16. Habis Sudah
Haloha~
Update-an minggu depan kucicil weekend ini ya. Ini 1 of 3 (mulai berantakan jadwalnya).
(Gapapa, yang baca dikit 😝)
Happy reading ❤
***
[Nash: Man, nanti sore tunggu sebentar di dekat kantor penerbitan tempatku meeting nggak apa-apa kan?]
Kenapa-kenapa, Nash. Aku belum siap untuk sore ini. Aku belum siap menghadapi suami kamu, atau kenyataan bahwa kamu telah bersuami.
Sampai detik ini, kenyataan bahwa Nash sudah menikah seperti hanya ilusi. Tapi, jika berkenalan dengan suaminya, semua akan jadi nyata. Terlepas dari pendapatku yang cukup negatif terhadap cara suami Nash memperlakukan keluarganya, keberadaan sosok itu seolah memberitahuku untuk mundur dan berhenti menyimpan rasa untuk Nash.
Kenapa juga aku harus mengiyakan ucapan Nash minggu lalu? Sekarang untuk bekerja pun rasanya aku tak bisa berkonsentrasi. Sial, aku ingin mati suri saja rasanya.
Aku berharap semua akan berjalan normal. Aku seharusnya merasa lebih semangat untuk bertatap muka dengan suami Nash. Mungkin berkenalan sejenak, mencari tahu bagaimana karakter laki-laki itu.
Nash mencintainya, bahkan sampai menikahinya. Sudah pasti pria itu baik, bukan?
Baik ....
Apakah aku kurang baik untuk Nash? Mengapa kami begitu sulit mendapatkan restu Tuhan? Mengapa kami selalu bertemu di waktu yang tak memungkinkan untuk dapat bersatu?
Aku ingin bersatu. Bersamanya.
Ah, lagi-lagi pikiranku kemana-mana. Ini gila ....
***
Sudah tiga puluh menit aku berkutat dengan pekerjaanku di kafe yang terletak dalam mal ini. Kegiatan menunggu yang kupikir akan membuat jantungku melompat ke luar tubuh ini ternyata berjalan lebih santai. Selain karena aku tidak membawa kendaraan hari ini, secangkir kopi dan setumpuk pekerjaan sepertinya cukup mengurangi kegugupanku. Proyek yang tengah kukerjakan begitu besar, begitu seru, dan begitu penting bagi karirku.
Benar, aku harusnya fokus pada karirku di perusahaan promotor ini. Jenjang karirnya memang tidak seperti perusahaan di jasa keuangan atau pertambangan, tapi jika aku bisa berhasil menjadi karyawan tetap, hidupku akan lebih terjamin. Mungkin dengan itu aku bisa lebih fokus mencari jodoh. Perempuan yang tidak bersuami kalau bisa.
"Man, udah lama?"
Aku bisa merasakan ujung bibirku terangkat tinggi ketika melihat perempuan ini duduk di depanku dengan begitu wajar. Dia menatapku dengan mata indahnya, membuatku kembali ingat mengapa diriku begitu menginginkannya.
"Baru kok, Nash," kataku begitu saja. Aku benar-benar dibuat terpaku, apalagi setelah melihatnya tersenyum kepadaku. Dasar kelinci manis ....
"Ngopi sebentar boleh ya? Pusing banget kepalaku," ujar Nash. Aku mengerutkan dahi.
"Aku kira kita sekalian ketemuan bertiga di sini," kataku. Karena hari sudah menuju sore, kukira suaminya akan menyusul ke tempat ini.
Nash terkekeh, "Nggak. Kita harus datangi suamiku, Man. Dia nggak bisa ke mana-mana."
"Stuck di kantor?" tanyaku.
Nash mengangguk lalu berkata, "Kamu nggak bawa kendaraan kan? Aku bawa mobil soalnya."
"Nggak, kan kamu bilang mau pakai mobil kamu aja."
"Iya, kamu ribet nggak sih? Apa harusnya kamu bawa mobil juga ya? Cuma aku ngerasa aneh aja kalau harus sampai pakai dua mobil ke tempat yang sama. Maaf ya?"
"Santai, Nash. Aku gampang, kendaraan umum banyak kok."
Nash tersenyum, "Syukur deh. Nanti kan bisa barengan jadinya."
"Ngomong-ngomong, suami kamu Lembur? Sibuk nggak? Jangan-jangan aku ganggu ...," kataku cepat. Kembali kuingatkan diriku bahwa perempuan ini sudah tak sendiri. Tak boleh diganggu olehku . Nashila tertawa geli melihatku, sepertinya kepanikan sudah terpampang jelas di wajahku.
"Nggak ganggu dong, yang mau datang kan aku dan temanku. Udah santai dulu aja, aku mau ngopi sebentar." Nash segera beranjak ke counter tempat memesan kopi. Aku mendesah. Sudah sejak pagi tadi dia melakukan rapat di kantor penerbitan yang lokasinya menempel dengan mal ini.
Nash datang membawa segelas ice cappuccino. Kami berbincang sejenak. Ia mengobrol tentang proyek tulisannya yang ternyata ditujukan untuk penerbit yang ia datangi. Aku pun sedikit bercerita tentang proyek besar yang tengah kukerjakan.
Aku begitu menikmati percakapan kami. Begitu mengalir dan terasa nyaman, seolah aku sedang berada dalam semesta di mana Nash adalah pasanganku.
"Buruan habisin, terus kita ke kantor suami kamu," kataku sedikit memaksa. Kalau dibiarkan, aku akan kembali larut dengan perasaan yang tidak pantas lagi. Nash mengangguk dan mempercepat minumnya.
"Asman?"
Sapaan itu membuatku mendongak. Aku bisa merasakan otot-otot di wajahku menegang seketika. Kulitku terasa kebas mendapati Riska tengah berjalan dengan pasangannya saat ini. Selingkuhannya saat bersamaku dulu.
"Hai, Man! Nah, gitu dong ... move on dari aku." Ucapan itu terlontar dengan ringan dari bibir perempuan yang sempat kupikir satu-satunya itu. Tanpa tahu kenapa, aku mengangkat tubuhku hingga kini diriku berhadapan dengan Riska dan selingkuhannya itu.
Aku dapat merasakan rahangku mengeras saat Riska menatap Nash, perempuan yang tahu-tahu sudah berada di sebelahku. Apa jadinya kalau Riska tahu bahwa Nash bukan kekasihku?
"Hati-hati ya, Mbak. Asman itu kalau udah kerja suka asyik sendiri. Sekitarnya nggak dipeduliin lagi. Kalau ada proyek besar, Mbak berasa nggak punya pasangan," kata Riska sambil bergelayut kepada pria di sebelahnya. Laki-laki itu pun seolah tak merasa salah dan membiarkan Riska mempermalukanku di depan Nash seperti ini.
Ingin sekali kutinju wajah laki-laki ini, seperti yang kulakukan saat terakhir kali aku bertemu dengannya.
Tawa Nash memecah fokusku. Aku tengah menengok ke arahnya saat dia menjawab Riska, "Saya nggak se-clingy itu ke pasangan, Mbak."
Baiklah, aku bingung. Kenapa sih perempuan ini malah menanggapi Riska? Bukankah ini membuat aku dan dia makin terlihat seperti pasangan?
"Beda dong antara clingy sama care. Asman itu emang sifatnya nggak bisa care sama perempuan," Riska menjawab Nash seolah tak mau kalah.
"Sama saya cukup care sih."
"Oh ya?"
"Iya, nih, buktinya saya dijemput." Nash mendorong bahuku dengan bahunya sambil tetap menatap lawan bicaranya. Senyum Riska lenyap. Suasana pun semakin canggung.
"Wah ... udah sadar ya kamu sekarang, Man?" Riska langsung mengalihkan perhatiannya kembali kepadaku. Saat itu, Nash menggenggam tanganku, membuat semua kekesalan dan rasa hancur yang muncul tiap melihat Riska dan laki-laki itu buyar seketika.
"Mbak," Nash menyela pertanyaan Riska padaku dengan suara yang sangat lembut, "Mbak yang harusnya sadar. Mbak sudah bukan pasangan Asman lagi, jadi ucapan-ucapan Mbak sebenarnya agak kurang pantas."
Sekujur tubuhku berdesir saat Nash mengeratkan genggaman tangannya. Dengan sigap ia berkata lagi pada Riska yang masih tampak syok, "Kami duluan, Mbak."
Tanpa melihat kebelakang, kami berjalan menuju lift mal. Sepanjang jalan sampai ke lift yang menuju parkiran basement, kami tidak saling bicara. Nash melepas tanganku dan menekan tombol lift. Ia terlihat gelisah sebelum menghadap ke arahku.
"Jangan biarkan orang lain bicara kayak gitu ke kamu, Man. Meskipun kamu masih cinta sama dia, kamu nggak seharusnya menerima perkataan Kak Riska kayak tadi," ucap Nash.
Kelu, aku membalasnya dengan ucapan terima kasih yang singkat. Lift kami datang, hanya kami berdua yang masuk ke dalam. Kemana pengunjung mal di saat seperti ini?
Lift bergerak menuju ke basement tempat mobil Nash terparkir. Aku menelan ludah, berusaha menjaga jarak dari perempuan yang semakin lama semakin membuat perasaanku tak keruan. Dari sudut mata, kulihat Nash menatapku cemas.
"Man, kamu nggak apa-apa? Muka kamu pucat," kata Nash Sambil menyentuh wajahku. Dadaku yang sesak bergerak naik turun. Perasaanku sudah tak terkendalikan lagi. Aku ingin apa yang dilihat Riska adalah kenyataan. Aku dan Nash menjadi pasangan.
"Nash, kayaknya aku nggak bisa ketemu suami kamu sekarang," kataku sambil menepis tangan Nash dan berusaha menjauhinya. Entah bagaimana, laju lift ini pun terasa sangat lambat, membuatku seperti terperangkap di dalamnya.
"Kenapa? Karena ketemu Kak Riska tadi?" Suara Nash meninggi.
"Ehm ...." Bagaimana caraku menjawabmu, Nash?
"Man, sebentar aja ya? Kenalan sebentar aja, biar sama-sama enak."
"Aku nggak bisa, Nash," ujarku sambil menggeleng.
"Kenapa?"
"Aku ...."
"Kita udah ngomongin ini selama semingguan loh, Man. Rencana kita hancur gitu aja karena mantan kamu?" tanya Nash dengan nada yang makin mendesak.
"Bukan gitu." Siapapun, tolong aku. Aku tidak bisa menahan semuanya lebih lama lagi.
"Terus gimana?!" Teriakan Nash membuatku menatapnya. Setelah itu, semua pertahanan diriku pun hancur.
Aku tidak tahu apa yang mendorongku. Tanpa peduli sekitar, kuraih wajah Nash dan kulumat kuat bibirnya. Seketika kehangatan memenuhi tubuhku, membuatku ingin semakin melekat dengan perempuan ini.
Nash terkejut, tubuhnya memberontak, tapi aku belum sangggup memisahkan cumbuan kami. Maka aku memeluknya erat, melumat bibirnya lebih dalam, dan merasakan bagaimana sentuhan bibir Nash membuat diriku merasa utuh dan kembali penuh.
Perlahan kulepas bibirnya. Kupandang matanya yang sedikit berair, menatapku bagai melihat serigala berbulu domba.
"Gimana lagi, Nash? Aku telanjur jatuh cinta sama kamu," ucapku.
Habis sudah.
Pintu lift terbuka. Kami sudah berada di basement. Saat ini, harusnya kami keluar lift dan menuju mobil Nash. Tapi, aku menarik lengan perempuan itu dan mengeluarkannya dari lift. Sementara itu, aku tak beranjak dari dalam lift.
Dia masih terkejut menatapku. Aku mencoba memberinya senyum, tapi air mataku menetes. Pintu lift tertutup memisahkan kami. Segera kutekan tombol lift, menuju ground floor. Sesak. Siapa yang sangka bahwa kehadiran seorang perempuan bisa begitu menenangkan dan melegakan? Siapa juga yang sangka bahwa kehilangan perempuan itu dapat membuat kita seperti kehilangan diri sendiri juga?
Hidupku berubah sejak bertemu Nash, dan kembali terpuruk saat ini. Setelah berpisah dengannya.
***
Bersambung ya ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top