21. Luapan Yang Tertahan

Akhir pekan dan hujan benar-benar sebuah ketidakmujuran. Sebenarnya hari ini aku ingin bersepeda di luar sambil menikmati hari dengan beberapa rekan dari kantor promotorku. Semua rencana itu harus bubar jalan. Biarlah, nanti sore akan kuajak mereka janji temu untuk nobar di bioskop outdoor yang baru di buka itu.

"Hhh ... udah tamat lagi aja." Kututup buku yang kubaca sejak hujan turun tadi pagi. Lumayan, sejak tiga bulan lalu, aku jadi lebih sering membaca buku. Tumpukan buku-buku yang tidak terbaca pun akhirnya habis kulahap. Hanya saja, sebanyak apapun buku yang kubaca, semua berakhir hambar. Tak ada kisah seindah apa yang pernah ada dalam hidupku. 

Ya ampun, lagi-lagi aku melantur. Bosan juga berjam-jam berada dalam ruang apartemen ini. Aku sudah mati gaya, kehabisan cara membunuh waktu yang ampuh. Tiap apa pun yang aku lakukan, pada akhirnya aku hanya akan melamun mengingat Nash. Yap. Three months with her flying above my head everytime. Tahu apa yang kubenci? Aku jadi terbiasa. Nyeri yang muncul, rindu, sesak, semuanya menjadi satu paket yang selalu kuantisipasi setiap hari. Menyebalkan.

Kurasa ini waktu yang tepat untuk sedikit menerobos hujan dan menongkrong di salah satu kafe dalam mal dekat sini. Aku segera memakai jaket, topi, dan membawa payung. 

Kenapa akhir pekan selalu berjalan lambat? Membuatku mau tak mau kembali membayangkan kehangatan yang sudah tak bisa kudapatkan. Membuatku mengais kabar tanpa ada juntrungannya. Diam-diam memperhatikan Nash dari media sosial yang semakin lama semakin minim update-an bukanlah sesuatu yang membanggakan, tapi, untuk saat ini setidaknya mampu membuatku bertahan.Akhirnya, setelah tiga bulan, perlahan kebiasaan itu semakin berkurang. Tapi, aku kesulitan menahan diri di waktu hujan seperti ini. Lebih baik aku menikmati kopi sambil menonton lewat ponsel di kafe terdekat, menyewa ruang karaoke untuk bernyanyi sendiri, atau bermain basket di arena bermain mal.

"Mas Asman." Suara seorang penjaga apartemen di lobi menyapaku.

"Pak Ishak, siang," balasku ramah.

"Mau ke luar, Mas?" tanyanya lagi.

"Iya nih, mau ke sebelah."

"Nggak pakai mobil aja? Deras banget loh hujannya."

"Males bawa mobil kalau hujan begini. Coba lihat dulu deh, kalau deras banget ya terpaksa pakai mobil."

"Iya, deras banget. Sampai serem, tadi di depan kayak lihat bayangan orang samar-samar." Aku membuka mataku lebar-lebar. Pernyataan itu bukannya membuatku takut malah jadi penasaran. Hantu zaman sekarang eksis sekali, siang bolong begini menampakkan diri.

"Di mana bayangannya, Pak?"

"Tadi di luar pintu lobi. Agak buram karena hujan, tapi kayak ada sosok orang gitu loh, Mas. Beneeer ...." Pak Ishak menunjuk ke arah pintu lobby. Bagaimana caranya aku melihat? Pintunya kan tidak transparan.

"Pak Ishak dari tadi sendirian?" tanyaku.

"Iya nih, makanya ngeri saya. Nggak berani-berani ke luar lagi."

"Wah, padahal dia kayaknya mau nemenin loh, Pak."

"Ah, Mas Asman mah!" Kepanikan Pak Ishak membuatku tergelak. Setelahnya aku langsung pamit, sok memeriksa 'sosok' yang dikatakan Pak Ishak tadi.

Aku ke luar lobi dan hal pertama yang kulakukan adalah melihat sekitar. Mataku kembali terbuka lebar. Benar kata Pak Ishak. Ada sebuah sosok yang berdiri sekitar seratus meter di depan lobi apartemen ini. Tapi, perasaanku seketika keruh menatap sosok itu. Tidak jelas siapa tepatnya dia, namun postur badan dan cara berdirinya membuatku teringat akan seseorang.

Dengan cepat kubuka payung, lalu berlari ke arah sosok yang semakin samar karena hujan semakin deras. Dadaku nyeri melihat bahwa sosok itu sesuai dengan tebakanku.

"Nash! Kamu ngapain?!" seruku panik. Kenapa begini? Sejak kapan dia berdiri di depan sini?

"Ma- maaf, Man ... aku ...." Suara Nash terdengar begitu lemah, membuatku seketika diliputi rasa khawatir.  

"Masuk dulu! Ayo!" Tanpa berpikir, kutarik tangannya. Wajahnya begitu pucat, membuatku sangat takut. Aku takut dia pingsan dan sakit.

Nashila ... apa yang sedang kamu lakukan saat ini? Aku takut ....

***

Dadaku masih mengembang dan mengempis bahkan setelah kami tiba di unit apartemenku. Aku bergegas menuju lemari. Dengan gemetar kuambil handuk dan pakaian dari kumpulan kaus dan celana merchandise event, lalu aku kembali ke hadapan Nash. Mata perempuan itu sembap, membuatku sulit bernapas.

Kenapa dia datang dalam keadaan seperti ini?

"Kamu mandi dulu, pakai air hangat," kataku. Kutekan dalam-dalam rasa khawatirku. Aku tak ingin Nash melihat harapan yang masih begitu besar dalam diriku. Tidak boleh ....

Tanpa menjawabku, Nash melangkah ke kamar mandi. Begitu ringkih dan lemah. Aku yang selalu melihatnya dalam keadaan ceria kini seperti orang yang kebakaran rambut. Buru-buru kumasak air dan kusiapkan teh dan minuman anti masuk angin. Hanya itu yang aku punya untuk menghangatkan tubuh yang menggigil tadi.

sekitar lima menit kemudian, Nash keluar. Warna wajahnya mulai terlihat, tidak pucat seperti saat kutemukan tadi. Ia mendekatiku yang tengah duduk di sofa.

"Sini, minum teh anget dulu," perintahku lagi. Dia di sebelahku, tapi aku tak ada waktu untuk melepas rindu. Rambutnya masih basah, lengannya masih terlihat pucat. Ia meminum teh buatanku perlahan. Setelah meminum beberapa teguk, aku meminjam telapak tangannya untuk kugenggam.

Dingin. Kuperiksa suhu di wajah dan lehernya. Dingin. Sangat dingin.

"Kamu berdiri di luar dari jam berapa sih, Nash?!" ujarku yang semakin kehilangan ketenangan. Aku kembali ke lemari, mengambil kaus kaki dan handuk kecil. kuambil sebaskom air panas dari kamar mandi, lalu segera kuletakkan di meja depan sofa.

"Nih pakai," kataku sambil memberikan kaus kaki pada Nash. Sementara itu, aku merendam handuk di air panas, lalu kuperas handuk tersebut. Kutekan handuk kecil itu ke dahi Nash sambil berkata, "Sambil dikeringin rambutnya pakai handuk, Nash. Kalau nggak nanti kamu sakit."

Nash menggenggam pergelangan tanganku yang sibuk mengompres dahinya. Saat itulah aku sadar kalau sejak tadi dia tak berhenti memperhatikanku.

"Aku rindu, Man," kata Nash dengan mata berkaca-kaca. Wajahku kebas dan rahangku mengeras. Ketakutanku terbukti, lagi-lagi aku terjebak dengannya.

"Tiga bulan, Nash. Tiga bulan aku berusaha melupakan kamu. Tiga bulan penuh aku kelelahan menahan semua rasa aku ke kamu. Buyar semua!" Aku tertawa, padahal mata dan dadaku terasa panas. Kenapa perempuan ini tidak membuat semuanya menjadi lebih mudah? Kenapa dia harus kembali dan mengacak-acak perasaanku lagi?!

Nash menatapku tak kalah tajam. Matanya sudah sangat merah, begitu pula hidungnya. Kenapa kami tak bisa menjadi dua orang yang saling mengobati? Kenapa kami berhadapan dan membuat diri masing-masing berantakan?

"Kamu pikir aku baik-baik aja? Kamu pikir hanya kamu aja yang menderita?" Bibir Nash mulai berucap, "Hidup aku nggak pernah baik-baik aja sejak ketemu kamu, Man. Baik tiga belas tahun lalu, maupun setelah kita ketemu di reuni waktu itu!"

Apa maksud Nash? Apa yang tidak kuketahui? Kenapa semua ini harus terjadi sekarang? Kepalaku pusing mendengar suara bergetar perempuan itu.

***

Bersambung yaaa ... sabar, sebentar lagi kelar ❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top