第十天 (10)

Hal paling mendasar yang Darren katakan dalam pelajaran pertama meluncur dengan sepatu roda adalah, menjaga keseimbangan. Ia berdiri di sebelah Sung Yi dengan tangan di pinggang, menjaga Sung Yi yang terus berdiri sampai kakinya kesemutan. Ia bilang kalau berdiri saja Sung Yi bisa, tapi kalau melangkah, kakinya akan tergelincir.

"Aku sudah bilang, kau itu cuma takut jatuh. Kalau sudah bisa berdiri tegap dan menjaga keseimbangan, baru kau bisa berjalan sendiri," jelas Darren sok tahu.

Sung Yi mencebik, "kau ini sebenarnya niat mengajariku atau tidak sih?"

Tak menjawab pertanyaannya, Darren yang sejak sepuluh menit lalu terus melirik ke pintu utama dengan gelisah lagi-lagi mendecak kecil. Sung Yi berusaha menengok juga, tapi ini sudah lebih dari setengah jam bubaran sekolah. Arena sepatu roda yang tadinya agak sepi, kini mulai ramai pengunjung. Beberapa gadis berusia belia mampir untuk sekedar duduk-duduk di bar. Kali ini Darren tidak memiliki dua kacungnya seperti biasa. Ia hanya bersama Sung Yi, murni untuk bermain dan menjalankan misi "memutuskan" hubungan Alan dan Xiao Xing.

Tapi dari tanda-tanda yang terlihat semakin menjarak, Sung Yi tidak yakin apakah kedua anak itu benar-benar datang.

"Eh, kau benar-benar meminta Alan datang atau sedang ingin mempermainkanku saja, sih?"

Darren tetap tak langsung menjawab, ia beralih memegang pundak Sung Yi, menyuruhnya berdiri tegap, jangan berisik.

"Kurasa Alan tidak membaca pesanmu, mungkin?" Sung Yi memastikan lagi. Kali ini ia sudah di dorong pelan-pelan oleh Darren dari belakang. Tanpa mengucapkan apa-apa cowok itu mendengus pelan.

"Aku sudah bilang sejak semalam kita merencanakan ini. Dia bilang dia akan datang jika urusan dengan klub matematikanya beres. Tapi aku tidak tahu kenapa sampai sekarang belum sampai juga."

"Apa karena selangkangan Xiao Xing yang masih nyeri?"

Darren mengernyit, "Alan bilang itu sudah baik-baik saja. Kalau tidak, ia mana mungkin menyetujui permintaanku."

"Hm, kurasa kita harus sabar menunggu," sahut Sung Yi berupaya menenangkan Darren, lebih ke dirinya sendiri juga. Ia tidak tahu kenapa setengah hatinya ingin Alan tidak usah datang, tapi setengah dari yang lain berharap kalau Alan dan Xiao Xing datang. Ia ingin mencicipi komunikasi yang sesungguhnya selain teriak-teriak di pinggir lapangan basket.

Sosok Alan Luo yang selalu jadi Eric Chou kedua dalam hidup Sung Yi cukup ada dan tiada. Baginya, bisa bicara dengan Alan saja mungkin akan menjadi kenangan paling membahagiakan untuk dikenang nanti. Membayangkan itu saja hati Sung Yi kian membuncah hebat. Berbunga-bunga sampai rasanya Darren bisa merasakan itu.

"Apa Xiao Xing tidak mengatakan apa pun padamu?" tanya Darren pelan. Roda sepatu bergelincir lembut, di antara orang-orang yang bermain dan berputar sambil tertawa-tawa, Sung Yi masih merasakan tangan Darren mencengkram pundaknya.

"Mengatakan apa? Soal hubunganku denganmu?"

"Yang itu boleh," katanya sambil tersenyum cerdik. Padahal pertanyaan Darren pasti bukan soal itu awalnya. Tapi Sung Yi yang sedang berbunga-bunga pun menceritakannya juga.

"Kami jarang mengobrol sebetulnya. Bahkan kalau boleh jujur, walaupun kami sekelas, aku merasa hidupku dan hidup Xiao Xing jauh berbeda. Di dalam kelas kami, seperti ada lapisan dan tangga di tiap tingkatannya. Xiao Xing itu cantik dan pintar, ia berteman dengan kebanyakan orang yang sepantar dengannya dalam hal itu. Sedangkan aku dan teman-temanku, cukup menikmati sudut kelas saja sementara Xiao Xing selalu menjadi pusat perhatian. Aku cukup menyukainya, bahkan ia yang menceritakan duluan padaku soal rumah itu."

"Xiao Xing bilang apa soal rumah itu?" tanya Darren lagi.

"Dia bilang, ada banyak kenangan di rumahnya," jawab Sung Yi berkonsentrasi pada keseimbangan tubuhnya. Perlahan-lahan, perputaran roda di bawah telapak kaki Sung Yi bisa pelan-pelan ia kendalikan.

"Benarkah?" Darren memastikan. Sung Yi tidak bisa melihat ekspresi cowok itu karena sekarang ia terlalu terpaku pada ujung sepatu rodanya dan posisi tubuh yang agak membungkuk tiap meluncur pelan, tapi dalam intonasi pertanyaan itu, Sung Yi merasa Darren cukup penasaran.

"Ya. Malah aku yang cukup bingung kenapa kalian bisa saling tidak pernah menyapa. Sejak kapan kalian jadi tetangga?" tanya Sung Yi.

Sebelum menjawab, Darren agak berpikir, "sejak kami SMP mungkin? Ia pindah ke rumah itu. Sementara aku sudah sejak SD tinggal di sana."

Omong-omong soal rumah itu, Sung Yi selalu merasa Darren tinggal sendiri. Ia tidak pernah melihat orangtua Darren pulang dengan mobil atau motor, bahkan ia tidak pernah bertemu dengan orang asing yang ia kenal di sepanjang blok tersebut setiap akhir pekan. Biasanya, kalau habis jalan-jalan ke luar, rumah Darren yang bertingkat agak besar itu selalu sepi. Ia tidak pernah bisa melihat jauh ke dalam karena pagar tertutup dari luar rumah, maka Sung Yi juga tidak bisa yakin kalau cowok itu tinggal sendiri.

"Kau tinggal bersama orangtua, bukan?"

"Tidak, orangtuaku di Taipei."

"Ah, ya. Kenapa kau berpisah dari orangtuamu?"

Sung Yi merasakan pundaknya disentak sedikit, membuatnya oleng, "kau ini berhenti bertanya yang tidak-tidak. Sudah bisa merasakan keseimbangan belum?"

"Ah! Jangan mendorongku, kau membuatku jatuh."

Lalu Darren pura-pura menjorokkan Sung Yi. Darren tertawa-tawa kecil sementara Sung Yi terus memukul-mukul Darren dan memprotes. Sebelum kaki Sung Yi bergerak lebih maju ke putaran berikutnya, dari pintu utama, seseorang berteriak memanggil Darren.

"Darren Yu!!!"

Suara yang amat mereka kenal, amat tidak pernah asing di telinga murid SMA Di Yi sekali pun. Sung Yi memelotot, saling beradu pandang dengan Darren yang mengernyit. Dari sumber suara, keduanya menoleh. Dari kejauhan, wajah Zong Bao yang tiba-tiba muncul itu berseru, menarik perhatian semua orang lalu ikut beralih ke arah Darren dan Sung Yi yang terperanjat.

xx

"Kau ini, jangan berbohong!"

Suara Zong Bao laoshi lagi-lagi menggelegar. Di depan meja ruang pembina siswa, berdiri Sung Yi dan Darren dengan tampang lusuh. Dalam hati Sung Yi, ia lama-lama bisa terbiasa dengan meja dan teriakan khas Zong Bao laoshi jika hidupnya terus menempel Darren.

"Aku sudah bilang, aku bolos karena ingin bermain bersama Sung Yi. Itu saja."

Penjelasan Darren ditolak mentah-mentah. Dari laporan yang membuat Zong Bao benar-benar marah seperti ini adalah, bahwa ada anak sekolah lain yang menyerang warga di samping perumahan blok sebelah sekolah. Mereka bilang, A Shu dan Liao Ren ketahuan ikut bertarung. Beberapa properti warga banyak yang rusak dan mereka semua meminta uang ganti ke sekolah karena masih menahan kedua kacung Darren di ruang konseling. Zong Bao bilang, jika Darren adalah dalang dari ini semua, maka ia harus menanggung semuanya.

Tapi jelas-jelas Darren memang sedang bermain sepatu roda dengan Sung Yi.

"Lalu kau bisa jelaskan padaku bagaimana kedua temanmu terlibat? Aku tahu kau yang memimpin mereka, menyuruh sekawanan kelasanmu untuk menyerang mereka," tandas Zong Bao.

Darren yang tak mau kalah terus membela diri, ekspresinya kali ini benar-benar serius. Selama beberapa hari berteman dengan cowok ini, yang Sung Yi rasakan ketika Darren serius hanya ketika membahas percintaannya. Setengah dari hati Sung Yi sebenarnya cukup mempercayai kalau Darren memang tidak terlibat.

"Mereka pasti menyerang duluan. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan, tapi teman-temanku sudah berjanji untuk tidak bertarung."

"Tapi buktinya apa!?"

Lengkingan suara Zong Bao mungkin bisa saja terdengar sampai ke penjuru sekolah. Dari balik kacamata, Sung Yi mengerjap takut. Ia beralih ke wajah Darren yang mengkaku. Rahangnya mengeras, hidung kembang kempis menahan geram. Sementara Zong Bao laoshi dengan mata memelototnya tak menggubris itu.

"Aku heran kenapa kau sekarang berubah, Darren." Tiba-tiba Zong Bao laoshi memelankan suaranya. Ada getir yang akrab sekaligus sedih. Pancaran mata Zong Bao laoshi melunak, ia mencari-cari sesuatu di dalam Darren tapi nihil.

"Buat apa dulu kau mengambil beasiswa kalau ujung-ujungnya kau menghancurkan masa SMA-mu?"

Beasiswa?

Sung Yi tak sempat terkejut karena Darren langsung menyanggah cepat.

"Katakan apa yang harus kulakukan untuk membebaskan teman-temanku?"

Zong Bao laoshi terlihat masih ingin meneruskan kalimat sebelumnya tapi ia beralih menggeleng kecewa.

"Bersihkan daun-daun kering dari taman belakang. Aku tidak mau melihatmu. Bahkan kalau bisa, aku ingin kepsek melihat ini semua.

***

Puas banget hari ini bisa nulis banyak setelah dua hari sempat blank ngga nulis samsek gegara kebanyakan main :v anyway, semoga part ini menghibur yaa ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top