11. Kunang-Kunang
Masih kuat? Lanjut yaaa ....
***
"Apa kabar, Nash?" tanyaku. Sumpah, aku benar-benar kehabisan akal. Rasanya ingin sekali aku mengepak barang dan kabur dari penginapan ini. Nashila tersenyum kikuk kepadaku. Mungkin dia menyadari bahwa aku menghindarinya selama ini dan kini sama terkejutnya saat kami saling menemukan.
Ah, alangkah indahnya kalimat itu ... saling menemukan. Seandainya kita benar-benar bertemu di waktu yang tepat ya, Nash.
"Mama, siapa?" suara Randu memecah keheningan yang canggung di antara kami.
"Temen Mama, namanya Om Asman. Salim dulu gih," Nash sedikit menepuk bahu Randu, membuat pemuda cilik itu ke arahku dan mencium punggung tanganku.
Ya ampun ... betapa inginnya aku menggantikan posisi kepala keluarga mereka saat ini. Nasibku kenapa begini sekali ya?
"Duluan ya, Man," kata Nash tanpa basa-basi. Yah, dia sudah telanjur tak nyaman bersamaku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
"Dah, Om!" Randu melambaikan tangan, lucu sekali. Dia ini mungkin masih duduk di Taman Kanak-kanak. Aku membalas lambaiannya dan melihat punggung Nash dan Randu menjauh. Semakin jauh punggung mereka, semakin hampa dadaku.
Segera aku kembali ke pondokku. Kurebahkan lagi tubuhku di atas kasur. Sendirian. Padahal Nash tak jauh, tapi aku kesepian.
Baiklah, batal sudah rencana menginap tiga malam di sini. Besok aku harus kembali dan melakukan staycation di hotel saja.
Sudah memakan waktu lima jam perjalanan, kelelahan, baru lega sedikit, eh, sudah terbentur ujian baru. Desa memang bukan tempat yang baik untukku.
***
Gelap. Kalau malam, daerah di sekitar danau ini gelap juga ternyata. Penerangan hanya ada di sekitar pondok sehingga tepi danau terlihat sangat pekat.
Baguslah. Aku bisa menenggelamkan keberadaanku di sini. Biar gelap ini menyelimutiku sampai aku seolah-olah hilang dari dunia. Tanpa ada yang menyadari, tanpa perlu dilihat lagi.
"Asman?"
Aku berbalik. Sinar senter membuat kegelapanku terusik. Meskipun silau, aku tahu siapa yang baru saja memanggilku.
"Nash, silau," ujarku.
"Sorry, sorry ... ya ampun, gue kira lo makhluk jadi-jadian. Tadi takut banget gue, tahu nggak?!" Nash berlari kecil mendekatiku. Sampai saat ini, larinya bahkan mirip lompatan kelinci. Nash, kenapa kamu harus begitu menggemaskan?
"Masih aja takut sama hantu?"
"Gue lagi sendirian soalnya di pondok. Niatnya kan ke sini buat nyelesein tulisan, Man."
"Loh, Randu sama siapa?"
"Sama Kakek-Neneknya di pondok lain. Dua pondok di kiri gue."
"Oh ... orang tua lo?"
Nash mengangguk, "Mertua gue."
Pahit ... kenapa pahit sekali ya mendengarnya? Mertua Nash bukan orang tuaku ... Man, beresin otak secepatnya! Justru kasihan dong kalau Mama dan Papa jadi mertua Nash, dia jadi yatim piatu seperti kamu juga nanti!
"Suami lo juga ada?" Mulut malah sembarangan bertanya sih, Man?!
"Nggak bisa datang dia," kata Nash.
"Oh." Jangan senang ... jangan senang ....
Suasana jadi hening. Aku sendiri merasa tak berdaya karena dalam diriku seperti ada yang bertarung hebat sejak tadi.
"Ya udah, gue balik ke pondok ya, Man." Kalimat dari Nash ini membuat percikan kepanikan dalam tubuhku.
"Nash." Jangan, Man ....
"Ya?"
"Mau temenin gue duduk sebentar?" Sialan, berengsek kamu, Man! Pengkhianat! Pembelot! Mulut kurang ajar! Aaargh ....
"Boleh." Aku menelan ludah melihat Nash mendekat. Perdebatan internalku teredam. Wajah senang Nash membuat perasaan bersalahku lenyap. Mungkin inilah aku sekarang. Iblis berengsek yang kerjanya ngemodusin istri orang.
Kami duduk berdua di tepi danau.
"Lampunya matiin aja."
"Gelap, Man."
"Biarin mata lo terbiasa. Kasihan hewan sekitar sini. Gue aja silau sama senter lo tadi."
Nash menurutiku. Bagus. Saat ini kami tak bisa saling melihat satu sama lain. Berada di sisinya cukup bagiku. Tidak perlu saling tatap, tidak perlu lebih dekat sejengkal lagi. Duduk berjarak dalam gelap, asal aku tahu dia yang ada di sebelah, aliran ketenangan langsung mengalir deras ke sekujur tubuhku.
Nashila ... ada sesuatu tentangmu yang membuatku tak sanggup menjauh.
"Akhir-akhir ini ... lagi sibuk ya?"
"Iya," aku memberi jeda sejenak, "Maaf ya, Nash, nggak pernah balas chat. Kadang gue nggak sempat, terus lupa."
"Sedih tahu, Man. Berasa dibuang."
"Nash," kataku cepat. Aku menengok ke arahnya. Samar, mataku yang mulai terbiasa dengan gelap dapat menangkap wajahnya yang sedang mengarah kepadaku. Aku pun berkata, "Mulai sekarang gue akan balas semua chat lo. Gue minta maaf ya."
Nash terkekeh pelan, "Nggak juga nggak apa-apa. Gue ngerti kok."
"Ngerti?"
"Gue bukan pusat dunia, Man. Banyak hal penting yang lebih harus diurus selain gue." Nash menerawang. Dalam hati ada pertanyaan yang tidak berani kuutarakan. Dia ... sebenarnya sedang membicarakanku atau suaminya ya?
"Lo mungkin bukan pusat dunia, tapi lo ada dalam dunia gue. Nggak seharusnya gue nyuekin lo, Nash." Kontrol diriku lepas seketika. Nash terlihat sangat kesepian dan aku tak bisa membiarkannya begitu saja.
Aku ingin dia tahu betapa penting keberadaannya untukku.
"Yaaa ... bisa aja kan? Pas ketemuan terakhir itu gue salah ngomong, terus lo jadi malas ngobrol sama gue lagi."
Aku tertawa, "Bisa jadi. Lo ngeselin sih emang kalau nonton horor."
"Dih, lo tuh rese' banget sih!"
Nash menoyorku, membuat pandanganku teralih ke sebuat rumput tinggi dekat kami duduk.
"Nash! Sini ...," bisikku padanya. Perlahan dia mendekatiku. Aku menunjukkan kepadanya seekor hewan kecil yang hinggap di rumput tadi. Kulirik wajah Nash. Ekspresi takjubnya menandakan dia tahu apa yang kumaksud.
Seolah sadar kalau dirinya tengah menjadi perhatian, hewan itu pun terbang. Tubuhnya memancarkan sinar yang kecil, namun begitu indah.
"Kunang-kunang ... jadi inget zaman dulu ya, Man," kata Nash pelan.
"Iya. Nggak nyangka ada juga di sini," ujarku.
"Di sini gelap. Bintang di atas aja banyak banget tuh kelihatan," balas Nash. Ia menunjuk ke atas dan aku bisa melihat ribuan bintang di langit malam itu.
"Bintang, kunang-kunang, harus gelap dulu hidup kita biar bisa melihat mereka semua," celetukku. Diiringi tawa tentunya, biar tidak terlalu sendu dan emosional.
"Lo tahu nggak, Man? Sinar bintang itu menempuh waktu ribuan tahun untuk bisa sampai di bumi. Bisa jadi bintang itu mati, tapi masih kita nikmati sinarnya." Sebuah fakta menarik yang sedikit tidak pada tempatnya keluar dari mulut Nash. Entah apa maksudnya, entah apa yang ada di pikirannya.
"Hooo ...," gumamku sambil mengangguk. Itu adalah andalanku kalau tidak paham dengan arah ucapan Nash. Tidak apa-apa, aku selalu memahami perempuan ini pada akhirnya kok.
"Kadang kita lihat jodoh tuh kayak lihat bintang mati. Aslinya udah nggak ada, tapi karena kita fokus ke terang sinarnya, kita mikir sinar itu selamanya buat kita. Padahal jodoh itu harusnya kayak lihat kunang-kunang." Tuh kan. Penjelasan pun akhirnya muncul.
"Kunang-kunang?" tanyaku bingung.
"Iya. Keberadaannya nggak sejauh bintang, tapi terkesan lebih susah untuk ditemukan. Padahal kita tinggal cari perlahan di tempat yang tenang. Terus ... ketemu deh. Kayak tadi."
Aku termangu melihat Nash yang tersenyum. Perempuan itu lalu menunjuk ke satu tempat, Kami berdua berjalan perlahan ke tempat itu. Setelah sedikit menyibakkan semak, kami pun menemukan kumpulan kunang-kunang beterbangan. Rasanya ajaib sekali bisa merasakan hal ini sekali lagi dengan orang yang sama seperti 13 tahun lalu.
Kudengar Nash berbisik, "Jodoh itu kayak kunang-kunang. Hidup, terang, ada di depan mata kita."
Perlahan aku menatap Nash yang sedang menikmati keindahan kunang-kunang di depannya. Sama seperti dia, aku pun menikmati keindahan di depan mataku.
Seseorang yang aku harapkan menjadi kunang-kunangku.
***
Pengakuan: aku belum pernah lihat kunang-kunang secara langsung. Hiks ....
Sudahlah, sampai jumpa di bab selanjutnya ya~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top