. Penerangan di desa ini memang tidak seterang di Kota. Kalau bukan dari kendaraan yang lalu lalang, sudah pasti kami tidak bisa melihat apa-apa di sekitar.
Bis masih melaju meskipun sudah lumayan jauh melewati gerbang Desa. Kulihat manusia yang asyik tidur di sebelah gue. Sejak dari tempat peristirahatan tadi, cewek ini mulai tidur dan belum bangun sampai sekarang. Kemampuan tidurnya bener-bener di atas rata-rata nih anak.
"Nash, Nash ... bangun. Udah mau sampai," gue memutuskan untuk menggoyangkan badannya. Tadi sih gue sibuk jalan-jalan di bis dan seru-seruan nyanyi bareng anak-anak lain. Sekarang udah pada capek, semua duduk di kursi masing-masing. Rasanya garing banget duduk begini nggak pakai ngobrol. Kenapa sih temen sebelah gue harus yang kayak burung hantu begini?
"Hm? Di mana nih, Kak?" Nash akhirnya bangun.
"Desa Jaya Mancur."
"Hah? Kok nama Desanya kayak nama jamu ya?" Nash mengusap wajahnya sementara gue terkekeh mendengar ucapan anak yang baru melek itu. Nggak sia-sia gue bangunin nih anak. Baru sadar langsung ngelawak. Dasar ....
Gue kasih minuman botol yang tadi dibagiin dosen ke dia. Setelah bilang terima kasih, dia pun minum.
"Emang lo baru tahu nama Desanya? Kan ada di selebaran take home UAS-nya," tanya gue penasaran.
"Belom baca gue. Kan nanti di-brief, jadi gue pikir sekalian aja pas briefing," jawab Nashila santai. Cerdas juga dia. Yah, antara cerdas sama malas beda tipis ya.
Bis kami akhirnya berhenti. Nash melihat ke luar jendela dan berkata, "Eh, kok kita masuk sekolahan?"
"Sekolahan?"
"Disuruh bantuin renovasi sekolah kali ya?"
"Nggak tahu deh gue."
"Sama, Kak. Gue juga nggak tahu. Makanya nanya."
Gue nggak bisa nahan diri gue dan segera menoyor Nash yang hobinya melempar celetukan bodoh itu. Di saat teman-teman lain udah pada capek karena melewati perjalanan seharian, mungkin cuma kami yang masih segar dan seru sendiri.
Setelah turun dan mengikuti instruksi dosen, kami masuk ke sebuah kelas. Di sana, barulah kami tahu kalau kami semua akan menginap di sekolah itu selama kami menjalankan proyek pengabdian masyarakat. Karena sedang masa libur sekolah, gedung itu pun tersedia untuk menampung kami semua. Untuk tidur, kami di bagi ke dalam dua ruangan berbeda yaitu ruangan cowok dan ruangan cewek. Mandi pun begitu. Ada dua kamar mandi terpisah di sana yang bikin kita harus rebutan waktu pagi.
"Sebelum pada tidur, atau bersih-bersih, sekarang kita bagi kelompok dulu ya. Jadi besok pagi enak, bisa tinggal jalan aja," Bu Nana, salah seorang dari tim dosen, mengundi dan mendata kelompok yang ditentukan. Jujur, pembagian kelompok tugas ini bikin gue mencelos. Ternyata satu kelompok cuma terdiri dari dua orang! Ini sih gue nggak bisa nebeng tugas dan nyolong-nyolong kerjain rancangan skripsi. Aduuuh ....
"Nashila, kamu samaaa ... Asman ya. Man, jangan dikadalin anak gadis orang," ujar Bu Nana. Anak-anak langsung rame ngegodain gue. Ya elah, norak banget asli!
Nashila duduk tiga meja di depan gue, bersebelahan sama Yuli. Dia menengok ke belakang, mencari-cari gue. Spontan gue mengangkat tangan. Setelah matanya ketemu gue, dia langsung kasih gue cengiran dan dua jempol.
Yah, setidaknya gue bisa lega karena ternyata gue dikelompokin bareng Nash yang udah ketahuan kalau dia lumayan asyik. Ada untungnya juga kan gue SKSD ke anak kelinci itu?
***
[Saat ini]
Meskipun sudah kali kedua kami melakukan janji temu, tanganku masih terasa dingin menunggu Nash. Kali ini aku berdiri di depan gedung konser dengan kapasitas seribu penonton. Nash bilang dia sudah berada di tempat parkir gedung ini, jadi sebentar lagi dia pasti datang.
"Asman!" Itu dia!
Santai, Man, jangan terlalu bersemangat. Jaga pride dikit lah. Lambaikan tangan ringan sambil senyum, tapi tidak perlu terlalu lebar. Nash berlari ke arahku, membuatku tertawa. Dia lebih mirip melompat kecil ketimbang berlari. Dasar kelinci ....
"Gue telat lagi ya? Maaf, Man ...." Nashila menatapku dengan tatapan bersalah.
"Syukur lo telat, Nash. Kalau lo kecepetan, gue kan belum datang. Gimana masuknya?" Aku pun berusaha menghiburnya.
"Iya juga ya?" Mata Nash langsung menatap ke atas, mungki sedang memikirkan kata-kataku.
"Yuk," daripada menunggunya berpikir, lebih baik kuajak dia untuk melakukan tujuan awal kami bertemu sore ini. Nash mengangguk bersemangat, lalu mengikutiku berjalan ke dalam gedung konser itu.
Pertama, aku mengajak Nash ke bagian terang belakang panggung. Mumpung para diva yang akan konser sedang check sound di panggung, aku pun memperlihatkan lokasi ruangan-ruangan para diva itu kepada Nash. Aku memang sengaja tidak membiarkan Nash berpapasan dengan para penyanyi besar itu. Jika ada satu saja penyanyi yang tak suka kru sepertiku membawa temannya melihat-lihat, maka dia bisa melayangkan protes ke pihak promotor yang berdampak pada nasibku di kantor ini.
Apakah aku terlalu berlebihan?
"Luas juga ya belakang panggungnya, Man,' kata Nash. Aku memberinya senyum.
"Enaknya di gedung ini gitu. Indoor, tapi kapasitasnya besar dan nyaman."
"Nggak enaknya apa?"
"Harga sewanya mahal."
Nashila langsung terkekeh, "Harga menyesuakan fasilitas ya?"
Suara tawanya yang kental itu belum berubah. Aku jadi ikut tertawa mendengarnya. Setelah selesai berkeliling di bagian terang, kami pun berjalan menyusuri lorong dan berbelok ke bagian gelap belakang panggung. Di sini, kami benar-benar sudah berada tepat di balik panggung. Yoyo, salah satu temanku yang saat ini jadi partner koordinator panggung, tengah sibuk melakukan briefing kepada anak properti. Aku mendekatinya untuk berbasa-basi.
"Aman, Yo?" tanyaku kepadanya.
"So far so good. Nanti bantuin cek dari kursi kuning sama hijau ya," jawab Yoyo, masih dengan fokus yang luar biasa terhadap semua unsur properti.
"Beres," jawabku yang tahu harus melakukan apa. Dalam setiap konser, terdapat kelas-kelas penonton dan aku baru saja diminta memeriksa tampilan panggung jika dilihat dari kursi penonton yang berada jauh dari panggung. Di konser ini, kami menyediakan layar besar agar penonton di kursi belakang pun dapat melihat apa yang terjadi di inti panggung.
Yoyo berhenti sejenak dan menatap ke sebelahku. Aku pun baru sadar bahwa Nash ternyata mengikutiku seperti anak bebek mengikuti induknya. Yoyo bertanya padaku, "Siapa nih, Man."
"Temen. Nash, kenalin, ini namanya Yoyo." Kulihat Nash dan Yoyo bersalaman, lalu aku lanjut memperkenalkan Nash pada Yoyo, "Dia ini lagi riset, Yo."
"Oh ya? Riset tentang apa?" tanya Yoyo pada Nash.
"Tentang kehidupan panggung," jawab Nash.
"Riset buat apa nih?"
"Buat melihat pola kerja antar profesi, Mas."
Aku mengerutkan dahi. Sepertinya ada yang aneh dari penjelasan Nash, tapi aku memutuskan untuk tetap diam dan melihat bagaimana percakapan ini berlanjut.
"Gunanya buat apa?"
"Untuk melihat potensi-potensi ranah kerja di Indonesia, Mas. Jadi nanti datanya bisa dimanfaatkan sama kementrian ketenagakerjaan," ujar Nash. Aku menatap takjub perempuan yang masih menghadapi Yoyo dengan tenang.
"Wuih keren banget temen lo, Man!" seru Yoyo senang.
"Yep ... keren banget ...." Aku mengangguk dan menatap Nashila tak percaya. Nash membalas tatapanku sambil melipat bibirnya ke dalam mulut. Aku pun lalu berpamitan pada Yoyo, "Ya udah, gue cek di depan dulu. Yuk, Nash."
"Semangat ya, Mbak, risetnya," ujar Yoyo dengan penuh semangat. Nash hanya tersenyum dan mengangguk. Setelah kami berada di depan panggung, aku membisiki Nash, "Gila lo! Ngapain tadi bilang gitu?!"
"Kalau bilang riset buat tulisan, gue suka dipandang sebelah mata. Malas ngehadepinnya," jawab Nash ringan.
"Tukang ngarang lo dasar!" Kalau dilihat dari tenangnya dia membual, perempuan yang satu ini pasti psikopat!
"Emang!" jawabnya dengan mata berbinar. Loh, benar juga ya? Dia kan penulis. Pengarang cerita. Sudah tentu pandai mengarang cerita dan alasan.
Kami tertawa geli sambil berkeliling di kursi penonton. Panggung masih disusun. Aku memonitor semua aspek panggung sambil memperlihatkan Nash bagaimana tiap divisi bekerja.
"Ada yang bertugas check sound, ada yang setting lampu di sana, ada juga anak properti nih," kataku sambil menunjuk ke arah tempat kru-kru bertugas.
"Properti tuh kayak ngehias panggung ya?" tanya Nash.
"Bukan cuma ngehias panggung. Jadi gini, tiap konser kan punya konsep. Semisal ada yang pakai konsep exploding di satu momen, atau harus ada nuansa asap-asapnya, itu anak properti yang bekerja di baliknya. Mereka harus tahu timing dan melakukannya di waktu yang tepat, kalau nggak fail deh efek yang mau didapatkan musisinya."
"Oh, waw ... gue bener-bener baru tahu," ujar Nash takjub.
"Kita ke belakang lagi yuk? Gue harus ngecek visual panggung dari sana," kataku sambil menunjuk ke arah belakang kami.
"Boleh."
Setelah kami berada di area kuning, salah satu area penonton dengan kelas ekonomi, aku mengajaknya duduk berdua. Sesekali aku berhubungan dengan kru lain di sana. Nash bisa melihat bayangan suasana konser sementara aku bisa fokus mengecek visual panggung dari arah penonton.
"Jack, tes lighting buat awal acara," ujarku lewat walkie talkie. Tak lama, panggung jadi berwarna-dengan pencahayaan terang, tapi segera pencahayaan itu meredup sampai sangat gelap. Lalu dengan cepat lampu dari atas tertembak, mengarah ke satu titik di panggung.
"Oke, beres. Sambil coba yang lain ya," jawabku pada Jack yang bertanya bagaimana tampilan lighting saat dilihat dari kursi penonton.
"Keren bangeeet!" Aku menengok menatap si yang punya suara. Matanya sudah berbinar sambil menatap panggung. Ia lalu mengarahkan matanya kepadaku, "Lo keren banget, Man."
Aku tersenyum, "Bukan gue yang keren, lo yang kurang pengalaman. Makanya nggak pernah lihat beginian."
"Kalau penyanyinya nanti check sound juga?"
"Mereka udah Check sound, cuma nanti mereka juga bakal gladi resik. Lo tungguin aja di sini."
"Waaah ... kalau lihat prosesnya secara langsung tuh keren banget ya, Man? Pantesan orang berani bayar mahal buat performance kayak gini."
"Iya, Nash. Semua aspek harus perfect biar penampilannya sesuai nanti."
"Hmm ...."
Suasana hening sejenak. Nash terlihat begitu menikmati apa yang ia pandangi di depan matanya. Di sini, berdua saja dengannya di kursi penonton yang kosong, aku juga merasa terbuai dengan apa yang kupandangi.
"Nash."
"Ya?"
"Kalau boleh tahu, kenapa sih lo jadi penulis?" rasa penasaranku mulai muncul terhadap perempuan ini.
Nash berpikir cukup lama sebelum akhirnya berkata, "Untuk ngungkapin keresahan."
Jawaban yang lucu. Dari dulu sampai sekarang, apapun yang perempuan ini ucapkan selalu sukses menarik minatku.
***
Sampai Jumpa di part selanjutnya yaaa ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top