14. Rasa Yang Berkembang
Aku meletakkan segelas es jeruk dingin di depan sofa.
"Makasih, Om," ujar anak yang tengah duduk santai di sana tanpa mengangkat kepalanya. Buku seri detektif cilik yang pertama sudah berada di tangannya.
Aku mengangguk, lalu kembali menuju meja makan yang sebenarnya adalah kitchen bar. Di sana, sudah ada seorang perempuan yang menungguku.
"Udah mulai tenggelam tuh, si Randu," kataku.
"Aku paling suka kalau Randu udah mulai asyik baca kayak gini," kata Nash. Ujung bibirku gatal, tak sabar ingin tersenyum. Tanpa kesepakatan, kamu memutuskan untuk menggunakan panggilan "aku-kamu" di hadapan Randu.
Bermula dari saat Nash berkata, "Aku sama Randu telat ya?" setelah aku membuka pintu. Aku tidak membantahnya karena mengingat ancaman aduan Randu pada gurunya dua pekan lalu.
"Dia aktif banget, tapi kalau udah baca langsung anteng ya?" tanyaku. Sedikit banyak, aku jadi teringat pada diriku sendiri. Sebagai orang yang hobi jalan ke luar, membaca buku adalah kegiatan rumahan yang paling aku sukai. Dengan buku, aku kuat menghabiskan waktu berjam-jam di dalam rumah.
"Hobi bacanya itu ngebuat aku lebih mudah menulis. Waktu dia sekolah dan main, aku pasti sibuk mengawasi dan nemenin dia. Saat dia lagi tidur atau baca, itu jadi waktu aku buat menulis juga," jawab Nashila. Ya ampun, seorang ibu memang protektif begini ya?
"Dia udah kelas dua SD, Nash. Sedikit dilepas waktu main harusnya nggak apa-apa," komentarku.
Nash menggeleng, "Nggak mau. Aku nggak tenang. Mungkin ini kelemahanku sebagai orang tua. Aku benar-benar nggak bisa melepaskan pengawasanku dari Randu."
"Kamu akan kesulitan pas dia remaja nanti," balasku. Aku mungkin memang belum menjadi orang tua. Tapi satu hal yang kutahu. Semakin digenggam, anak akan semakin memberontak mencari kebebasan.
"Satu hal tentang menjadi orang tua, Man," Nash menatapku sambil tersenyum, "Urusan nanti dipikirin nanti."
Aku tertawa mendengarnya. Nash berkata, "Sekarang PR-ku banyak, Man. Berusaha biar jatah jajan buku per bulan Randu bisa naik, cari rak buku yang lebih besar untuk buku-buku yang makin menumpuk, semua sambil mengawasi Randu. Kalau sampai mikirin semuanya sampai dia besar, nggak cukup kapasitasku. Just make it one day at a time."
Nash meminum teh dingin yang kuberikan kepadanya saat sebuah rasa penasaran muncul.
"Kamu dan suami kamu kerja, semua masih nggak cukup untuk memenuhi kebutuhan jajan Randu?" tanyaku. Nash menggeleng.
"Belum cukup. Minat Randu ke buku itu besar banget. Aku mau pupuk minat itu. Cita-citaku punya perpustakaan dan ruang baca di rumah, Man."
"Ruang baca ya?" Aku membayangkan sebuah ruangan sederhana dengan ratusan buku berjajar rapi di rak yang memanjang menutupi dua sisi ruangan tersebut. Di ujung ruangan, ada tempat duduk serbaguna di mana kita bisa membaca sambil duduk tegak, bersandar, bahkan tiduran. Jika rumahku memiliki ruangan seperti itu, rasanya menyenangkan juga ya berada di rumah.
Ah, tak usah menipu diri, Man. Jangan hanya karena Nash yang bicara, kamu jadi otomatis menyamakan minat begitu. Sesuka-sukanya kamu membaca buku, pergi ke supermarket saja masih lebih menarik bagimu. Sudah jelas kamu lebih merasa bersemangat saat berjalan-jalan di luar, jangan sok jadi anak rumahan.
Ponselku berbunyi, membuyarkan dialogku dengan diri sendiri. Kuberi senyum singkat pada Nash, isyarat sebelum aku mengangkat telepon tersebut.
"Halo? ... Sekarang? Kok dadakan? ... Kok gue? Ya udah, gue ke sana, sekitar tiga puluh menit lagi nyampe ya."
"Ada apa, Man?" tanya Nash saat melihatku bersiap. Dengan cepat kuambil jeans yang tergantung di gantungan dekat pintu, lalu beranjak ke kamar mandi. Kuganti cepat celana santaiku dengan jeans tersebut, lalu aku segera keluar dari kamar mandi.
"Aku ada panggilan rapat, Nash," kataku.
"Oh, ya udah. Randu, kita pulang. Om Asman harus ke luar," kata Nash. Randu berseru protes, tapi aku segera merentangkan tangan untuk menghentikan perdebatan mereka.
"Aku usahain pulang sebelum gelap. Tapi kalaupun nggak, kalian pulang aja duluan. Kunci apartemen ini dititipin ke petugas di lobi, nanti aku kasih pesan juga ke mereka," jelasku buru-buru. Aku mencari kunci mobilku di kitchen bar dekat Nash.
"Jangan gitu, Man. Gue nggak enak," bisik Nashila kepadaku.
"Kasihan Randu. Udah ah, anggap aja rumah sendiri. I mean it, awas kalau segan-segan," tunjukku pada Nash. Setelah mendapatkan senyumnya, aku langsung berseru pada Randu, "Randu, Om titip rumah ya!"
"Siap, Om!" seru anak itu balik. Dengan tawa, kubuka pintu dan beranjak ke luar. Aku menitip pesan kepada petugas di lobi, lalu bergegas ke parkiran.
Tak lama kemudian, aku pun sampaidi kantor promotorku. Sebuah proyek dadakan tapi besar itu membutuhkan Lead Project dan aku terpilih untuk mengisi posisi tersebut. Kalau dipikir, rasanya gila juga aku nyaris menolak kesempatan besar ini karena keberadaan Nash dan Randu di apartemenku.
Jika proyek ini berhasil, aku pasti akan dipromosikan menjadi head of activation.
Di kantorku, jabatan itu mendapatkan jaminan kesehatan dan upah bulanan selain komisi proyek yang ditangani. Lumayan bukan?
Kuikuti rapat itu dengan gelisah. Bayangan tentang Nash dan Randu kerap muncul di kepalaku meskipun aku masih dapat fokus mendengarkan penjelasan atasanku. Sesi briefing pun berlanjut dengan sesi brainstorming. Matilah aku.
Sesekali aku mengirim pesan kepada Nash, meminta maaf karena rapat itu berjalan lebih lama dari perkiraanku. Sesekali Nash juga mengabari bahwa Randu numpang tidur dan dia izin pinjam kamar mandi untuk Randu mandi.
Aku tersenyum membaca pesannya itu. Rasanya aku makin tak sabar untuk pulang.
Brainstorming akhirnya selesai pukul lima. Setelah pamit dengan sopan pada atasanku, aku langsung berlari menuju mobil dan bergegas pulang.
Aku melangkah menuju unit apartemenku dengan penuh semangat. Entah kapan terakhir kali aku pulang ke rumah dengan perasaan sebahagia ini. Aku mengetuk pintu, sebuah kegiatan yang masih ganjil kulakukan. Tapi tak lama kemudian, Nash membuka pintu dengan wajah yang sangat segar.
"Om Asman udah pulang niiih ...." Suara Nash dan aroma masakan yang menggugah selera langsung menyambutku. Rasanya senyumku sudah sangat lebar saat ini.
"Om udah pulang!" Setelah masuk, kulihat Randu melompat dari sofa dan menyambutku. Aku tersenyum padanya dan mencari sumber aroma yang begitu hangat dan sedap. Ternyata, aroma itu berasal dari kitchen bar.
"Hey, Man. Maaf, aku pinjem dapurnya dan minta bahan makanan sedikit ya. Randu udah lapar jadi aku bikin makan malam," kata Nash.
"Kamu bikin makanan apa?" tanyaku penasaran. Ada rasa lega yang berlebihan di hati saat menyadari bahwa Nash dan Randu benar-benar menganggap apartemenku sebagai rumah mereka sendiri.
"Nasi goreng omelette. kesukaan Randu," jawab Nash. Kulihat tiga piring yang sudah terisi makanan yang berselimutkan telur dadar berwarna kuning segar itu.
"Ini ... kenapa bisa bikin beginian? Aku kan nggak punya bahan makanan, Nash," tanyaku bingung. Nash ini penyihir atau apa sih?
"Kamu punya telur sama sosis di kulkas. Aku lihat expired date-nya masih lama kok, jadi kupakai aja. Beras juga ada di bawah, aku ambil sedikit, nggak apa-apa kan? Aku masakin buat kamu juga loh."
Aku terpaku, hanya bisa mengangguk kaku.
"Tadinya mau titip pesan aja kalau kamu pulang malam. Diangetin aja di microwave. Eh, sekarang udah datang, mending kita makan sama-sama ya?"
Aku terdiam. Pelan-pelan kuamati suasana apartemenku. Begitu hidup, begitu hangat. Jauh sekali dari kesan-kesan yang membuatku tak betah selama ini.
"Man, kenapa? Kamu nggak suka ya aku ngubek-ngubek apartemen kamu? Ma- maaf ya, Man. Aku--"
"Nash, nggak apa-apa. Maaf aku masih capek dari rapat tadi, jadi rada bengong." Aku segera memotong ucapan perempuan itu. Dengan susah payah aku kembali mengendalikan diriku.
"Mandi gih, Om. Biar segeran," celetuk Randu.
Aku mengangguk, "Aku mandi dulu ya, Nash, Ran."
"Jangan lama-lama, Om. Randu laper!"
Aku tertawa kecil sambil masuk kamar mandi. Setelah pintu tertutup, aku menarik napas dan berusaha mengontrol diri dari ledakan kebahagiaan yang tidak sepantasnya ini.
Nash dan Randu hari ini membuatku merasakan keberadaan keluarga dan rasanya semakin sulit untuk menyadarkan diriku kembali bahwa mereka bukan keluargaku.
Mereka bukan milikku ....
***
[13 Tahun Lalu]
"Hati-hati, jalannya rada licin nih."
Telat ngomongnya si Aden. Sakti sudah keburu jatuh. Dengan sigap, Nathan dan gue membantu anak itu. Celananya sudah kotor karena tanah yang basah.
"Cewek-cewek bisa? Sini pegangan," ujar Nathan. Gue dan Sakti berbaris, bersiap memegangi anak-anak perempuan yang biasanya lebih takut dan ringkih dalam melangkah di atas tanah basah.
Yuli, Lila, Risa, lalu Nash. Satu per satu mereka berjalan melewati gue, Sakti, dan Nathan. Tepat di bagian paling ujung, Aden si tour guide dadakan pun membantu memantapkan langkah keempat perempuan itu di atas bebatuan.
Jalan menuju sungai kunang-kunang ini kalau tidak licin ya berbatu. Harus lihai. Untung gue memang suka travelling ke gunung dan hutan, jadi track kayak gini masih bisa gue jajal dengan baik.
Beberapa kali gue mencoba membantu Nash dalam melangkah. Awalnya dia gengsi, tapi sehabis dia jatuh sekali di awal menapaki tanah becek, dia tidak berhenti menempeli gue. Dasar bocah, gengsi lebih besar daripada aksi.
Tak lama setelah menapaki jalur bebatuan, kami akhirnya sampai di sungai kunang-kunang. Ada daerah pinggir sungai yang masih dipenuhi rerumputan dan semak tinggi, tapi kami masuk lewat jalan setapak yang biasa dipakai orang Desa.
Ternyata pemandangannya indah banget! Di sungai ini memiliki bagian yang dangkal dan berbatu, tapi agak jauh di depan, kita bisa berenang di sungai sedalam pinggang orang dewasa.
"Wah, sepi! Kita beruntung!" seru nathan puas. Gue melihat Sakti dan Nash mencuci pakaian kotor mereka berbarengan. Setelah itu mereka mencemplungkan diri di bagian sungai yang masih dangkal.
"Saking biasanya anak-anak daerah sekitar main di sini, mereka jadi nggak setiap hari ke sungai," jelas Aden yang suaranya terdengar samar. Perhatian gue teralihkan oleh satu sosok yang sudah sibuk berenang dan bersikap bodoh dengan Sakti.
Padahal anak ini tidak sedang memakai pakaian bagus ataupun dandanan cantik. Dia bahkan sedang berpura-pura menjadi beruang yang siap menangkap ikan. Meskipun begitu, gue tetap bersandar sambil terus-terusan memperhatikannya.
Gue tidak bisa melepaskan pandangan gue dari Nash. Sesuatu di kepala seolah rusak. Seolah korslet.
Melihat Nash begitu riang bermain dengan arus sungai. Dari yang malu-malu mencuci bagian pakaiannya yang kotor sampai keasyikan berendam di sungai ... Melihat senyumnya, matanya yang bersemangat ... Ada satu sisi di kepala yang tidak berhenti berkata ngaco ....
"Dia harusnya jadi milik lo, Man."
***
Bersambung yaaa ....
Samlai jumpa di part berikutnyaaa ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top