3. Pengalaman Baru

"Asman!"

Aku berbalik saat mendengar suara panggilan itu. Senyumku naik melihat Nash berlari kecil menghampiri. Ia memakai baju kaus hitam berbalut jaket denim, celana jins berwarna agak kelabu, dan sepatu kets berwarna biru gelap. Di mataku semua terpadu sempurna, apalagi saat ia sudah berada di dekatku.

"Udah lama?" tanya Nash. Spontan aku menggeleng meskipun sudah lewat lima belas menit aku menunggunya.

"Langsung masuk yuk?"

"Eh, Man," Nashila menyentuh bahuku saat aku sudah berbalik. Mau tak mau aku kembali menghadapnya. Perempuan itu terlihat malu-malu. Ada apa ya?

"Gue salah kostum nggak ya? Tadi di rumah googling dulu, tapi takut aneh," katanya. Aku terkekeh.

"Tenang aja. Di dalam sana akan banyak yang berpenampilan aneh dan lo bukan salah satu dari mereka. Kalau mereka aja pede, lo juga pede aja," kataku. Ekspresi Nash setelah itu berangsur berubah. Wajahnya menjadi terlihat senang dan lega, membuatku ikut lega melihatnya.

Aku kembali berjalan, lalu ia menyusul di sebelahku. Bersisian dengannya membuatku bersemangat. Kegugupan masih terlihat jelas dari wajah Nashila, tapi senyumnya tak berhenti mengembang seiring matanya memandang tempat outdoor yang akan kami datangi.

"Bay." Kudatangi Bayu, temanku sesama karyawan promotor. Kamu saling bertepuk akrab dan bersalaman. Tanpa kupinta lebih jauh, Bayu mengambilkan dua kalung nametag. Nah, aku suka yang inisiatifnya tinggi begini. Niat sekali pulang cepat si Bapak beranak satu ini.

"Thanks ya, Bay."

"Inget aja janji lo, jangan kabur." Suara pelan Bayu membuatku risih.

"Nggak bakal, elah, kayak nggak kenal aja lo."

"By the way, siapa tuh?" Bayu menunjuk Nash yang dibalas perempuan itu dengan senyum.

"Temen ... udah ah, gue masuk ya," kataku buru-buru. Keburu Nashila merasa tak nyaman.

Aku dan Nashila pun masuk ke tempat acara. Acara ini dilaksanakan di luar ruangan dengan memakai lokasi yang sangat luas. Konsepnya adalah pilih sendiri panggung yang ingin kita nikmati. Jadi, di tempat terbuka yang luas ini, ada beberapa panggung dengan artis jazz yang berbeda. Penonton dipersilakan memilih sendiri artis jazz mana yang mereka tonton.

Aku memberikan selebaran jadwal dan lokasi acara kepada Nash. Jika dipikir-pikir, konsep acaranya mirip seperti taman bermain. Hanya saja, alih-alih bermain di wahana, kami lebih disuguhkan hiburan musik jazz dari bermacam-macam artis dan musisi.

"Sekarang gimana?" tanya Nash sambil bercelinguk kebingungan.

"Jalan aja, sambil lihat jadwal. Ada performer yang mau lo tonton nggak?" jawabku. Duh, lucu juga rasanya mengajari seseorang cara menonton acara musik seperti ini.

"Hm ... jujur gue nggak ngerti. Tapi ini ada beberapa penyanyi yang gue kenal namanya. Bisa nonton mereka?"

"Bisa." Seandainya Nash bukan temanku, mungkin tidak bisa. Beberapa nama terkenal memiliki akses khusus. Akses platinum. Tapi karena aku dan Nash saat ini menjadi "kru", kami pun dapat mengakses panggung manapun yang kami mau. Meskipun pakaian kami tidak berseragam karyawan promotor, tapi nametag kru dan senioritasku di perusahaan ini cukup untuk membuat kami bebas menikmati panggung manapun yang kami mau.

Itulah yang kusebut dengan privilege.

Tentu saja Nash tidak tahu bahwa dia sedang mendapatkan privilege karena menjadi temanku. Dengan polosnya dia tertawa dan berkata, "Waaah, seru ya!"

"Penyanyi yang lo tahu jadwal manggungnya kapan?"

"Hmmm ... masih satu jam lagi."

"Mau lihat-lihat ke panggung lain dulu?"

"Boleh. Yang di sana itu lagi ngapain?" Aku menengok ke arah hang Nash tunjuk, lalu tersenyum.

"Lagi cek sound. Mau lihat?" tanyaku. Nashila mengangguk penuh semangat. Setelah itu kami pun berkeliling. Kalau boleh jujur, aku sangat menikmati malam ini. Rasanya seru juga datang ke acara musik sebagai pengunjung. Tidak perlu mengkoordinasi orang-orang, mempersiapkan rundown acara, ataupun mengawasi tempat seluas ini. Aku bisa tenang menikmati pengisi acara dan ulah Nashila yang bermacam-macam.

Binar mata Nash tak beda dari anak berusia lima tahun yang baru masuk taman bermain. Matanya menyala mendengar bunyi trompet, trombone, dan saxophone secara langsung dan raut terkejut muncul saat suara drum berbunyi.

"Drum tuh kalau didengar langsung bikin deg-degan ya?" tanya Nashila, membuatku spontan menoyornya. Dia tertawa.

"Ih serius gueee ... kayak lagi naksir cowok rasanya," katanya lagi. Aku tertawa terbahak-bahak.

"Sadar umur, Nash. Sadar umur ...," kataku. Bibir Nashila mengerucut maju.

"Emang kalau udah tua nggak boleh naksir-naksiran? Lagian, umur tiga puluhan itu masih muda tahuuu."

"Sadar status deh, kalau nggak mau sadar umur. Inget anak sama suami di rumah."

"Ya kan naksirnya ama suami, Man. Ah, gimana sih lo?" Aku tertawa mendengar semua sanggahannya kepadaku. Dasar, pandai juga dia bersilat lidah.

Kami kembali berjalan, menelusuri panggung demi panggung sambil sesekali bertanya-jawab tentang acara musik yang sedang kami nikmati ini. Aku merasa seperti seorang informan bagi jurnalis atau peneliti sosial. Seru juga, jadi merasa penting dan berguna.

"Acara musik gini venue-nya tuh harus luas banget ya?" tanya Nash.

"Iya. Ini kebetulan juga sih, karena pakai outdoor. Makanya jadi luas banget." Dengan senang hati aku menjawab

"Oh, kalau indoor sempit ya?"

"Hmm ... nggak seluas ini yang jelas."

"Oooh ...." Aku mulai memahami ciri khas lain yang menggemaskan dari perempuan ini. Kalau dia berkata "Oh" dengan tatapan kosong, bisa dipastikan bahwa sebenarnya dia tidak mengerti dan tidak bisa membayangkan apa yang baru saja aku jelaskan.

"Sebulan lagi ada event indoor, konser diva itu." Aku tidak tahu kenapa aku jadi membahas event besar dari perusahaan promotorku itu. Tidak tahu kenapa aku ingin kembali mengajaknya untuk menonton konser bersama. Kegiatan ini terasa semakin seru saat dilakukan bersamanya. Karena baginya ini adalah pengalaman baru, maka apapun menjadi hal yang menyenangkan untuk dieksplorasi sehingga membuatku juga ingin mengeksplorasi profesiku ini lebih jauh lagi.

"Waaah, iya tuh. Keren pasti ya, Man?" Dia malah bertanya basa-basi padaku. Sepertinya Nash tidak paham maksudku.

"I- iya, itu gue ngasih tahu maksudnya sekalian nanyain, lo mau lihat?"

"Eh?" Matanya terbuka lebar saat melongo menatapku. Lucu sekali.

"Gue jadi crew di acara itu."

"Tapi lo sibuk dong nanti?"

"Nggak apa-apa. Tapi gue nggak bisa kasih akses kayak gini. Sebelum acara mulai, lo bisa lihat-lihat tempatnya. Waktu acara berlangsung lo bisa observe lewat belakang panggung."

"Man, serius??" Nash menyentuh pundakku. Lembut, membuatku nyaris kehilangan konsentrasi.

"Iya. Mau?" jawabku cepat. Bingung aku menghadapi yang manis begini.

"Ehm ... tapi gue mungkin nggak bisa kalau sampai akhir acara. Sekarang juga gitu. Cuma bisa sampai jam sebelas. Nggak apa-apa?" tanya Nash segan.

"Ya tinggal cabut, Nash. Santai aja."

"Ya ampun, serius?"

Aku tertawa, "Serius."

Dia tersenyum lebar dan berkata, "Makasih ya, Maaan ... terharu deh gue."

"Gini doang terharu lo, Nash." Kadang aku lupa betapa lebay dan mendayu-dayunya perasaan Nashila. Gayanya yang selalu cuek dan asyik sempat membuatku tak sangka akan hatinya yang sensitif.

Perempuan itu menggaruk kikuk kepalanya, "Habis gimana ya? Profesi nulis tuh jarang dipandang serius, Man. Apalagi soal riset-riset gini. Orang cenderung mikir 'buat apa sih? Kan cuma ngarang' gitu."

"Oh ya?" tanyaku dengan penuh simpati. Perasaan senasib sepenanggungan datang menghampiriku. Beberapa orang juga kerap mengatakan bahwa profesiku adalah jenis pekerjaan yang deskripsi kerjanya hanya bermain-main.

Nashila mengangguk, "Suami gue selalu melihat ini sebagai hobi, bukan profesi. Jadi kalau ada urusan yang bentrok, gue pasti diminta ngelepasin urusan nulis."

"Loh, kok gitu?" Dahiku berkerut, tapi Nashila malah tertawa.

"Ya emang begitu, Man. Gue kan ibu rumah tangga, prioritasnya ngurus rumah dan anak."

"Tapi kalau bisa dikerjain sambil nulis, kenapa nggak kan?"

"Bisa kok, bisa. Buktinya ketulis juga kan novel-novel gue? Sebenernya suami gue mendukung kok soal kepenulisan gue ini. Cuma ya tetap keluarga harus jadi prioritas. Kadang, event kepenulisan yang cukup seru harus gue lewati, tapi ya konsekuensi berkeluarga lah." Nash terlihat panik sendiri. Mungkin dia takut terlihat sebagai ibu rumah tangga yang tak patuh suami ya? Aku jadi kasihan melihatnya.

"Oooh ... ya bener juga sih. Lagian kalau dia nggak ngedukung, mana mungkin sekarang lo bisa riset di sini kan?" Aku pun mengikuti permainannya untuk menutupi keluhan tentang suaminya tadi. Perempuan itu kenapa ya, selalu memendam ketidakpuasannya sendiri? Padahal kalau tahu-tahu meledak dan selingkuh seperti Riska kan bahaya juga. Sudahlah, bukan porsiku untuk menasehatinya soal rumah tangga saat ini. Dia masih terlalu asing dan pengalamanku soal rumah tangga tidak semengagumkan itu.

Aku menunggunya menjawab, tapi Nashila malah hanya menjawabku dengan senyumnya. Tiba-tiba sesuatu terjadi di kepalaku. Aku tidak bisa berpikir apa-apa. Blank total. Otakku seperti laptop yang sedang crashed atau error.

"Man?" Nash menyentuh sikutku. Gawat ... aku harus melakukan sesuatu!

"Ha- haus nggak, Nash? Beli minum dulu yuk." Dia kelihatan bingung saat kutinggal jalan. Maaf, Nash. Dengan berjalan, aku bisa mengatur kembali otak yang sempat mati mendadak. Gila memang senyum kamu, Nash. Tidak main-main damage-nya.

"Beli minum di tempat kayak gini mahal nggak sih, Man?" tanya Nash setelah kuberikan dia sebotol minuman rasa jeruk.

"Mahal sih. Di-mark up. Tapi ada beberapa titik untuk isi ulang air juga di sini. Water tapping. Tahu kan?"

"Oh, kayak yang di taman di luar negeri gitu?"

"Yap. Biasanya sekarang pengunjung bawa tempat minum sendiri. Kalau airnya habis, mereka isi ulang."

"Wih, kereeen ...." Dasar kelinci. Baru lepas kandang sekali matanya langsung berbinar-binar begini. Lucu juga kalau kelinci rumahan seperti dia dibebaskan seperti ini.

Petualangan Nash malam ini masih berlanjut. Aku mengajaknya menonton semua pengisi acara satu per satu. Di satu panggung, aku melihat dahi Nash berkerut dalam sambil menatap musisi .

"Gue nggak ngerti lagunya," kesimpulannya setelah sekitar lima menit mengerutkan dahi itu membuatku terpingkal. Di panggung lain, dia berjingkrak kegirangan mengikuti irama upbeat dari band jazz-ska yang tengah bermain di atas panggung.

"Man, makasih banyak yaa ... hari ini rasanya seneeeng, banget!" serunya di tengah lagu padaku.

"Sama-sama, Nash."

"Gue ngerasa kayak masuk dunia lain. Unreal banget!"

"Hahaha ... siap-siap, ada konser lain yang menunggu."

Nash tertawa, lalu menyandarkan kepalanya ke lenganku dan menyentuh punggungku dengan telapak tangannya, "Can't wait, Asman."

Dia lalu berjalan mendahuluiku. Sementara itu, langkahku malah melambat. Aku menatap punggung Nash sambil menikmati getaran hebat dari dada yang menjalar ke seluruh tubuh. Sedetik kemudian, akal sehatku menendang dan membuatku sadar. Aku menggeleng untuk menguatkan diri.

Tidak, Man. Tidak seharusnya kamu menikmati sentuhan dari istri orang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top