第十一天 (11)
Darren lebih dulu keluar ruang Zong Bao laoshi setelah beberapa menit berceloteh memberi hukuman. Setelah pintu berdebam tertutup, barulah hawa dingin itu merayap hening di antara Sung Yi dan Zong Bao laoshi.
"Katakan, apa dia merudungmu?" tanya guru itu dari balik mejanya. Ia memandang Sung Yi dengan sisa kemarahan.
"Hah?" refleks Sung Yi setengah terpana. Di satu sisi, Darren cukup menyebalkan tapi, bagaimana pun Sung Yi mengenal Darren beberapa hari ini, ia tidak akan mengakuinya. Lebih dari yang Sung Yi sadari, sebenarnya hari ini, ia cukup menikmati acara bolosnya.
Dengan ragu, Sung Yi menggeleng pelan, "sebenarnya, kupikir Darren akan melakukan hal-hal kasar kepadaku. Kukira bahkan dia ingin mematahkan kakiku. Tapi sebenarnya, kami cukup baik akhir-akhir ini."
Merencanakan untuk memutuskan hubungan orang itu boleh dihitung baik, kan?
Pria dengan rambut cepak dan tatapan tajam itu menghela napas panjang. Amat panjang sampai Sung Yi kira ia tidak akan mendapat celotehan lagi.
"Aku tahu Darren tidak akan melakukan itu, tapi ini sudah kelewatan. Kalian bolos untuk bermain sepatu roda sementara anak buah Darren menyerang warga. Benar-benar keterlaluan."
Sung Yi meringis. Mereka memang merencanakan hal bodoh tapi dibanding memikirkan itu sekarang, ia lebih bertanya-tanya soal beasiswa yang tadi disinggung dan hubungan kepsek dengan Darren. Apa dengan ini kelas Darren akan dibubarkan kalau kepsek benar-benar tahu ada warga yang melapor? Setidaknya, kalau Darren tahu, ia tidak mungkin membiarkan teman-temannya sendirian. Ia bahkan menerima hukuman untuk membebaskan mereka.
"Sudahlah, aku tidak akan menahanmu lagi. Aku hanya ingin menyarankan padamu, jangan terlalu dekat dengannya. Ingat, kau masih perlu lulus baik-baik dari sini. Mengerti?"
Sebagai jawaban, Sung Yi memberikan anggukan tipis lalu berbalik keluar ruangan.
Beasiswa, ya?
Jadi Darren itu anak beasiswa? Tapi kenapa bisa...?
Baru saja Sung Yi hendak melangkah menyusuri koridor dengan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab itu, langkahnya tertahan ketika seseorang berdiri di depannya. Pandangan Sung Yi terpaku pada sepatu pantopel hitam dengan goresan kecil di ujungnya. Goresan itu tiba-tiba membuat mata Sung Yi memelotot cepat. Sebelum ia menebak pemilik sepatu itu, Alan Luo lebih dulu memanggilnya.
"Sung Yi, kan?" tanyanya ramah.
Sung Yi mengangkat wajahnya pelan-pelan seiring debar jantungnya bergemuruh. Kedua mata cokelat yang hangat dan indah seperti mimpi itu tiba-tiba menggelenyar di sekitar tengkuk Sung Yi. Dalam tingkat kesadaran yang nyaris saja tercerabut rata, suara Alan lagi-lagi merasukinya.
"Kau bisa bermain sepatu roda?" tanya Alan dengan senyum manis itu.
Tunggu. Ini mimpi, bukan?
Alan menyebut namanya.
Alan menatap matanya.
Alan tersenyum padanya.
Tangan Sung Yi terangkat, ia hendak menyingkirkan kabut musim semi di matanya dengan mengucek-ngucek tapi kabut itu tidak hilang. Degup jantung Sung Yi tumpah ruah dengan kebahagiaan meluap-luap.
"Alan Luo.. kenapa kau bisa ada di sini?" tanya Sung Yi menahan ledakan dalam dada, beralih menarik napas pelan-pelan, lalu mengembuskannya secara teratur.Ia agak menegakkan kepalanya, lalu tersenyum semanis mungkin. Tidak tahu apakah itu berfungsi, tapi pancaran antusias yang ditunjukan Alan membuat Sung Yi ingin menjerit.
"Ah, aku tidak sengaja lewat. Tadi aku mendapat info dari laoshi Gao Ran, katanya teman-teman Darren ditahan di ruang konseling?"
Seketika perasaan membuncah Sung Yi meredup, berganti dengan bayangan wajah Darren yang murung.
"Ehm, ya begitu."
Bagaiman pun, sekarang Darren sedang menjalani hukuman supaya mereka berdua bebas. A Shu dan Liao Ren benar-benar beruntung punya teman sebaik Darren.
Eh? Sebaik Darren?
"Omong-omong, kau tadi bolos karena bermain sepatu roda bersamanya?" tanya Alan lagi.
Sung Yi kembali merasakan antusias tentang si Tidak Pernah Jelek ini.
"Ya. Aku ... bolos. Tapi kau benar, aku bisa bermain sepatu roda."
Seketika Sung Yi berusaha sebaik mungkin menyebunyikan ingatannya soal kisah selangkangan yang waktu itu tanpa sengaja ia dengar. Di balik batasan arena sepatu roda, Alan dan Xiao Xing yang berusaha menyembunyikan ceritanya.
"Aku dan Xiao Xing juga suka bermain. Kukira aku saja yang suka sepatu roda."
Sung Yi tersenyum kecut. Kenapa Alan jadi menyebarkan Xiao Xing terang-terangan? Apa ia tidak malu jika kisah selangkangan mereka terekspos?
"Ah, ya, akhir-akhir aku mulai menyukai itu."
Wajah Alan yang setengah antusias belum juga luput, entah kenapa membuat dorongan rasa bangga dalam diri Sung Yi.
"Apa kau mau main kapan-kapan? Tadinya Darren mengajakku sore ini, aku bilang agak telat karena klub matematika, tapi beberapa mendengar berita itu kurasa... ia tidak jadi."
Seketika Sung Yi terkesiap. Benar juga, bukankah harusnya Alan datang ke arena hari ini? Entah seperti apa perjanjian mereka berdua, tapi nampaknya janji itu gagal begitu saja. Tidak bisa menyalahkan A Shu dan Liao Ren juga sebenarnya, Sung Yi belum tahu apa yang terjadi pastinya, tapi mungkin lebih baik tidak hari ini juga. Sung Yi masih merasa sangat payah. Ia belum menguasai keseimbangan.
"Tentu saja. Aku akan senang jika kita bisa bermain.. bersama."
Alan menghiraukan kegugupan Sung Yi yang mungkin saja nampak. Kira-kira, Alan sadar tidak ya kalau selama ini Sung Yi sering menjerit-jerit seperti orang gila di pinggir lapangan setiap ia tanding basket? Masa bodoh juga kalau Alan sadar, yang penting, hari ini, untuk kali pertama, Sung Yi bisa mencoret tanggal di kalender sebagai hari paling bersejarah. Alan bicara dengannya.
"Baik. Kalau begitu, aku duluan ya," Alan mengucapkan pamit lebih dulu. Di antara sadar atau tidak, Sung Yi melambai tak rela sambil berbisik hati-hati.
xx
Misi gagal, Darren terkena masalah, sementara kepsek sudah memberi peringatan pertama. Sepanjang sore tadi, ketika Sung Yi mendantangi Darren yang menyapu bersih sendirian taman belakang dari daun-daun kering, Sung Yi tidak mendapat jawaban apa-apa dari rasa penasarannya.
Ekspresi Darren yang masih kaku dan tegas melunturkan keberanian Sung Yi. Ia malah beralih mengambil sapu lainnya untuk membantu Darren supaya bisa pulang lebih cepat. Koridor-koridor sudah kosong, anak-anak sudah pulang. Hanya beberapa yang masih tinggal untuk memenuhi kegiatan klub. Sisanya, murid-murid setengah berandal memenuhi lapangan parkir, bercengkrama untuk menentukan tujuan mereka.
Sambil membonceng Darren di jok belakang sepeda, Sung Yi menggilas jalan raya tanpa bicara. Sebenarnya, Darren yang terlihat banyak pikiran. Ia tidak berusaha membuatnya bercerita, karena sampai sekarang, kadang-kadang Darren punya batasan tertentu untuk masalahnya sendiri. Setengah hati Sung Yi yang masih berbangga soal Alan yang akhirnya bicara padanya ingin ia bagi, tapi setengahnya lagi, Sung Yi agak mengkhawatirkan Darren.
Setelah sampai kompleks perumahan sebelum matahari terbenam, Darren turun dari jok. Ia menggunakan tepukan lembut di pundak Sung Yi sebagai ucapan terima kasih lalu masuk ke rumahnya yang hening. Pagar ditutup rapat, selepas itu, dunia Darren dan Sung Yi menjarak jauh. Terasa sekali perbedaannya kalau Darren mulai diam seperti ini.
Sung Yi beralih masuk ke rumah, menghabiskan waktu akhir pekan dengan tugas-tugas Darren yang akhirnya selesai juga. Setelah makan bersama, Sung Yi melihat-lihat cara bermain sepatu roda di internet. Ia tidak menyangka kalau permainan itu cukup menyenangkan untuk dilihat. Apalagi mengingat Darren cukup pandai berputar di lantai dansa. Apa Alan bisa lebih hebat dari Darren? Rasa penasaran itu mendorong Sung Yi kian tak sabar dengan hari yang mungkin akan ia temui nanti.
Ia ingin mengirimkan pesan pada Sha Yue dan Wei Wei, tapi langsung mengurungkan niatnya waktu sekilas melihat langit dari jendela kamar. Hari ini langit malam cukup cerah, menampikkan bintang-bintang di atas sana. Dari antara kompleks yang agak redup, Sung Yi segera berlari keluar kamar dan mengeluarkan sebuah teropong yang berdiri anggun di pinggir jendela.
Di luar balkon, udara mengempas hangat. Tanda-tanda musim panas mulai datang. Tapi balkon kamar juga belum dibersihkan. Sung Yi menggumamkan kalau ia akan membersihkannya selama liburan nanti. Tapi yang pasti, ketika ia menengadahkan pandangan ke atas, langit yang gelap menebarkan banyak sekali kilau bintang yang berkelip-kelip terasa begitu luas dan bebas. Penat yang terasa seakan-akan mengguyur bersih pikiran Sung Yi. Kapan terakhir ia bisa melihat langit begitu lapang seperti ini?
Dari cahaya yang paling besar, Sung Yi tersenyum cerah, itu Venus! Bintang kesukaannya setelah Polaris. Biasanya kalau lagi bisa melihat bintang sejelas ini, Sung Yi langsung mengeluarkan peta rasi bintangnya dan mulai membayangkan bagaimana semua jalinan asteroid kecil itu bisa mendekat. Apa yang membuat mereka bisa saling bercengkrama satu sama lain dan membuat sebagian dunia indah dengan pesona mereka?
Sung Yi tidak tahu, tapi setiap melihat bintang-bintang, separuh hidupnya terasa baik-baik saja.
Dari samping rumah, Sung Yi sekilas mendengar derit pintu. Ia melihat ke balkon Darren, cowok itu muncul dengan rambut keramasnya. Pandangannya terhenti di teropong panjang yang berdiri di samping Sung Yi. Ia mengernyit.
"Kau punya teropong?" Tatapan Darren pindah ke langit, lalu bergumam takjub, "wah, bintangnya kelihatan."
Sung Yi langsung terbakar semangat, "jarang sekali bukan! Eh, eh, kau mau lihat yang mana bintang kesukaanmu?"
Darren menggeleng malas sambil mendekati pagar balkon. "Tidak. Aku tidak punya bintang yang menjadi kesukaanku."
Wajar saja, hidup Darren penuh lika-liku. Mereka yang tidak menikmati alam semesta, biasanya terlalu meremehkan kekuatan alam.
Darren mulai memanjat pagar balkonnya, seperti biasa, berjalan melewati dipan yang masih tersanggah di antara balkon mereka lalu mendatangi balkon Sung Yi.
"Kenapa kau sampai seniat itu dengan teropong ini?"
Mungkin Darren menyangka kalau Sung Yi adalah gadis paling aneh yang ia temui. Sung Yi sendiri merasa demikian. Karena sejak kakek dulu memberikannya sebuah buku tentang tata surya, galaksi bima sakti, lubang hitam dan segala meteor dan rasi-rasi bintang, Sung Yi paling tertarik dengan polaris. Salah satu rasi bintang yang sulit ditemui karena jarak bintang mereka cukup jauh dan kalau bukan dari hutan yang gelap, sulit terlihat dari teropong sekali pun karena letaknya dekat kutub utara.
"Supaya aku bisa melihat Polaris. Rasi bintang kesukaanku. Bentuknya mengingatkanku pada kakek dulu," jawab Sung Yi tersenyum. Ia membentangkan peta rasi bintang yang sengaja dicetak lebih besar ke tanah balkon. Darren beralih jongkok, ikut meneliti sebuah bulatan besar berwarna hitam yang di dalamnya banyak bintang. Di antara binta-bintang itu ada tarikan garis membentuk sesuatu. Satu sudut di kertas itu membentang panjang nama-nama rasi bintang itu sendiri.
"Kau tertarik untuk berkenalan dengan temanku?"
Darren mengerutkan alisnya samar, "teman? Maksudmu bintang-bintang ini?"
Sung Yi mengangguk antusias. "Ini Orion, Lynx, Pegasus, Ursa Minor, Hydrus—"
Tangan Darren berhenti di gambar-gambar yang ditunjuk Sung Yi. Ia menatap cowok itu tertahan, "kenapa?"
"Apa itu?" tanya Darren ke sebuah garis bintang yang berbentuk lurus dengan ujung agak membengkok kecil.
Mata Sung Yi menyipit, ia memastikan untuk mengingatnya, "itu Equuleus. Kau menyukainya?"
Darren menaikkan kedua bahunya sambil berdiri, "mungkin."
Sambil beranjak ke pojokan tempat di mana kekacauan yang belum dibersihkan, Darren agak membungkuk, memungut kayu-kayu itu. Sung Yi agak mendekatinya lalu menjelaskan lagi.
"Kau memilih rasi bintang yang sangat sederhana. Apa kau tidak menyukai Perseus? Ia kan ada di tengah, sama sepertimu yang suka jadi pusat perhatian."
Kayu-kayu yang dipindahkan itu kini mengosongkan kekacauan di pojok balkon, menyisakan sedikit bekas rembesan air dan papan yang menempel ke dinding. Darren menghela napas kecil, "aku tidak suka jadi pusat perhatian. Tapi aku suka jika melakukan apa yang aku inginkan."
Darren mendekati sebuah papan yang agak menempel menutupi separuh dinding itu. Sung Yi mungkin tidak akan menyadarinya jika bukan Darren melakukannya. Di balik papan itu ternyata ada sebuah tangga kecil menuju... ada atap lagi di atas kamar Sung Yi?
Darren menoleh, bersamaan dengan Sung Yi yang tercengang.
"Wah, bagaimana bisa?"
Senyum Darren tertampik kecil, ia menunjuk teleskop Sung Yi lalu berujar, "ayo bawa teleskopmu, kita lihat dari atas sana."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top