Chapter 2
Rambut cokelat emas Park Seonil terlihat begitu berantakan, bibirnya meracau dengan ribuan makian terhadap seseorang. Dia bersumpah tidak akan membiarkan orang itu hidup tenang jika mengusiknya sekali lagi. Sudah bertahun-tahun lamanya bajingan tengik itu mengganggunya dengan seribu tingkah jahil. Di mana pun dia berada, orang itu selalu menguntit dan menghancurkan kesenangannya. Dia sendiri berusaha untuk diam dan tidak melakukan pembalasan agar orang itu merasa lelah dengan sendirinya. Namun, pemikirannya salah, orang itu semakin menjadi-jadi dengan ulahnya.
Kesabaran Soenil sudah di ujung batas ketika orang itu merusak benda mewah hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun. Pria itu telah membaret mobil yang baru ia beli, mobil dari hasil berbisnis kecil-kecilan miliknya. Warna abu-abu melingkar indah di setiap sisi mobil putihnya, terlihat seperti barang rongsokan, bukan barang mewah lagi. Sialan!
Kepalanya mendongak untuk menatap matahari siang yang bersinar cerah di musim panas. Awal semester yang diawali dengan kejadian buruk. Bukankah hari ini cerah? Tetapi kenapa berubah menjadi buruk seketika? Ya Tuhan, sampai kapan Hyun-Ki berbuat gila kepadanya? Beralih dari matahari dan langit biru yang cerah, dia menyapukan pandangan untuk melihat lapangan parkir kolam renang universitasnya, kemudian beralih ke gedung kolam renang yang tertutup kaca. Dia harus cepat-cepat pergi dari tempat ini sebelum amarahnya menjadi-jadi.
Ketika tangan itu akan membuka pintu mobil, sudut matanya menangkap satu sosok yang akhir-akhir ini mengganggu pikirannya. Dari tempatnya berdiri, dia terpaku menatap seorang perempuan yang baru saja keluar dari kolam renang indoor. Jika dilihat dari seragamnya; sepertinya perempuan itu bekerja sebagai petugas kebersihan di tempat ini, dan dilihat dari rambutnya, sepertinya perempuan itu habis berenang. Akan tetapi, tunggu dulu, kenapa baju dan celananya juga basah? Dahi Seonil berkerut dalam: Apakah perempuan ini tercebur di kolam?
Merasa penasaran, dia mengikuti langkah perempuan itu dalam diam dan dengan jarak yang begitu jauh. Meskipun jauh, dia masih bisa melihat mata bulat dan lesung pipi ketika bibir perempuan itu mencebik. Dia tersenyum tipis ketika mengetahui mimik kesal dari perempuan itu, pasti perempuan itu telah mengalami hal buruk.
Hah ... seandainya dia memberanikan diri untuk dekat dengannya, pasti dia akan berusaha menghibur perempuan pujaan hatinya itu. Namun, dia tidak akan berani. Bukan karena dia penakut atau minder, tetapi demi keselamatan perempuan ini. Seonil tidak mau kalau perempuan ini mendapat bencana jika berdekatan dengannya.
Langkah Seonil terhenti ketika di depannya terdapat pagar pembatas antara tempat parkir dengan jalan utama kampus. Dia berdiri tepat di belakang pagar pembatas dengan pandangan sayu, seolah-olah berat untuk melepas kepergian perempuan itu dari pandangannya. Sebuah embusan napas panjang mencuat dari diri Seonil; mungkin inilah caranya untuk melindungi perempuan ini dari tangan sang ayah yang bertangan dingin, pimpinan utama Universitas Yonsei.
**********
Desing pintu bus berbunyi ketika tiba di tempat pemberhentian, perlahan pintu bus itu terbuka secara otomatis. Bus itu siap menaik-turunkan penumpang. Rambut pendek sebahu Yoori melambai-lambai mengikuti angin yang berembus ketika dia turun dari bus. Dia menyilangkan tangan untuk menahan dingin—akhir Agustus dan sebentar lagi musim gugur akan datang. Meskipun langit cerah dan matahari bersinar terang, tetapi tetap saja terasa dingin ketika udara berembus.
Dengan langkah gontai, Yoori berjalan menyusuri gang kecil dan menanjak yang berada di sebelah kiri halte bus. Sepatunya yang masih basah menapaki perlahan jalanan menuju tempat tinggalnya. Wajahnya terlihat lesu saat memikirkan kejadian buruk yang baru saja menimpanya, phobia itu selalu datang dengan senang hati. Apa dia harus berhenti dari pekerjaan ini? Tidak, dia tidak akan melepas pekerjaan ini, karena gaji yang diberikan bisa digunakan untuk membeli obat-obatan ibunya.
Ibu Yoori sedang mengidap kanker rahim. Setiap hari, ibunya mengonsumsi obat-obatan yang harganya sangat fantastis. Secara tidak langsung dia menjadi tulang punggung keluarga; mencari penghasilan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, biaya kuliah dan membeli obat-obatan ibunya. Dia tidak punya uang untuk membawa ibunya berobat secara rutin, karena hanya untuk makan dan biaya kuliah sudah membuatnya keteteran dalam mengumpulkan puluhan ribu won. Dan meskipun dia mendapat beasiswa, dia tetap harus membayar separuh uang kuliah karena beasiswa hanya menanggung separuhnya saja.
Terkadang dia berpikir untuk berhenti kuliah dan fokus dengan kesehatan ibunya. Akan tetapi, ibunya menolak mentah-mentah, menyuruhnya untuk melanjutkan kuliah. Ibunya ingin melihat dia diwisuda dan menjadi wanita karier yang hebat. Mau tidak mau, dia harus menuruti permintaan ibunya.
Setelah melewati belokan yang menanjak, dari kejauhan dia melihat kasur lipat, selimut, bantal, dan baju-baju milik ibunya berserakan di halaman depan rumah. Ujung alisnya tertukik ketika melihat pemandangan aneh itu. Apakah pemilik rumah sewa mengusirnya? Padahal dia tidak pernah membayar telat untuk biaya sewa, lalu sebuah spekulasi kedua muncul: kakaknya.
Yoori menarik napas dalam-dalam, mengeratkan genggaman di tali ransel kemudian berjalan mendekati rumahnya. Dia yakin kalau ini adalah ulah kakaknya.
"Kakak!" pekik Yoori tepat setelah dia berdiri di depan gerbang pintu.
Dia melihat kakaknya berdiri di halaman yang hanya berjarak satu meter dari pintu rumah ke gerbang pintu depan. Kakaknya yang memakai jaket kulit hitam, celana sobek-sobek, rambut berantakan dan telinga penuh dengan lubang anting, memutar tubuh untuk menghadapnya.
Pria itu meludah, "Cih, dasar pembunuh!"
"Yooji, jaga mulutmu!" sergah Im Yumna—ibu Yoori—yang terduduk lemas di lantai depan rumah. Rambut wanita itu berantakan dan sudut bibirnya mengeluarkan darah.
Yooji terbahak mendengarnya, dia geli ketika sang ibu membela seorang pembunuh seperti Yoori. "Aku membutuhkan uang." Dia memasukkan kesepuluh jarinya ke dalam kantong celana.
Yoori melangkah masuk setelah memunguti barang-barang yang dibuang kakaknya. Dia menyenggol pundak Yooji ketika berjalan melewatinya. "Aku tidak punya uang!" Dia tak kalah sengit. "Sebaiknya Kakak pergi!" Yoori mengacungkan jari telunjuk ke arah pintu keluar.
Rahang Yooji mengeras lalu menyeringai licik. "Kau berani denganku?"
Dada Yoori kembang kempis, dia tidak takut dengan ancaman kakaknya. Yooji maju untuk memangkas jarak mereka, kemudian tangannya menarik rambut Yoori dengan cepat.
"Aw, lepas!" rengek Yoori ketika merasakan perih yang luar biasa di kulit kepala. Tubuhnya sampai berputar menghadap ibunya.
"Yooji, lepaskan tanganmu!!!" Sang ibu berusaha bangkit tapi tenaganya habis tak tersisa.
Yooji terbahak sebelum berkata, "Dengar, Ayah meninggal itu karena ulahmu. Biaya hidup kita menjadi pas-pasan karena kau telah membunuh satu-satunya orang yang bisa mencarikan nafkah, dan aku putus sekolah juga karena ulahmu. Sedangkan kau ...." Yooji menatap penuh amarah ke arah ibunya, "mendapat fasilitas dari ibumu sehingga bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Yonsei University! Daebak!"
Sang ibu meraung hebat dan memukul-mukul dada ketika mendengar ucapan putranya. "Yooji, dia bisa ke perguruan tinggi itu karena usahanya sendiri. Dia mencari uang sendiri untuk mencari uang tambahan. Kau juga bisa seperti dia kalau kau mau berusaha sendiri, Nak!"
Yoori menggigit bibir bawahnya ketika tawa Yooji menusuk lubang telinga, dan dalam hitungan detik, tubuh Yoori dihempaskan ke atas lantai, tersungkur di hadapan ibunya. Yooji menarik tas ransel yang masih menggelantung di punggung Yoori.
"Jangan, Kak!" pekik Yoori. Dia bangkit dan berusaha merebut tasnya kembali.
Yooji menangkis tangan adiknya hingga tersungkur di atas tanah. Kini, dia mengeluarkan seluruh isi tas, hingga sebuah seringaian licik terbit di sudut bibirnya. "Laptop," desisnya.
Tanpa menyerah, Yoori bangkit dan mencoba meraih barang paling berharga miliknya. "Jangan, Kak. Jangan itu! Aku tidak bisa mengerjakan tugas kalau barang itu hilang!"
Yooji tak mau kalah dengan pergerakan tangan adiknya, dia mendorong tubuh Yoori sekali lagi lalu tertawa lebar. "Persetan dengan kuliahmu!" bentak Yooji yang langsung melangkah pergi.
"Kakak!"
Yoori berteriak dengan derai air mata yang mengurai deras. Ibunya juga ikut menangis melihat semua kejadian dan lebih parahnya lagi, dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu putrinya.
Yooji selalu seperti itu setiap kali membutuhkan uang. Putra sulungnya itu tidak pernah pulang ke rumah, sekalinya pulang, dia selalu menghabiskan seluruh barang berharga yang ada di rumah ini. Barang-barang itu akan dijual untuk memenuhi gaya hedonismenya. Satu lagi yang membuat Nyonya Im sedih: putranya selalu menyalahkan Yoori atas meninggalnya ayah Yooji.
"Maafkan Ibu, Yoori."
Yoori yang tergugu langsung bangkit dan mendekati ibunya. "Tidak, ini bukan kesalahan Ibu." Dia memeluk ibunya erat-erat.
"Maafkan Ibu yang selalu tidak bisa membelamu dari ulah kakakmu."
Yoori menggigit bibir bawahnya dalam-dalam dengan isakan yang luar biasa. "Tidak Ibu, ini bukan salah Ibu. Semua ini berasal dariku. Kalau saja ... kalau saja aku tidak ikut Ayah bekerja ... mungkin ... mung ...."
Yumna menggeleng berkali-kali, tangannya mengelus rambut sebahu Yoori. "Tidak Yoori, kematian Ayah bukan karena salahmu. Itu hanya kecelakaan."
Yoori semakin tergugu ketika kenangan tentang ayahnya yang meninggal karena tengah menolongnya mulai melintas. Seharusnya dia tidak berusaha menggapai ikan yang berada di kolam, seharusnya dia tidak ikut ayahnya bekerja, mungkin semua hal buruk tidak akan terjadi.
Nyonya Im merenggangkan pelukan untuk menghapus air mata yang membasahi pipi anaknya. Mengusap peluh di dahi yang tertutup poni, kemudian menatap lamat-lamat mata cokelat yang senada dengannya.
"Dengar Yoori, kematian Ayah bukan salahmu. Semua itu sudah menjadi takdir. Jangan pernah sekali pun kau menyalahkan dirimu. Dan ... Ibu tidak mau kau terus tenggelam dengan peristiwa buruk itu."
Yumna memeluk tubuh Yoori sekali lagi, mencoba menguatkan hati Yoori. Sejak kematian suaminya, Yoori selalu menyalahkan diri sendiri dan merasakan trauma berkepanjangan ketika berada di dekat kolam. Yoori mengalami phobia setelah kejadian itu. Dadannya terasa sesak saat mengetahui kalau kejadian itu berdampak besar bagi psikis Yoori.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top