18. Hari Istimewa

"Om, katanya Om kerjanya bikinin acara gitu kan?"

"Iya, Ran." Apalagi ini? Perasaanku tidak enak. Atau justru malah enak? Entahlah, ada harapan yang tidak pada waktunya muncul setelah mendengar pertanyaan Randu tadi.

"Randu nggak bisa bayar Om, tapi, nih," anak itu mengeluarkan sebuah kotak dari tas-nya. Dia kemudian membuka kotak itu dan memperlihatkan kumpulan mainan, "ini mainan-mainan Randu yang paling mahal. Segini cukup nggak buat bikin pesta kejutan untuk Mama?"

Aku menarik napasku dalam-dalam sebelum bertanya baik-baik, "Randu ke sini karena mau minta tolong Om?"

Anak itu mengangguk. "Ulang tahun Randu bulan depan. Mama udah siapin acaranya dari bulan-bulan lalu. Padahal ulang tahun Mama duluan, tapi nggak pernah dirayain. Mama selalu ucapin selamat, kasih kado, sayang-sayangin Randu sewaktu Randu ulang tahun. Randu mau bisa begitu juga ke Mama."

"Emang kamu nggak bisa janjian sama Papa kamu buat kasih Mama kejutan?" tanyaku.

Randu berdecih kasar dan menatapku kesal, "Papa mana bisa diajak janjian sih, Om?!"

Setiap kali aku mencoba mengembalikan Nash dan Randu pada suami dan papa mereka, sikap keduanya selalu sama. Apa masalah pria ini? Mengapa dia kerap mengabaikan Nash dan Randu yang begitu cerdas, baik, dan perhatian seperti ini? 

Keberadaan Randu dan niatnya saat ini benar-benar membuatku tak bisa menahan diri. Aku tak tahu apa yang terjadi di dalam keluargamu, Nash. Jika suami kamu tidak peduli dengan anak dan istri semanis kamu dan Randu, biar aku yang peduli.

"Randu simpan aja mainan kamu. Om kan temannya Mama, jadi kalau untuk kejutan kecil nggak usah dibayar." kataku sambil menutup kotak berisi mainan Randu.

"Tapi bikinnya yang bener, Om. Randu mau Mama seneng pas dapat kejutan, bukannya jadi garing." Bukannya senang, anak ini malah mengatur.

Aku terbahak mendengar ocehan anak itu, "Enak aja. Om itu jagonya bikin acara. Nggak mungkin garing. Tapi, kamu bantu Om ya?"

***

Suara ketukan pintu membuatku bersiap membuka mata. Pukul setengah delapan, tepat seperti yang dijanjikan Nash untuk sampai ke tempatku. Dengan perasaan tak sabar aku membuka pintu. Wajah Nash yang gelagapan menyambutku, membuatku merasa kelelahan beberapa jam terakhir terbayar sempurna oleh paras manisnya. 

"Asman, maafin Randu ya," ucapan itu yang Nash ucapkan padaku. Dia begitu khawatir pada Randu. 

"Nash, nggak apa-apa ya. Ayo masuk dulu." Aku berusaha menenangkan Nash dan mengajaknya masuk ke dalam apartemenku. Wajah Nash yang terpaku pada hiasan lampu kerlap-kerlip membuatku bersemangat. Sampai di ruang tengah apartemenku, lampu kerlap-kerlip memenuhi dinding, memancarkan binar indah di mata Nash yang terkejut melihat Randu sudah berpakaian rapi.

"Happy birthday, Mama Nash," kata Randu sebelum memberikan cengiran lebarnya. Dia memberikan sebuah kartu ucapan buatannya sendiri. Kata Randu, dia sudah buatkan kartu itu sejak minggu lalu.

Nash menerima kartu itu tanpa bisa berkata-kata. Aku menekan tombol remote audio dan suara instrumen akustik lagi happy birthday pun memenuhi ruangan. Nash mengedarkan pandangan ke sekeliling, lalu menatapku. Aku melirik ke arah Randu, memberinya isyarat. Dengan sigap Randu menarik Mamanya untuk duduk di atas sofa. Di hadapan Randu dan Nash, sebuah kue ulang tahun dengan lilin yang tengah menyala sudah terpampang cantik di atas meja. Aku mengeluarkan ponselku dan mengabadikan momen ibu dan anak ini.

"Maafin Randu, Ma, tapi Randu mau rayain ulang tahun Mama," ucap Randu polos. Tangis Nash seolah tak bisa ditahan lagi. Ia memeluk putranya.

"Mama nggak marah. Randu anak baik. Terima kasih ya, Randu ...," kata Nash sambil melepas tawa bahagianya.

"Tiup dulu, Ma, lilinnya. Nanti meleleh di atas kue," kata Randu. Senyum lebar Nash terpampang ketika ia meniup lilin di atas kuenya. Setelah itu dia kembali memeluk Randu.

"Mama yang kuat. Jangan sedih, kan ada Randu," ucap anak itu. Hatiku nyeri mendengar ucapan Randu tadi. Entah kenapa kata-kata itu terasa terlalu pilu, aku sampai tak kuat  dan memutuskan untuk menghentikan rekaman videoku.

Dengan sigap aku mengambil piring, sendok, dan pisau untuk Randu dan Nash.

"Maaf, kelupaan nyiapin tadi," kataku gelagapan.

"Man, ini keren banget. Terima kasih juga ya," kata Nash saat aku menyiapkan piring di atas meja.

"Om, piringnya kurang satu," kata Randu yang hanya melihat dua piring dan dua sendok.

"Kalian berdua makan dulu aja, Om ada urusan ke bawah," kataku. Siapalah aku yang merusak momen keluarga ini? Posisiku bukan berada di sisi mereka. Bukan aku yang harusnya menemani mereka.

"Man, makan kue bareng dulu yuk? Ini kan tempat kamu dan kamu udah bantuin Randu," bujuk Nash.

"Tapi, Nash--"

"Please? Buat Randu." Nash menatap putranya yang mengangguk semangat. Dasar perempuan aneh. Kenapa masih bersikap baik padaku yang jelas-jelas telah bersikap tak pantas kepadamu?

Meskipun ragu, aku duduk di sebelah Randu. Rasanya aneh kalau terus menolak mereka. Atau mungkin memang aku menganggap inilah kesempatanku untuk menikmati waktu bersama mereka. Entahlah, aku sudah tak tahu lagi bedanya. Satu yang pasti, aku merasa bahagia karena kesempatan ini ada.

Mungkin aku tidak bisa mengutarakannya setiap hari, tapi kamu benar, Nash. Saat kamu berulang tahun, aku akhirnya mendapatkan kesempatan untuk memperlihatkan betapa istimewanya kamu bagiku.

***

"Ya ampun, Randu ...." Suara Nash yang baru keluar dari toilet membuatku berhenti mencuci piring dan berbalik menengok keadaan Randu. Anak itu sudah tertidur pulas di atas sofa.

"Sudah jam setengah sepuluh juga sih, dia pasti udah ngantuk dari tadi," ujarku.

"Maaf ya, Man, jadi kemalaman di tempat kamu. Sini aku aja yang cuci," kata Nash sambil menghampiriku. Aku langsung memasang badan, menutup wastafel cuci piring agar tak tersentuh Nash.

"Kamu udah masakin aku, masa' kubiarin cuci piring juga?" tanyaku.

"Aku cuma bikin spaghetti instan untuk kita bertiga, Man. Itu bukan masak namanya," kata Nash sambil terkekeh kikuk. Lagi-lagi dia salah tingkah lalu bertingkah manis di hadapanku. Dia bahkan menepuk dada kiriku, membuat jantungku nyaris meledak karenanya. Tanpa aba-aba, aku langsung mundur. 

"Ra- Randu kupindahin ke tempat tidur dulu, Nash. Biar dia tidur sampai pulas dulu. Kasihan, pasti capek," kataku. Sial, aku merasa gugup sekali. Tanpa menatap mata Nash, aku beranjak ke ruang utama.

Aku menggendong Randu perlahan dan membawanya ke kasurku yang hanya dipisahkan partisi ruangan dengan ruang utama. Partisi itu bisa dilipat, tapi selalu kurentangkan tiap ada tamu. Tempat tidurku adalah privasiku, rasanya malu jika ada orang yang melihatnya.

Setelah itu, aku kembali beranjak ke dapur. Nash ternyata masih berada di sana.

"Nggak aku cuciin kan?" kata Nash sambil memperlihatkan cucian piringku yang masih sama seperti waktu kutinggalkan tadi. Aku tersenyum, lalu menuju ke wastafel cuci piring untuk melanjutkan pekerjaanku.

"Kamu punya anak yang baik, Nash," kataku.

"Randu memang andalanku."

Aneh sekali rasanya bercakap-cakap sewajar ini dengan Nash. Setelah apa yang sudah terjadi di antara kami. Setelah pengakuanku. Apa arti semua ini, Nash?

Aku menghela napas saat mematikan keran air karena cucian piringku sudah selesai.

"Suami kamu ... sebenarnya bagaimana hubungan kamu dan suami kamu?" Kutatap perempuan yang berdiri di dekatku itu. Tak akan kubiarkan kami kembali bersikap seolah kami berteman. Aku muak menjadi temannya.

Nashila diam. Gantian dia yang enggan memandangku.

"Aku benci suami kamu, tahu? Membiarkan anak dan istrinya di tempat laki-laki lain seperti ini. Bahkan dia nggak kelihatan di hari ulang tahun kamu. Laki-laki macam apa dia?"

"Asman, tolong jangan bicara seperti itu tentang suamiku," ujar Nash.

Aku mengeluarkan tawa sinisku, "Masih aja kamu membela dia, Nash."

"Dia laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Kamu nggak tahu apa-apa tentang dia. Jangan sok tahu."

"Aku nggak sok tahu. Kalau dia memang bertanggung jawab, kenapa Randu mendatangi aku hari ini, bukan Papanya? Kenapa kamu bekerja habis-habisan untuk mendukung hobi baca Randu?" balasku sengit.

"Kamu tuh nggak ngerti apa-apa, Man."

"Aku memang nggak ngerti apa-apa, Nash. Kenapa kamu memilih laki-laki yang selalu membuat kamu merasa nggak istimewa? Kenapa Randu menyuruh kamu untuk nggak sedih? Kenapa kamu melakukan semua hal sendiri? Di mana dia, hah?"

Nash meneteskan air mata, membuat mataku ikut panas dan perih. Maafkan aku yang egois, Nash, tapi aku ingin kita menghadapi perasaan ini. Aku butuh kamu melihatku sebagai seorang pria, bukan teman lama atau sahabat.

"Serius, Nash. Jangan lindungi laki-laki itu. Karena kalau dia terus mengabaikan kamu dan Randu, biar aku datangi dia."

"Asman ...." Nashila tidak melanjutkan ucapannya. Dia hanya menatapku terkejut. Mungkin dia tak menyangka bahwa perasaanku sudah terlampau serius terhadapnya.

Aku mencoba menenangkan diri, tapi suaraku tetap bergetar saat berkata, "Biar aku minta kamu dan Randu untuk jadi keluargaku."

Mungkin kata-kataku melewati batas, tapi aku tak peduli. Aku terus bicara, mengutarakan isi hatiku.

"Kenapa ada perempuan dan anak semanis kalian yang muncul ke hidupku, tapi nggak bisa aku jadikan keluarga? Aku nggak ngerti, Nash. Aku memang nggak ngerti ...."

Aku menunduk. Bodoh. Untuk apa memperlihatkan kerapuhanmu saat ini? Nash tidak butuh ini semua. Dia tidak butuh dan tidak peduli padamu, Man.

"Asman." Sentuhan hangat jemari Nash mengejutkanku. Napasku seperti berhenti saat wajah perempuan itu mendekat. Selanjutnya, aku merasa Nash mengambil seluruh napasku saat dia menangkup rahangku dengan tangannya dan mendekatkan bibir kami.

Sebuncah emosiku keluar dalam desahan saat akhirnya bibir kami bertemu. Perlahan bibir kami saling menuntut. Sampai akhirnya cumbuan kami menjadi semakin hebat.

Kudekap tubuh Nash erat sambil kulumat rakus bibirnya. Aku seperti manusia kelaparan yang menemukan makanan di tengah hutan. Perasaan ini begitu menggebu dan terus meminta sentuhan perempuan itu. Lagi ... dan lagi. Aku tak bisa berpikir, tak bisa berhenti. Dengan Nash dalam pelukan, jiwaku perlahan kembali terisi. 

Nash, si perempuan yang menggemaskan seperti kelinci dan pembuat letupan hangat di hati ... tahukah kamu? Saat ini, aku merasa kebahagiaan yang tak pernah kurasakan sebelumnya, bahkan ketika masih bersama Riska dulu. Lega, bahagia, dan tak menduga bersatu, membuat mataku panas karena dipenuhi haru.

Akhirnya jiwaku menyentuh hatimu.

***

Naloh naloh ....

Sekian dulu ya. Ahahay! Semoga weekend depan bisa lanjut~

Babay~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top