19. Menjadi Asing

Suara Randu dari arah kasur mengejutkanku. Nash pun seperti sama paniknya karena dia langsung mendorongku. Tubuh kami yang sempat lekat sontak terpisah.

Aku menatap Nash dengan napas terengah-engah. Perempuan satu ini memang penuh kejutan. Pengakuannya tentang tak pernah punya pacar 13 tahun lalu membuatku tak menyangka bahwa dirinya pandai bercumbu.

Atau memang aku yang sudah telanjur dalam menginginkannya ....

Aku segera bergerak ke arah tempat tidurku. Kugeser sedikit partisiku untuk mengecek, ternyata aman. Randu masih tidur. Aku kembali ke balik partisi dan Nash sudah berdiri di dekat situ. Wajahnya sudah begitu pucat, seolah baru saja melakukan kesalahan besar.

Satu hal yang aku sadari saat melihat bagaimana Nash menatapku, seluruh tubuhku menolak untuk menerima tatapan itu. Aku tak terima saat dia bersikap seolah kedekatan kami adalah kesalahan. Aku ingin memperlihatkan bagaimana tubuh kami saling membutuhkan satu sama lain.

Maka kembali kudekati dia dan aku daratkan kecupan ke bibirnya, kali ini dengan tegas dan dalam. Aku merasakan penolakan dari tangan Nash yang mencoba mendorong dadaku. Hal itu membuatku menarik pinggulnya dan membawanya masuk ke dalam rangkulan sementara bibir kami semakin bersatu. Kugiring dia ke sofa dan kurebahkan tubuhnya di sana.

Perlahan, dorongan Nash melemah. Dengan begitu lembut, dia menyambut kecupanku. Desahan yang keluar dari bibirnya semakin lama semakin sering dan memikat. Nash merangkul tengkuk sambil mengusap pipi dan rahangku.

Saat itu aku merasa tidak membutuhkan apa-apa lagi di dunia ini. Saat itu, kebahagiaanku membuncah seiring dengan dalamnya perasaan cintaku pada Nash yang kusalurkan lewat semua sentuhan kepadanya saat ini.

Nash, I'm falling way too deep for you. Yet now I feel like I'm flying. Dengan kamu, aku sudah tak tahu lagi apakah aku sedang tenggelam atau melayang.

Nash melepaskan pagutan kami yang sempat begitu aku nikmati.

"Asman, jangan begini ...," ucapnya lembut, merdu terdengar di telingaku. Saking merdunya, aku tak sanggup menahan diriku untuk mengecup manisnya ceruk leher perempuan itu.

"Aku cinta kamu, Nash." Kuutarakan kembali perasaan menggebu itu. Mataku masih terpejam, napasku terasa begitu hangat terpantul dari leher Nashila. Sedetik, dua detik, tak ada jawaban.

Perlahan aku membuka mata, mencoba mencaritahu arti keheningan Nash saat ini. Perempuan itu masih memejamkan matanya. Kutunggu reaksi lain darinya sampai tak bernapas. Dia pun membuka matanya lambat-lambat. Bulu matanya yang lebat menggelitik pandanganku, tapi tak lama sampai aku terpaku dalam tatapannya.

Selama beberapa saat, hanya itu yang kami lakukan. Bertatapan. Napasku yang menderu perlahan stabil, begitu juga Nash. Telapak tangannya yang sempat mengusap rambutku turun ke dadaku.

"A- aku minta maaf, Man," ucap Nash sambil mendorongku pelan.

"Kamu nggak seharusnya meminta maaf tepat setelah mencium laki-laki, Nash." Aku mendengkus sambil menyeringai. Ini pertama kalinya dadaku panas saat mendengar perempuan di hadapanku itu bicara. Bahkan aku tak merasa begini saat ia bercerita tentang suaminya kemarin-kemarin.

Segera aku bangkit dari sofa. Aku membelakangi sosok Nash sambil menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan kembali kesadaranku.

Aku ditolak mentah-mentah. Tentu saja. Siapa juga orang gila yang mau keluarganya hancur karena diriku?

"Aku salah, aku nggak akan mengelak soal itu. Tapi, aku benar-benar nggak siap, Man."

Kuhela napasku berkali-kali. Perempuan seperti Nash sampai kapanpun tidak akan siap melepaskan apa yang sudah ia punya kan? Dia yang akhirnya mendapatkan cintanya, membangun keluarganya ... mana mungkin bersedia mengorbankan semuanya demi aku?

Asman, sadar ... jangan bawa orang lain hancur bersamamu. Cukup kamu saja yang hancur, Man. Cukup ....

"Maaf juga, Nash. Aku nggak bermaksud jadi begini." Tak banyak yang bisa kukatakan padanya. Kami telah melewati batas kami, dan kini artinya hanya ada dua pilihan; melanjutkan atau mundur.

Permintaan maaf Nash adalah jawaban jelas bahwa dirinya memilih mundur, dan aku tak mau menghalanginya.

Aku berbalik dan melihatnya sudah menatapku dengan ekspresi tak keruan. Mata yang berkaca-kaca itu membuatku sulit menahan diri untuk tak kembali memeluknya. Ya Tuhan ... dia berada tepat di hadapanku sekarang, tapi aku begitu merindukannya. Ini tak masuk akal. Mengapa sesuatu yang begitu salah bisa terasa begitu benar?

Nash menutup wajahnya dan menangis. Aku sendiri tak bisa berkata apa-apa. Tenagaku seperti ditarik keluar oleh tangisan Nash sementara kepalaku sibuk dengan pernyataan-pernyataan yang tak bisa kuucapkan.

Aku menyesal tak menyadari perasaanku belasan tahun lalu sehingga saat ini aku tak bisa melakukan apa-apa. Aku tak bisa memperjuangkannya. Apa kata Randu kalau aku merebut Mamanya dari sang Papa?

Aku juga tak bisa mengatakan bahwa aku berharap kami tidak bertemu dalam situasi ini. Aku berharap kami berada dalam semesta yang lebih mendukung diriku dan Nash untuk bersama.

Tidak seperti ini.

Aku menguatkan diri dan mencoba mendekati Nash. Kusingkap wajahnya dari kedua telapak tangannya, lalu kuhapus air matanya dengan ibu jariku. Aku bahkan mencoba tersenyum padanya, berusaha membuatnya merasa lebih baik.

"Kamu nggak salah ... aku yang salah," hanya itu yang bisa kuucapkan. Entah untuk menghiburnya, atau mengingatkanku untuk tak mengulanginya lagi.

Nash memejamkan matanya, seperti merasa kesakitan. Seandainya aku tahu bagaimana cara meredakan sakit itu. Seandainya bukan aku yang jadi penyebab sakit itu ....

"Aku dan Randu harus pulang sekarang," ucap Nash.

"Biar kuantar."

"Jangan," Nash mendorong pelan tubuhku dan memperbesar jarak kami. Dia menatapku dan berkata, "Kita ... aku nggak bisa lihat kamu pergi."

"Jadi kamu yang pergi?" kataku sambil tersenyum sinis.

Dengan yakin Nash mengangguk, "Kamu bisa anggap aku cewek berengsek dan berusaha lupain aku habis ini."

Aku tertawa mendengarnya. Di saat seperti ini, sempat-sempatnya Nash membuatku geli.

"Nggak usah sok nakal. Anak rumahan kayak kamu nggak bakal bisa jadi berengsek," komentarku.

Nash terkekeh. Senyumnya cukup lebar setelah mendengar ucapanku tadi. Baguslah, aku lega melihatnya sudah terlihat lebih tenang. Aku pun merasa lebih tenang sekarang.

"Asman, terima kasih untuk semuanya. Maaf, aku--"

"Nash, jangan minta maaf lagi ya? Aku mohon ...." Aku tak bisa mendengarnya meminta maaf. Tiap maaf yang ia sampaikan padaku membuat pipiku perih karena ditampat kenyataan. Perempuan yang kuinginkan memiliki hidup yang lebih baik tanpaku. Posisiku sebagai pengganggu dalam hidipnya terasa begitu menyakitkan.

Perempuan itu mengangguk, lalu berkata, "Di rumah, aku akan kasih pengertian ke Randu untuk nggak menemui kamu lagi."

Aku tersenyum meskipun ucapan itu terasa pahit. Inilah kenyataan, Man. Bangun, mengangguklah pasrah, terima keadaan.

"I'm gonna miss him," kataku singkat. Aku sudah tak sanggup menatap mata Nash. Perempuan itu segera menggendong Randu. Tubuh mungilnya begitu kokoh, padahal tubuh Randu sudah besar dan berat. Aku sempat menawarkan diri untuk menggendong Randu, tapi Nash mengisyaratkan bahwa ia sudah terbiasa menggendong Randu sendiri.

Terkadang, kekuatan perempuan memang luar biasa.

Nash memintaku untuk segera menutup pintu setelah ia keluar. Dirinya tidak mau kutemani saat menunggu lift, ataupun kuantar ke parkiran. Kami berpisah setelah aku menutup pintu. Tanpa ucapan perpisahan, atau setidaknya tatapan untuk mengantar pulang.

Kami berpisah begitu saja, dan air mataku mulai mengalir meratapi kekosongan yang menjalar di dadaku.

***

[11 Tahun Lalu]

"Asman! Sini!" Suara Prisil membuatku menengok. Suasana kampus yang ramai membuat gue sulit menemukan teman-teman gue, padahal kami sedang berdiri di lokasi yang sama.

Setelah melihat Prisil dan Henry di sebelahnya, gue pun bergegas ke arah mereka. Di sana, beberapa teman seangkatan sudah berkumpul. Tanpa ragu, gue pun ikut masuk ke dalam kumpulan itu.

"Weeey, Man! Riska mana?" tanya Raka, salah satu teman seangkatan kom gue.

"Nggak bisa dateng dia, bokapnya ulang tahun," gue berbohong. Riska sebenarnya malas karena dia yang dari program studi D3 tidak merasa berhubungan dengan wisuda S1 junior gue.

Back to campus demi junior-junior yang baru lulus ini memang sudah jadi budaya anak kom. Mereka datang waktu wisuda angkatan gue, sekarang saatnya kita mampir bareng. Apalagi di angkatan yang sekarang lulus, ada banyak banget teman himpunan yang sampai sekarang masih suka nongkrong bareng.

Setelah lulus, sepertinya ini kali pertama gue balik ke kampus. Buat angkatan gue, hitung-hitung reuni sih.

"Eh, itu Tia sama Bram!" seru Henry sambil menunjuk ke satu arah. Ramai-ramai kami menuju ke arah dua adik tingkat yang sangat kami kenali itu. Dengan heboh Raka mengusung spanduk besar yang berisi ucapan selamat wisuda untuk jurusan komunikasi.

Makin lama, wisudawan dari jurusan kom semakin berdatangan. Gila, kangen juga ya sama mereka!

Dengan semangat 45, gue yang bertugas sebagai dokumentasi pun memotret teman-teman gue. Senyum gue mengembang melihat mereka bersenang-senang. Teman-teman kom memang sumber semangat paling ampuh buat menyembuhkan kelelahan gue karena rutinitas sehari-hari.

"Eh, tuh Lala! La! Sini!" Tia memanggil seorang temannya dan spontan gue menengok ke arah dia memandang. Gue bisa merasakan wajah gue kebas melihat siapa yang datang, membuat senyum gue hilang sepenuhnya.

Anak ini menghilang gitu aja setelah turlap pengabdian masyarakat. Di kampus sudah nggak pernah kelihatan lagi sampai gue lulus. Tahu-tahu sekarang muncul dan jantung gue tidak bisa berhenti berdebar kuat.

Nash ... kenapa lo cantik banget hari ini?

Perempuan itu memeluk Tia, mereka pasti dekat waktu mengerjakan skripsi. Biasanya begitu kalau kerjain skripsi bertema sama atau dapat pembimbing yang sama. Saat selebrasi, maunya juga sama-sama.

"Man! Fotoin dong!" seru Tia. Tanpa basa-basi, gue arahkan kamera gue ke mereka. Nash kelihatan sedikit bingung di awal, tapi dia akhirnya ikut berpose bersama Tia.

Dia cantik banget, Ya Tuhan ... make up tuh benar-benar ajaib ya?

"La, cantik banget siiih ... make up di mana?" tanya Ranti, teman seangkatan Nash dan Tia tepat waktu gue mendekati kedua objek yang baru gue foto tadi.

"Ngehina ya lo, Ran?" tanya Nash dengan mata menyipit.

"Ih, bener tau, La. Lo tuh paling manglingin hari ini." Tia memberikan komentarnya. Nash tertawa geli, tawa lucu yang anehnya membuat gue langsung balik ke memori seru masa turlap dulu.

"Gue make up sendiri, asal dempul aja. Berarti biasanya gue kucel banget dong ya?"

Mereka bertiga tertawa. Tia lalu meminta gue memperlihatkan hasil jepretan gue. Setelah itu gue memotret ketiga cewek itu, lalu memotret Ranti sendiri, Tia sendiri, ... Nash sendiri.

"Baguuus," kata Nash saat melihat hasil fotonya.

"Yang difoto juga cakep." Eh, ini mulut satu kenapa genit banget?

"Ngeledek?"  Bibir Nash manyun, membuat gue geli. Nyaris mau gue acak-acak rambutnya sebelum gue sadar kalau kami nggak sedekat itu.

"Serius. Kan tadi Ranti sama Tia juga bilang," jawab gue sambil tertawa. Gawat, gue benar-benar nggak bisa mengalihkan perhatian gue dari dia.

Dia tersenyum, lalu bilang, "Makasih ya, Kak."

"Lo ke mana aja sih? Kok nggak pernah kelihatan habis kita turlap PM?" tanyaku penasaran.

"Ngampus kayak biasa aja gue, Kak. Cuma emang pas semester empat, kuliahnya udah rada jarang kan?"

"Jadi? Jarang ke kampus? Nonton di rumah aja?"

"Giliran aib gue, ingeeet aja, Kak!"

Gue kembali tertawa. Rasanya seperti ketemu teman baik yang udah lama pisah. Kangen, excited, semua jadi satu.

"Nanti, kalo udah kerja, jangan lost contact sama anak-anak kom, Nash."

"Iya, Kak."

"Don't be a stranger."

Nashila menatap gue dan gue bisa merasakan desiran aneh di dada dan perut gue saat dia berkata, "I won't."

Seseorang memanggil Nash, membuatnya pergi dari sisi gue. Biarlah, ini memang harinya dan teman-temannya. Toh setelah ini, dia sudah janji untuk tidak kembali menjadi asing sama gue.

... tunggu, kenapa janjinya untuk tidak menjadi orang asing jadi penting banget buat gue?

Sadar, Man. We're not that close. Tadi itu basa-basi. Nggak lebih.

Nggak lebih ....

***

Bersambung yaa~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top