Chapter 3

Celaka!

Yoori baru ingat kalau besok ada tugas yang harus dipresentasikan di hadapan guru dan teman-teman sekelas. Lebih parahnya lagi, tugas yang telah ia selesaikan tersimpan rapi di dalam laptop tanpa adanya file cadangan. Benar-benar sebuah musibah luar biasa yang terjadi hari ini. Mau tidak mau dia harus menyelesaikan tugas itu malam ini juga, tetapi bagaimana caranya? Dia harus memikirkan cara untuk menyelesaikan tugasnya, agar tahun depan dia bisa menduduki peringkat satu dalam beasiswa—itu berarti dia mendapat beasiswa penuh. Karena mengumpulkan jutaan won itu membutuhkan tenggat waktu tiga tahun lebih. Penghasilan dari pesanan kue beras dan pekerjaan sampingan tak sanggup mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat.

Selain bekerja paruh waktu, Yoori menerima pesanan kue beras dari teman-teman satu universitas dan orang-orang yang mengenalnya. Banyak orang yang suka dengan kue beras buatannya. Menurut mereka, kue beras buatan Yoori begitu lezat dan terasa homey. Terkadang dalam sehari dia bisa menerima pesanan tiga puluh boks kue beras, dan kalau sedang sepi-sepinya, dia menerima pesanan minimal sepuluh boks sehari. Penjualan kue beras Yoori cukup laku sehingga bisa sedikit membantu keuangannya.

Jemari Yoori menjentik ketika mengingat satu nama yang bisa membantunya. Namun, harapan itu pupus saat mengingat perkataan Han Hyojoo—sahabat karibnya—tadi siang. Sahabatnya itu akan mengerjakan tugas malam ini. Tubuh Yoori lemas saat tidak ada satu peluang pun untuk mengerjakan tugasnya kembali

Otaknya mulai berputar untuk mencari jalan lain selain meminta bantuan Hyojoo. Lalu, sebuah bohlam menyala terang di dalam otaknya. Komputer kampus. Ya ... dia bisa meminta bantuan secara diam-diam kepada petugas keamanan di sana, seperti tempo hari. Yoori langsung memasukkan buku-buku yang akan ia butuhkan untuk mengerjakan tugas, kemudian meraih dompet yang tergeletak di atas lantai. Triple celaka! Uangnya tidak cukup digunakan untuk naik bus.

Tubuh Yoori terduduk lemas di atas lantai, wajahnya kusut dan air mata menggantung di pelupuk mata. Kenapa dia begitu sial hari ini? Matanya menerawang melihat langit-langit kamar yang berwarna putih kusam. Apa yang harus ia lakukan? Jalan kaki? Ah ... Yoori rasa hal itu yang harus ia lakukan. Tidak apa kalau kakinya akan patah-patah, yang penting tugasnya selesai dan dia bisa mendapat beasiswa penuh dengan mendapat nilai sempurna.

************

Setelah menempuh jarak puluhan kilometer, melewati jalan tanjakan dan menurun, tepat pukul delapan malam, Yoori tiba di kampus. Napasnya terengah, dahinya basah begitu juga dengan baju yang tertutup jaket. Pengorbanan luar biasa untuk sebuah nilai yang sempurna! Dia menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah menuju ruang petugas keamanan.

Dari luar ruangan petugas keamanan, terdengar musik yang mengalun lembut disertai dengan bau kopi yang menguar hingga menyentil indra penciuman Yoori. Dua petugas tengah berbincang, salah satu dari mereka sedang memperhatikan layar CCTV. Satu petugas bertubuh gemuk langsung bangkit ketika melihat Yoori di layar CCTV. Yoori terperangah melihat petugas keamanan berjalan ke luar dan menghampirinya.

"Annyeong haseyo Ajjussi." Yoori tersenyum lebar menunjukkan deretan giginya.

Pria berseragam serba hitam itu melepas topi. "Ada apa Han Yoori?" Pria itu langsung bertanya ke inti permasalahan. Dia cukup tahu kalau Yoori pasti membutuhkan bantuan, mengingat Yoori jarang sekali ke sini pada malam hari. Paling-paling, Yoori ke sini hanya untuk memberikan sisa kue beras buatannya untuk dimakan para petugas keamanan.

"Ng ... saya mau minta tolong." Yoori menyelipkan anak rambut yang mengganggu pandangan.

"Untuk?"

"M ... begini Ajjussi, saya ... membutuhkan ruang komputer." Yoori menggigit lidah, memilih tidak melanjutkan perkataan. Dia yakin kalau Ajjussi ini mengetahui alasannya.

"Laptopmu rusak lagi?"

Yoori ingin sekali mengatakan kalau laptopnya telah dibawa pergi oleh kakaknya, tetapi dia terlalu malas membahas hal pribadi dengan orang lain. "Iya."

Ajjussi itu mengangguk paham, "Ayo aku antar."

Sontak Yoori membungkukkan badannya berkali-kali. "Gomapseumnida, Ajjussi."

"Sudah-sudah, jangan seperti itu. Sebaiknya kita segera masuk sebelum banyak orang yang tahu. Kau tahu sendiri kalau ruang komputer hanya boleh digunakan sampai pukul lima sore."

"Ne."

Yoori berjalan mengekor di belakang petugas keamanan itu. Hampir seluruh petugas keamanan yang ada di universitas ini cukup dekat dengan Yoori, karena dia sering sekali memberi kelebihan kue beras yang dibuatnya semalam. Yoori hanya tidak mau kalau makanan itu berakhir di tong sampah, maka dari itu dia menyerahkan kue beras buatannya kepada petugas keamanan. Dari hal kecil itulah Yoori selalu mendapat bantuan dari petugas keamanan, salah satunya adalah hal ini.

"Ingat Han Yoori, jangan nyalakan lampu dan hidupkan satu komputer saja di ruangan ini."

Yoori mengangguk antusias kemudian membungkuk sekali lagi. "Gomapseumnida."

"Sudah-sudah. Aku pergi dulu. Hati-hati."

Setelah petugas itu menghilang dari pandangan, Yoori langsung masuk dan menutup pintu sepelan mungkin. Yoori duduk di meja komputer yang berada paling pojok sendiri, meletakkan tasnya sepelan mungkin dan mulai menyalakan komputer. Dia melakukan perintah Ajjussi dengan baik agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Dia mulai membuka-buka buku yang berukuran tebal miliknya. Mencoba mencari materi yang telah ia gunakan sebelumnya. Akan tetapi, semua seperti menguar begitu saja. Pikiran Yoori kosong, dia tidak tahu harus memulai tugasnya dari mana? Mulut Yoori menganga dan matanya hanya melihat lembar kosong di layar komputer.

"Oh tidak, aku harus memulai dari mana?"

Kini Yoori menggigit bibir bawah, tangannya mulai membalik-balik lembaran buku itu. Dia mulai merasakan pusing di kepala. "Ya Tuhan, bagaimana ini?" Tangannya beralih memijat pelipis mata. Hingga pada akhirnya mata Yoori merebak, mulai meratapi ketidakberuntungan yang selalu menimpanya.

Dia menggigit ujung lidah dan menatap langit-langit gelap ruangan untuk mencegah air mata yang mulai menerobos keluar. "Sampai kapan aku mengalami nasib buruk seperti ini?"

Tangisnya pecah seketika, merutuki Tuhan yang memperlakukan hidupnya dengan sangat tidak adil. Dia tidak pernah menjalani hidup normal seperti teman-temannya. Berbagai rintangan, nasib buruk dan hal-hal sulit selalu menghadang jalannya. Bahkan dia tidak sempat untuk beristirahat, meletakkan kepala sejenak untuk berkeluh kesah. Tidak, dia tidak pernah mendapat jeda seperti itu di dalam hidupnya.

"Kenapa ... kenapa?"

Tak jauh dari tempat Yoori duduk, berjarak tiga meja ke kanan dan lima meja ke depan, terdapat seorang pria yang tidurnya mulai terusik. Dengan mata yang sangat mengantuk, dia berusaha untuk mengangkat kepala, mengamati suara sayup-sayup yang mengusik ketenangannya. Dia mengacak frustrasi rambut cokelat emasnya, kenapa ada mahasiswa yang berani menyelinap ke sini? Setelah mengembalikan seluruh kesadaran, dia bangkit dari posisi untuk melihat sumber suara itu.

Tubuhnya tiba-tiba kaku ketika meliat seorang perempuan berambut sebahu duduk di pojok ruangan. Bukan karena menyangka kalau perempuan itu jelmaan hantu, melainkan perempuan itu adalah perempuan yang telah ia incar sejak tiga bulan yang lalu. Kenapa bisa sangat kebetulan seperti ini? Bukankah ini kesempatan yang harus ia ambil untuk menarik perhatian perempuan ini? Ya ... Seonil merasa kalau ini adalah kesempatannya.

Seonil sudah berdiri di hadapan Yoori yang sedang menangis sambil menutup wajah dengan telapak tangan. Seonil mulai menyodorkan sapu tangan biru muda miliknya tanpa mengeluarkan suara, sehingga Yoori sama sekali tidak merespons keberadaan Seonil. Tanpa banyak kata, Seonil menarik tangan Yoori yang menutupi wajah.

"Kyaaa!" Sontak Yoori berteriak dan mendorong tubuh Seonil hingga jatuh terduduk di atas lantai.

Seonil meraung kesakitan ketika pantat itu mencium lantai.

Mata Yoori mengerjap berkali- kali tanpa membantu Seonil yang mencoba bangkit dari posisi. "K-kau siapa? Kenapa kau bisa masuk ke sini? Bukankah aku sudah mengunci pintu ini dari dalam?"

Seonil membersihkan tangan dan juga celana. Dia kembali menyodorkan sapu tangan miliknya. "Hapus dulu air matamu."

"Apakah kau memiliki kepentingan yang sama denganku?"

Seonil mengembuskan napas kesal mendengar rentetan pertanyaan perempuan ini. Tanpa harus menjawab bombardir pertanyaan itu, Seonil langsung menempelkan sapu tangannya ke pipi Yoori yang basah oleh air mata.

Pupil mata Yoori terbelalak dan wajahnya memanas ketika sapu tangan itu mengelap lembut pipinya. "A-aku bisa melakukannya sendiri." Dia langsung merebut sapu tangan yang berada di genggaman Seonil.

Seonil tertawa kecil melihat Yoori mulai salah tingkah. Dia tidak menyangka kalau perempuan incarannya sangat cerewet, bukan seorang pendiam seperti yang ada di pikirannya.

"Anak sastra?" tanya Seonil dengan nada senormal mungkin, meskipun jantungnya sedang berpacu menuju arteri.

"Ne ...." Yoori terhenti sejenak sebelum meneruskan perkatannya, "dari mana kau tahu?"

Seonil mengedikkan dagu ke arah buku-buku Yoori yang berada di atas meja. "Ada tugas?" Yoori menjawab dengan anggukan kepala. "Kau butuh bantuan?"

Kali ini Yoori menggeleng. "Tidak, aku bisa mengerjakannya sendiri."

Seonil terkekeh. "Aku tahu kalau kau panik." Dia menggeser posisi Yoori hingga menyingkir ke meja sebelah. "Coba kulihat."

"Itu masih judulnya saja, lagi pula aku bisa mengerjakannya sendiri."

"Aku rasa ... aku bisa membantumu." Yoori hanya melongo melihat tingkah sok tahu pria ini. "Kenapa kau memandangku seperti itu?"

"Kau juga jurusan sastra?" Yoori merasa ragu karena dia tidak pernah melihat pria ini di jurusannya.

"Aku jurusan komunikasi."

"Apa? Tap ...."

Perkataan Yoori terputus karena mulutnya dicapit oleh ujung jari Seonil. "Bisakah kau diam dan percaya kepadaku?"

Dengan sangat terpaksa, Yoori menuruti permintaan pria yang baru dikenalnya ini. Dia memilih diam dan menyaksikan pria ini menyelesaikan tugasnya. Entah apa yang terjadi dan sihir apa yang dipakai pria yang baru dikenalnya ini, Yoori merasakan kagum yang luar biasa kepada pria ini. Wajah tampan dengan tahi lalat tipis di sisi sudut kiri mata pria ini membuat perut Yoori dikerumuni kupu-kupu. Belum lagi jemari yang dengan mantap berdansa di atas keyboard, menunjukkan bahwa pria ini mempunyai kecerdasan di atas rata-rata.

Tak terasa hampir satu setengah jam Yoori menatap pria ini tanpa berkedip dan tugas yang dikerjakan pria ini sudah memasuki tahap akhir. Setelah mengetik tanda titik untuk mengakhiri kalimat, Seonil menoleh ke arah Yoori yang memandangnya penuh dengan binar kekaguman. Dia memiringkan kepala, lalu tersenyum lebar. Yoori mengerjapkan mata berkali-kali untuk menyadarkan dirinya.

"Ah, m-maaf."

Seonil tertawa lebar kemudian merenggangkan tubuh dengan mengangkat kedua tangannya ke atas. "Aku tahu kalau aku ini tampan. Benar begitu?" Seonil mengedipkan sebelah mata, sedangkan Yoori mendesis menanggapinya. "Tugasmu sudah selesai. Aku mau pulang." Seonil mulai bangkit dari kursinya.

"Tunggu dulu."

"Ya? Jangan bilang kalau kau membutuhkan bantuanku lagi?"

Yoori menggeleng berkali-kali, lalu membungkukkan badannya dalam-dalam. "Gomapseumnida."

"Jangan seperti itu." Seonil mulai melangkah.

"Tunggu." Seonil memutar tubuh. "Bagaimana aku membalas kebaikan hatimu?"

Mata Seonil berputar ke atas. "Cukup cuci sapu tanganku." Yoori mengangguk paham, kemudian Seonil melangkah lagi.

"Tunggu."

Kali ini Seonil mengembuskan napas panjang dan memutar bola mata. "Apa lagi?"

"Boleh ... aku tahu namamu?"

"Park Seonil," jawabnya sambil mengedipkan sebelah mata sekali lagi.

Dahi Yoori berkerut setelah melihat sebelah mata Seonil berkedip kedua kalinya. "Apa kau punya kelainan?"

"Maksudnya?"

Yoori memegang satu sudut matanya. "Kenapa matamu selalu begini-begini?" Dia menirukan gerakan mata Seonil.

Tawa Seonil menderai, dia berbalik sambil melambaikan tangan tanpa menjawab pertanyaan Yoori.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top