1. Senyuman Mengagumkan

Apapun kata dunia, bagiku selingkuhan ibarat nila setitik yang merusak sebelanga rumah tangga. Seperti hal-nya rumah tanggaku. Porak poranda karena satu selingkuhan. Tentu saja pendapat itu tak berlaku bagi Riska dan selingkuhannya. Mungkin bagi mereka yang kini akhirnya menikah dan berbahagia, selingkuhan adalah jodoh yang tertunda. Mana peduli mereka terhadapku, si mantan suami yang tersingkirkan. Lima belas tahun hubungan dihancurkan sampai tak bersisa. Seolah keberadaanku tidak punya harga.

Kulirik sekilas jam tanganku. Sudah lewat tiga puluh menit aku berada di tempat ini. Tiga puluh menit menerima tatapan iba teman-teman masa kuliah sepanjang acara. Tiga puluh menit juga aku bersembunyi di balik senyum yang sudah semakin terasa asam. Reuni sialan. Seandainya aku tidak kepepet karena sedang butuh tambahan uang, tidak akan kuterima proyek bunuh diri dari departemen ini. Untung saja aku tidak disuruh mengurusi reuni siang tadi juga.

Tidak ada yang bisa membuat aku menikmati pekerjaan malam ini, tapi apa peduli orang-orang?

"Mojok aja sih, Bro!" Sebuah tepukan keras mendarat di punggungku. Meskipun bekas tepukan itu terasa panas, aku bahkan tak bersemangat untuk menepis ataupun mengaduh. Pasrah saja kuterima tepukan Henry yang diberikan untuk memberiku semangat buat menjalani malam berat ini.

"Menguatkan hati, Bro," kujawab sahabatku itu dengan lemah.

"Udah dibelasungkawain berapa dosen lo?" tanya makhluk menyebalkan bermata empat ini.

Aku terbahak mendengar pertanyaan Henry, "Baru lima. Sialan lo emang."

"Yah, susah juga sih. Dosen lo kan dosen Riska juga. Sedangkan tadi siang dia ngajak suami barunya." Henry yang sudah berdiri di sebelahku ikut bersandar di tembok luar ruangan auditorium.

Saat ini, di dalam ruangan yang berada tepat di depan kami, berlangsung sebuah acara reuni besar jurusan komunikasi Universitas Bimasakti. Almamaterku. Tempatku kuliah lima belas tahun lalu, sekaligus tempat aku bertemu mantan istri untuk pertama kali.

"Udahlah, nggak usah ngebahas dia," sanggahku dengan cepat. Asli, malas sekali rasanya membahas mantan istriku itu. Setahun setelah cerai, dia bukannya bertobat malah menikah dengan selingkuhannya.

Atau mungkin aku ya yang harus tobat? Mungkin dosaku sudah terlalu banyak sampai diazab seperti ini oleh Tuhan. Berpacaran sepuluh tahun, eh, usia pernikahannya hanya dua tahun. Seperti investasi susut saja itu!

"Gue tahu lo masih bete soal Riska, tapi suasana di dalem agak garing nih. Bantuin dong. Masih banyak yang kaku di acara ini," Henry sahabat sejak hari pertama masuk kelas sebagai mahasiswa baru, menepuk bahuku.

"Iyaaa ...." aku melangkah malas sambil melihat sekeliling. Bertahun-tahun menjadi anak event membuat instingku untuk meramaikan acara seperti ini menjadi semakin tajam. Perlahan, aku maju ke beberapa lingkaran dalam acara reuni ini. Mengobrol-obrol santai, mengajak anak-anak dari berbagai angkatan makan, bahkan menciptakan keramaian dengan memprovokasi para tamu untuk berebutan menyumbang lagu dengan para dosen.

Setelah beberapa saat, perasaanku menjadi cukup baik. Lumayan juga sih dapat job mengurusi reuni jurusan ini. Selain bisa refreshing sambil bertukar kabar dengan anak-anak yang sudah lama tidak bertemu, aku juga bisa dapat tambahan buat bulan ini. Lumayan, uang listrik dan makan bulan ini aman.

"Eh, sorry." Aduh, gawat. Aku terlalu banyak berpikir sendiri, sampe tidak melihat ada yang berdiri di depanku. Lagipula dia badannya kecil sekali sih, makanya benar-benar luput dari mataku.

"Hehe, nggak apa-apa, Kak." Suara tawa yang kikuk itu terdengar sangat familiar di telingaku. Sangat ... ngangenin? Kangen mungkin bukan kata yang tepat untuk menggambarkan perasaanku, tapi rasanya memang seperti lega setelah sekian lama tak dengar suara itu lagi. Kulihat siapa yang baru saja aku tabrak. Perempuan. Aku tahu dia. Si partner in crime saat turun lapangan pengabdian masyarakat. Junior dua tingkatku.

"Nash? Nashila kan?" tanyaku memastikan. Dia menyeringai lebar, memperlihatkan gigi susunya yang seperti kelinci lucu.

"Iya, Kak. Masih inget toh ...," katanya sambil membenarkan letak kacamata berbingkai bulat yang sedang dia kenakan. Alih-alih terlihat seperti kutu buku, Nash malah makin kelihatan seperti kelinci dengan kacamata yang membuat matanya seolah besar itu. Rambut hitamnya yang berombak terjuntai sampai di atas dada, terlihat seperti telinga kelinci yang sedang jatuh. Baik dulu maupun sekarang, melihat anak ini selalu membuatku teringat pada kelinci.

"Ingetlah! Apa kabar lo ...." Aku menyalaminya dengan penuh semangar. Semoga dia cuma anggap aku senior sok akrab alih-alih pria mengerikan.

"Baik, Kak, baik." Dia menyambut tanganku dengan senang hati. Tampaknya imejku masih bagus di matanya.

"Ke sini sama siapa?" Aku mencoba melanjutkan percakapan kami. Dia terlihat sendirian. Kuperhatikan, teman-teman angkatannya memang belum ada yang datang.

"Sendiri, Kak."

"Loh, suaminya mana?" Iya. Dia sudah punya suami. Biarpun lebih muda dan lebih lama jomlo, dia lebih dulu menikah daripada gue. Kami sempat putus kontak karena semakin tua, lingkaran pertemananku memang menyusut. Sepertinya sejak lima tahun lalu aku tak lagi tahu menahu tentang kabar dia. Dia pun begitu. Mungkin itu sebabnya tadi dia berpikir bahwa aku sudah melupakannya dia. Padahal mana mungkin aku bisa lupa sama kamu, Nash?

"Nggak bisa hadir." Eh? Oh ... dia jawab soal suaminya ya?

"Oh ...." Aku mengangguk paham. Jika jadi suaminya, aku juga malas sih ikut acara reuni istri seperti ini. Dulu saja Riska harus memaksaku sekuat jiwa raga untuk ikut reuni sekolahnya.

Brightside nih, Man. Tidak perlu lagi ikut-ikut reuni SMP dan SMA Riska yang anak-anaknya hobi menanyakan pekerjaan itu. Bagi mereka, pekerjaanku hanya dianggap hobi yang tidak menghasilkan. Padahal dari pekerjaan itu, aku kini memiliki apartemen studio di kawasan strategis di Jakarta dan sebuah mobil.

Tentu saja aku tidak mengumbar itu semua. Kubiarkan mereka meremehkanku karena aku malas berurusan dengan orang asing yang dengan mudahnya menghakimi. Riska selalu membenci diamnya aku. Dia ingin aku dapat lebih membela diri dan memamerkan apa yang kupunya agar tak membuatnya malu. Yah, setidaknya dia sekarang tidak perlu malu karena sudah memiliki rumah dengan si suami baru.

"Kalau istrinya Kak Asman?" Ya ampun, Nash. Aku memang sedang sibuk memikirkannya sejak tadi di kepala, tapi bukan berarti aku berkenan membicarakannya.

"Sudah pisah dari setahun lalu," dan sekarang baru nikah sama cowok lain. Ah! Paling malas deh kalau dia juga sampai melihatku dengan muka kasihan.

"Ya ampun, Maaf, Kak! Aku nggak tahu," Nashila membalas ucapanku dengan wajah panik. Berbeda dengan ekspresi orang-orang yang langsung sedih, mata Nash terbelalak dan telapak tangannya bergoyang cepat seperti anak kecil ketahuan ngambil kerupuk di toko tetangga. Kok ... anak ini masih saja menggemaskan ya?

"Iya, ketinggalan berita lo. Jarang update sih di grup alumni jurusan." Melihat dia merasa bersalah, aku malah memutuskan untuk menjaili dia dan membuatnya tambah merasa bersalah.

"Lah, emang kabar pisahnya masuk grup?"

"Tuh, si Henry, bikin pengumuman berita duka. Emang sialan tuh anak," ujarku. Nash tertawa, tawa yang menyegarkan malam gue seketika.

"Aku dulu males kuliah, Kak, jadi nggak akrab sama anak-anak jurusan. Nggak enak kalau mau sok akrab."

"Nggak sok akrab laaah, kita aja pernah nginep bareng rame-rame kan? Jangan suka ngerasa asing sama saudara-saudara sendiri."

"Ngomong-ngomong, istrinya Kak Asman itu anak kom juga kan ya kalau nggak salah?"

"Mantan, Nash. Alhamdulillah dia anak D3 kom. Beda jalur sama kita, jadi nggak ikutan acara ini."

"Anak D3, sama dong departemennya?"

"Beda lah. Dia departemen D3, kita S1."

"Dosen-dosennya kan sama?"

"Ya makanya lo nggak lihat dari tadi dosen-dosen ngucapin turut berduka cita ke gue." Dengan berita dari Henry dan pameran suami baru dari Riska siang tadi, ucapan belasungkawa yang aku maksud memang bukan kiasan. Para dosen kenalanku benar-benar menepuk bahuku prihatin sambil berkata, "Turut berduka cita ya, Man. Semoga senantiasa diberi kekuatan untuk menghadapi ini semua."

Status boleh dosen, tapi perilaku nggak kalah gesrek sama mantan mahasiswanya.

"Ya ampun, gara-gara kabar Kak Henry di grup?!" Suasana saat itu terasa menyenangkan. Bahuku yang biasanya berat pun sekarang menjadi ringan. Hal itu membuatku memutuskan untuk menyembunyikan fakta bahwa mereka lebih merasa berbelasungkawa setelah melihat Riska bahagia bersama suami barunya.

"Iyalah. Emang kurang ajar tuh anak satu," jawabku santai. Entahlah, rasanya aneh mengakui kalau Riska sudah punya pendamping lain dan dia perkenalkan dengan bangga ke seluruh dosen.

Jeda di antara aku dan Nashila setelah dia tertawa membuatku sibuk mencari topik baru. Dari dulu dia selalu gini, seru tapi malas berinisiatif untuk membuka obrolan. Anehnya, aku selalu suka mengobrol dengannya. Aku seperti tak pernah bosan untuk bercakap-cakap tentang apa saja dengan perempuan ini. Tidak dulu, tidak sekarang, dia dan kecanggungannya selalu menarik untuk ditelisik.

"Lo sekarang sibuk apa Nash?"

"Hm ... gue lagi sibuk nulis aja, Kak." Bagus, sudah mulai lo-gue-an. Berarti dia sudah santai mengobrol denganku.

"Nulis artikel?"

Nash menggeleng, "Nulis novel."

"Serius? Lo bisa nulis novel?" Aku terbelalak. Wow, aku tidak menyangka bahwa itu menjadi profesi Nash sekarang.

Masalahnya dulu dia itu sangat malas. Hobinya tidur dan melamun, entah apa yang ada di pikirannya. Membayangkan anak seperti itu menghabiskan waktunya untuk menulis satu buku novel membuatku menjadi tertarik untuk mengetahui ceritanya lebih lanjut.

"Iya. Eh, tapi lo jangan mikir kayak novel-novel di toko buku gitu ya."

"Lah, terus novel-novel di mana?"

Nashila terkekeh, "Anak indie gue, Kak. Biasanya gue pakai sistem PO, yang dicetak sesuai pesanan."

"Oh ... emang kalau di toko buku sistemnya gimana?" tanyaku bingung. Jujur, aku belum begitu paham sistem penjualan buku yang ada karena tidak memperhatikan.

"Sistemnya ready stock. Mereka biasanya cetak ribuan, terus dipajang di toko."

"Oh, yaa yaa, tapi tetep keren loh!"

"Ah, nggak lah. Lo tuh keren. Masih jadi EO kan ya?"

"Iya. Reuni ini aja kan gue yang urusin."

Nashila mengangguk sambil melihat suasana sekitar yang sudah cukup hidup, "Gue tuh nggak bisa loh ngurus-ngurusin acara gini."

"Ya tinggal diurusin, Nash."

"Nggak kebayang, Kak. Nggak ngerti gue caranya. Gimana mau ngurusin, ikutan acara ngumpul gini aja jarang."

"Kenapa?"

"Hm ... dulu sih males, Kak. Sekarang bingung, karena nggak biasa."

"Oooh ...." Duh, mau ngomongin apa lagi ya?

"Padahal gue lagi nulis cerita tentang anak band gitu deh, Kak. Cuma nggak gereget banget pas bagian manggung atau pas main di event-event gitu." Pucuk dicinta ulam pun tiba. Mungkin dia sudah nyaman ya mengobrol denganku, makanya mulai lancar mengobrolnya.

"Mau gue bantuin?" Aku tak tahu kenapa bisa begitu berani mencetuskan tawaran ini. Aku hanya terpikirkan sebuah ide dan ingin menolong dia.

"Bantuin?"

"Riset ke festival musik sama tempat manggung anak band."

"Lo bisa, Kak?"

"Bisa. Kan gue sering ngurusin acara musik."

"Ah, serius?! Thanks banget ya, Kak."

Aku menghadap ke arah perempuan itu dan menaikkan telunjukku, "Tapi ada satu syarat."

"Syarat?" Nashila memiringkan kepalanya sambil memasang wajah bingung, sebuah gestur yang membuatku mati-matian menahan diri untuk mencubit pipinya.

"Panggil gue Asman aja, jangan pakai 'Kak' lagi."

Setelah itu, Nashila tersenyum. Senyuman yang membuatku seperti memasuki lorong waktu dan kembali ke 13 tahun yang lalu. Sepertinya baik dulu maupun sekarang, aku tidak bisa melihat senyum itu tanpa rasa kagum yang berlebihan di dada.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top