Epilog

Kedua sudut bibir Tuan Park terangkat sempurna, mencetak kerutan yang kentara di wajah tua lelahnya. Matanya berkaca-kaca ketika tangan Yoori menggeser foto yang menampakkan gambar Seonil memakai baju wisuda. Terlihat jelas rona bahagia Tuan Park dari balik sekat kaca itu. Seharusnya dia bisa menikmati kebahagiaan ini di luar sana, bukan di balik jeruji besi. Kalau saja dia tidak selalu berprasangka buruk kepada istrinya, mungkin dia bisa tertawa bahagia dengan kedua anaknya.

"Sampaikan salamku kepada Seonil. Ayah berharap suatu saat dia mau melihat dan berbincang dengan orang tua ini."

Yoori tersenyum lembut. "Aku yakin kalau Kakak akan mengunjungi Ayah suatu saat."

Mata Tuan Park berpindah menatap Hyun-Ki. "Kau, kapan kau selesaikan pendidikanmu?"

Hyun-Ki tersenyum lebar hingga menunjukkan deretan gigi. "Iya, Aboeji." Yoori menyenggol ulu hati Hyun-Ki. Dengan sebuah senyuman lebar, Hyun-Ki merogoh saku celana, mengeluarkan kotak kecil transparan terbuat dari kristal. Mata Yoori terbelalak saat melihat isi kota itu, meskipun belum dibuka. Hyun-Ki membuka perlahan kotak itu. "Aboeji, izinkan aku menikahi Han Yoori."

Tuan Park berdecih, membuang muka. "Aku tidak sudi kau menjadi anakku."

Yoori menatap ayahnya dengan pandangan nanar tanpa berucap. Tuan Park menatap lembut putri tercintanya.

"Aku lebih senang kau menjadi menantuku."

"Jinjja?"

"Tapi." Wajah Hyun-Ki kembali tegang. "Selesaikan dulu pendidikanmu."

Hyun-Ki menegapkan tubuh lalu membungkuk dalam-dalam. "Gomapseumnida."

Setelah peristiwa itu, Tuan Park berada di penjara karena tuntutan yang diberikan oleh Seonil. Namun, sebelum Tuan Park masuk ke dalam penjara, dia sempat bertemu dengan istri tercintanya. Pertemuan singkat Tuan Park dengan Nyonya Im menyisakan kepedihan yang mendalam, karena tepat setelah Tuan Park mengecup kening istrinya. Nyonya Im berpulang dengan tenang. Meninggalkan kerinduan dan rasa perih yang mendalam bagi Seonil. Rindu yang ia pendam selama bertahun-tahun akan tetap menjadi sebuah rindu yang sialan bagi Seonil, tidak bisa menyentuh, tidak bisa berbincang.

Dari luar gedung yang menyimpan tawanan nara pidana itu, Seonil tengah berdiri menunggu Yoori dan Hyun-Ki yang masih berada di dalam. Berdiri di samping mobil dengan jas hitam gaya orang kantoran dan kacamata hitam yang menutup sempurna mata cokelatnya. Dia melihat Yoori dan Hyun-Ki keluar dari gedung itu dengan wajah sumringah. Apa saja yang mereka bicarakan di dalam?

"Ayah titip salam untuk Kakak."

Seonil hanya mengangguk tanpa menjawab, dia terlalu enggan.

"Oh iya, bisa antarkan kami ke rumah abu?"

Ujung alis Seonil tertaut. "Bukankah kemarin kau dari sana?"

Hyun-Ki menepuk pelan pundak Seonil, melingkarkan tangannya di pundak itu. "Aku meminta izin kepada Ibu Mertua."

Sontak Seonil membuka kacamata hitamnya, matanya yang terbelalak terlihat jelas. "Kau?"

Yoori menunjukkan jari manis yang dihiasi sebuah cincin.

"Omo!" Dia menarik tangan Yoori, kemudian menatap Hyun-Ki. "Jadi kalian merundingkan hal ini dengan dia?" Hyun-Ki mengangguk. Seonil menarik napas dalam-dalam. "Kau belum mendapat izin dari kakaknya." Dia langsung membuka pintu mobil dan masuk ke dalam.

"Ya!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top