10. Ujian Bagi Jiwa
[13 Tahun Lalu]
"Keajaiban dataaang!"
Anak-anak bersorak dalam mobil kap. Gue hanya tertawa melihat kegirangan mereka. Siang itu, akhirnya kami -- gerombolan nggak jelas berjaket almamater -- bisa pulang ke sekolah lebih cepat dari tiga hari sebelumnya. Pukul sebelas siang di hari keempat, seluruh penduduk sudah selesai didata! Yeah!
... Sebenarnya targetnya sih selesai kemarin, tapi apa pun yang membuat kami dapat pulang cepat pastinya bikin semangat dong!
"Eh, katanya Pak Kades udah siapin ikan bakar sama nasi bakar di aula buat kita makan loh!" Ucapan Bu Nana ini membuat semua anak-anak makin heboh bersorak sorai. Tanpa sabar, kami semua turun dari mobil setelah sampai di sekolah dan langsung menuju aula di sana.
Pak Kepala Desa alias Pak Kades dan Pak Pandu ternyata sudah menunggu di sana. Setelah kami duduk rapi berkeliling, makan siang pun dimulai. Ikan bakar yang segar dan gurih serta sambal dan sayur kangkung yang melimpah langsung kami hajar. Sakti bahkan dengan barbar mengambil satu ekor untuk dirinya sendiri.
"Ini buat bagi-bagi di kiri-kanan, biar nggak susah ambilnya," ujar Sakti melindungi diri. Aku yang berada di sebelahnya pun langsung menoyor. Enak aja, pakai bawa-bawa gue!
"Makan saja, Dek. Anggap saja sebagai rasa terima kasih kami kepada adek-adek mahasiswa yang bersedia meluangkan waktunya bekerja siang-malam untuk Desa ini," kata Pak Kades sambil tertawa.
"Udara di sini segar. Mau kerja seharian nggak penat, Pak," kata Lila. Gue meihat Nash sekilas melirik, lalu menahan tawa. Gue pelototi dia supaya diam. Saat ini, tuh anak kelinci pasti sedang mengingat bagaimana gue berkali-kali tidur di rumah penduduk. Yap, sepenat itu gue dengan tugas praktik UAS ini sampai-sampai bawaannya mengantuk terus.
"Dekat sini ada sungai, kalau main di sana rasanya lebih segar lagi," kata Pak Kades. Aku, Sakti, dan Nathan saling tatap.
"Itu yang sungai kunang-kunang ya?" tanya Sakti tanpa malu. Bagus, ada gunanya juga ini anak.
"Iya, kalau malam banyak kunang-kunang di pinggir sungainya." Penjelasan Pak Kades itu langsung membuat anak-anak lain bergumam kagum.
"Ini anak-anak kota, Pak, nggak ada satupun yang pernah lihat kunang-kunang." Paham dengan kebingungan Pak Kades, Pak Pandu pun mencoba menjelaskan betapa udik-nya kami tentang kunang-kunang. Setelah itu Pak Kades langsung tertawa lagi sambil menggelengkan kepalanya.
"Kalau di Desa ini masih banyak itu hewannya, jadi nggak berasa istimewa," kata Pak Kades. Sudah pasti begitu sih, Pak.
"Habis makan, kami boleh nyoba main ke sana?" tanya Sakti lagi. Gue dan Nathan saling pandang dan menaik-naikkan alis kami. Lumayan banget nih si Sakti, pepet-pepetin Pak Kades begini. Please boleh, gue kepengen main air.
"Boleh. Nanti biar ditemani Aden," kata Pak Kades sambil menunjuk Aden yang sudah mengantar jemput kami selama empat hari terakhir.
"Yes!" Gue langsung tos-tosan sama Nathan setelah kami mendapat izin itu.
Beberapa anak berseru riang. Ada beberapa juga yang tidak begitu antusias, tapi gue paham kok. Jam kerja kami dalam mendata penduduk memang cukup padat. Pasti ada juga anak-anak yang ingin menggunakan waktu luang mereka untuk beristirahat.
Setelah selesai makan, kami yang ingin ke sungai kunang-kunang langsung bersiap-siap dan tetap berkumpul di aula. Anehnya, gue melihat Nash ikut menunggu.
Gue datangi anak itu sambil bertanya penasaran, "Lo ikut?"
Nash itu profesional. Dia jarang mengeluh saat bertugas keliling rumah penduduk. Tapi saat sudah sampai sekolah, mager-nya pun kumat. Badannya kayak ada magnetnya, nempel aja di sekolah.
"Yuli, Risa, sama Lila maksa ikut," gerutu Nash. Gue terkekeh. Terpaksa ikut toh.
"Di sana pasti fun kok. Nggak pernah kan lo lihat sungai langsung?" tebak gue asal. Nash menghela napas.
"Ya tapi jalan ke sananya males banget," jawabnya.
Gue menoyor si pemalas itu kuat-kuat, "Kalau males jalan, lompat aja!"
Perempuan itu tertawa, memperlihatkan gigi susunya yang besar. Segera gue alihkan pandangan gue. Tahu-tahu muka gue terasa panas dan tenggorokan gue seperti kebas. Satu kata yang tidak seharusnya ada muncul besar-besar di kepala.
Manis.
Entah sejak kapan gue merasa Nash semanis ini.
***
[Saat Ini]
"Iya nih, gue udah sampai."
"Bagus! Mumpung lagi free emang mending liburan aja lo, Man! Sayang, sini dong ... kok jadi aku yang ngomong sama Asman?"
"Iya sebentar, gorengannya diangkat dulu."
"Belum mateng ituuu, udah sini tukeran biar aku yang urus gorengannya!"
Aku hanya bisa tertawa mendengar perdebatan menggemaskan suami-istri tersebut dari telepon. Henry dan Prisil, pasangan sejak kuliah yang tak pernah kehabisan chemistry. Aku berharap mereka terus begini, tidak berakhir sepertiku dan Riska.
Tidak boleh ada orang sekitarku yang merasakan kesialan yang sama dengan yang kurasakan.
"Yo, Man! Semoga bisa enjoy di sana ya ...." Akhirnya suara Henry muncul dan menyapaku.
"Ry, thanks banget ya. Gue nggak ngerti lagi deh ini mau gimana lagi say thanks-nya." Entah sejak kapan aku jadi begitu rendah diri di hadapan Henry. Dari dulu kami selalu bersama-sama. Sejak kuliah, kami sudah menongkrong bersama, mengerjakan skripsi bersama, sampai cari kerja pun sama-sama.
Makin lama, Henry semakin sukses, semakin memiliki hidup yang stabil. Sedangkan hidupku makin terombang-ambing.
"Ah elah! Kayak sama siapa aja sih lo?! Lagian, gue ama Prisil juga harus makasih sama lo. Seenggaknya bookingan kita nggak hangus."
"Tapi kan lo jadinya rugi setengah harga ngejual ke gue."
"Ya daripada rugi total? Lagian, you need it," Henry memberi jeda sejenak dalam kalimatnya sebelum kembali bicara dalam suara yang lebih kecil, "Semoga cukup buat lupain si Nash."
Aku kembali berterima kasih dan pamit. Meskipun hidup kami terlihat begitu timpang, baik dirinya maupun Prisil tidak berhenti berada di sisiku dan mendukung dengan tulus. Mungkin hatiku habis diobrak-abrik Riska, tapi aku masih bersyukur dapat mencicipi keberuntungan dalam bentuk persahabatan dengan pasangan yang kompak ini.
Aku merebahkan diri di atas kasur. Perjalanan ke Desa Wisata ini begitu melelahkan, tapi semua seperti terbayar saat aku melihat pemandangan hijau dan asri di mana-mana. Pelayanannya sangat baik, mirip hotel bintang lima. Kamarnya pun bersih, wangi, dan sangat nyaman. Semua kombinasi luar biasa ini membuatku merasa bahwa liburan ini adalah pilihan yang tepat untuk menyegarkan pikiran yang sudah penat.
Henry memang paling tahu. Mungkin dia risih melihatku yang masih suka termangu sendiri saat beberapa kali kami bertemu. Dengan begitu saja, dia seolah paham bahwa aku masih memikirkan Nash meskipun sudah lewat tiga bulan sejak aku dan perempuan itu terakhir bertemu. Bahkan sampai detik ini perpisahan itu masih terasa mengganjal. Dia tak pernah menghubungiku lagi setelah aku beberapa kali mengabaikan chat-nya.
Aku sendiri bagai tersiksa siang dan malam. Luka dari perceraianku saja belum sembuh benar, kini aku merasa seperti kembali patah hati. Kenapa juga sih rasa ini harus berlabuh pada perempuan bersuami?
"Bangun, Man!" Aku mendorong diriku dan melihat ke jendela. Kuangkat paksa senyumku dan kugerakkan kaki ke luar. Segar. Meskipun buatan, tapi penginapan ala Desa ini bagus sekali. Selain nyaman, sepi, jaraknya juga dekat dengan danau yang terasa magis sekali. Konsep penginapan ini memang seperti pondok-pondok tepi danau, tapi antara satu pondok dengan pondok lainnya jaraknya cukup jauh sehingga tiap penyewa pondok dapat memiliki privasi tersendiri.
Aku melangkah penuh semangat setelah mengenakan sandal. Tujuanku tentu saja danau di depan mata. Setelah sampai, aku duduk di tepi danau yang cukup sepi itu, memasukkan kaki ke dalam danau, lalu melihat sekeliling. Seketika aku merasa bisa bernapas kembali. Kuangkat kepalaku dan kuhirup udara di sekitar lewat hidung sebanyak-banyaknya.
Pada akhirnya, semua akan baik-baik saja, Man ... Kamu hanya butuh untuk terus bertahan. Terus berjalan.
Bruk!
Anganku pecah saat merasakan seseorang menubruk bahuku, Segera kubuka mata. Seorang anak laki-laki menatapku ngeri. Aku balik menatapnya sambil menghela napas.
"Kok sendirian aja? Orang tuanya mana?" tanyaku. Mungkin dia anak dari pondok tetangga.
"Ini lagi dicari," jawab anak itu.
"Lagi dicari?" Aku mengerutkan dahi sambil mengangkat kakiku dari danau. Jawabannya lucu juga.
Anak itu mengangguk, "Mama hilang."
Aku tertawa mendengarnya, "Makanya lain kali Mamanya dipegang. Susah carinya kalau di tempat yang jauh dari rumah kan?"
"Iya, Randu juga bingung nih jadinya. Mau cari Mama ke mana ya?" Oh, namanya Randu. Lucu sekali wajah bingungnya, mengingatkanku pada seseorang.
Tapi siapa ya?
"Mau saya bantu?" tanyaku. Anak itu langsung memelotot dan mundur, menjauh dariku.
"Tapi Randu jangan diculik!" serunya. Aku kembali terbahak. Wah, anak ini minta ditoyor. Masa' ganteng begini disangka penculik?
"Duh, nggak saya culik deh. Saya malas kasih makan kamu nanti," kataku ringan.
"Bagus tuh! Randu makannya banyak loh!"
Lagi-lagi aku tertawa. Ah, anak-anak dengan segala kepolosannya ... selalu menyegarkan hari sepenat apapun. Seandainya aku dan Riska memiliki anak, mungkin nasib kami tidak akan begini ya?
"Randu!" Seruan itu muncul dari belakangku. Belum sempat aku berbalik, seseorang melewatiku dan memeluk anak kecil bernama Randu itu.
Suaranya ... suaranya sangat familiar.
"Mama!" Randu memeluk perempuan yang baru saja memeluknya erat. Aku berdiri kaku sambil menatap punggung perempuan itu dengan rasa tak percaya. Dadaku ngilu sampai aku sulit bernapas lagi. Apa-apaan ini?
"Randu, Mama bilang apa?! Kalau mau ke mana-mana, pegang tangan Mama dong biar nggak hilang!"
Randu tertawa, lalu menunjukku, "Om ini tadi juga bilangnya sama."
Perempuan itu berbalik, lalu memandangku terkejut. Ia segera berdiri dan berkata sambil terus menatapku tak percaya, "Asman?!"
"Hai, Nash," sapaku sambil menahan semua getaran hebat di sekujur tubuh. Kenapa kami bertemu kembali? Apa jiwaku yang sudah babak belur ini masih butuh ujian lagi?
***
Move on? Tidak semudah itu, Tuan ....
Sampai jumpa di bab selanjutnya ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top