第二天(2)
Jadi, rumah itu adalah rumah lama Xiao Xing. Si Kembang Sekolah yang dari satu tahun lalu sekelas tapi benar-benar jarang bicara. Apa Sung Yi menempati kamar lama milik Xiao Xing juga? Semakin dipikirkan, Sung Yi jadi tidak sadar kalau jam ujian terakhir sudah berakhir. Bel berdentang memenuhi sekolah. Suara kertas di udara berkelebat, desah napas lega para siswa simpang siur. Kawasan sekolah yang beberapa jam lalu sepi dan hening, kini pelan-pelan mulai ramai kembali.
Ujian akhir semester selesai. Saatnya menyambut liburan musim panas! Semua orang mulai mengambil tas yang mereka simpan serempak di luar kelas. Sebentar memberi salam, lalu mereka semua beranjak, beriringan guru pengawas yang keluar kelas. Menyambut langkah baru penuh kelegaan.
Wajah Sha Yue mengernyit puas, sambil mengulet, ia mendesah riang. "Akhirnya, aku hanya menunggu beberapa hari untuk ke rumah nenekku di Beijing."
"Beijing?!" pekik Wei Wei. Sebagai anak yang senang jalan-jalan tapi tidak punya budget, Wei Wei cukup beruntung punya Sha Yue. Gadis itu sering jalan-jalan kalau sedang libur panjang. Dan Sha Yue selalu mengirimkan foto-foto untuk kemudian dicetak oleh Wei Wei. Tinggal mereka semua mendengarkan cerita Sha Yue setiap malam. Wei Wei selalu antusias, Sung Yi hanya menambah wawasan saja.
"Bukankah kau akan mengunjungi saudaramu di Taipei?" tanya Sha Yue santai. Ketiganya berjalan keluar kelas, melangkah lewat koridor yang panjang menuju kantin. Sebelum pulang, es krim adalah hadiah kecil sesuai perjanjian ketiganya setelah berhasil menempuh ujian tanpa kendala.
Sung Yi sempat bertemu Xiao Xing lagi. Gadis itu nampak menatapnya beberapa saat, tapi kemudian pergi karena tangannya diseret duluan oleh Chu Li. Teman perempuan paling akrab satu kelasnya.
"Taipei lagi, meskipun aku di sana, aku tidak pernah sekali pun ke gunung Yang Ming," gerutu Wei Wei.
"Kau bisa memintanya lah. Atau jalan-jalan sendiri. Itu bisa jadi ide yang bagus. Siapa tahu kau ketemu cowok di jalan dan ternyata itu adalah jodohmu," celoteh Sha Yue yang tidak pernah sadar ocehannya itu seperti gadis-gadis kota yang tahu soal cowok. Padahal di otaknya tetap hanya ada Alan Luo.
"Siapa yang mau mencari jodoh? Aku sudah pasti ditakdirkan dengan Alan," tandas Wei Wei menyeringai. Toyoran singkat menjadi hadiah dari Sha Yue.
Kantin sore itu tidak banyak pengunjung. Kelas perempuan lebih dulu bubar. Dari 11-1 sampai 11-4, para siswi berseragam itu berbondong-bondong keluar melewati koridor besar di gedung utama. Dari sebrang gedung—persisnya di depan gedung 11 khusus cewek, kelas 11 cowok mulai memenuhi persimpangan. Mereka agak memadati pojok lorong, tapi beberapa dari mereka juga menyebar ke kantin, lapangan basket dan mengisi kelas-kelas kosong untuk sekedar bermain kartu merayakan ujian akhir semester.
"Eh, jadi apa Xiao Xing bicara padamu?" Sha Yue bertanya sambil menjilat es krim setelah mereka membayar. Melintasi pinggir koridor yang menghadap lapangan basket, beberapa gadis terlihat menepi. Saling bersorak karena Alan bermain di tengah sana. Tapi...
Ketiga pasang mata mereka sama-sama melebar.
"Eh! Bukankah itu—" suara Wei Wei agak tersekat, bersamaan Sung Yi yang melongo.
Di lapangan basket yang dijatuhi sinar matahari itu, hanya ada dua cowok dengan baju seragam. Saling bertatap tajam, Alan Luo dan Darren Yu sedang bermain bersama. Tepatnya, bukan bermain. Mereka pasti sedang terjadi sesuatu.
"Kenapa para gadis meneriakinya? Apa ada terjadi sesuatu?" Sha Yue mulai khawatir. Hampir seluruh siswi di sekolah ini pacar khayalan Alan, jelas mereka khawatir.
Sung Yi agak tercenung, tapi ia menggeleng. Serempak, mereka bertiga mendekati lapangan. Es krim yang dingin membekukan tenggorokan mereka.
Darren menatap Alan yang sempurna dengan pandangan keji. Alis tebal Darren mencuat tajam, mulutnya terkatup erat, di antara kengerian itu, Darren si Pemimpin Petarung jelas menguasai situasi.
Di pinggir lapangan, Sung Yi melihat Ze Hua, teman sekelasnya yang ikut berpartisipasi sebagai tim sorak. Ia mencolek gadis yang sedang menggebu-gebu itu lalu Ze Hua nampak kaget.
Sung Yi setengah berteriak di tengah keramaian, "mereka berdua kenapa?"
"Aku tidak tahu, tapi katanya mereka bertaruh."
"Bertaruh?" Sung Yi hampir menggigit es krimnya yang sekeras batu menjadi dua.
"Ya! Ketua klub bilang, mereka sedang merundingkan sesuatu tapi demi Tuhan aku takut Alan kalah."
Sung Yi mendecak, "apa Xiao Xing tidak mengatakan apa pun?"
Biasanya, kalau ada masalah soal Alan, ketua klub—klub penggemar Alan—akan menanyakan langsung lewat Xiao Xing. Sebagai partner in case, karena Xiao Xing lumayan dekat dengan Alan, hal itu cukup membantu secara tidak langsung.
"Tidak. Sumpah, Darren jago basket," kata Ze Hua panik.
Hal itu membuat tawa remeh Sha Yue di sebelahnya terdengar mencibir. "Jangan tersinggung, tapi apa yang bisa Darren lakukan selain duduk di kelas dan merokok? Dia bahkan tidak peduli kalau tungkaimu patah jika ditendangnya."
"Aku serius," ujar Ze Hua, "kau lupa aku pernah satu SMP dengannya? Tahun pertama, Darren itu cukup hebat."
Oke. Darren di mata semua orang hanya murid berandal yang tidak tahu aturan. Semua murid dan guru jelas tahu itu. Selama tahun pertama, cowok itu sudah mempunyai otot, tidak pernah memakai seragam dengan benar, selalu membiarkan singlet hitam di dalam kemejanya terlihat, dan selalu mengenakan kalung rantai ke mana-mana. Ia bahkan memboikot kelas 10-4, yang waktu itu heboh karena ada sekelompok siswa dari sekolah lain menyerang SMA Di Yi untuk balik memberikan serangan. Gara-gara peristiwa itu, pertemanan antar cowok di kelas 10-4 jadi semakin terlihat erat. Kalau dilihat dari semua kelas 11 sekarang, kelas 11-4 adalah kumpulan siswa berandal lainnya yang mempunyai dunia sendiri. Tak heran kalau banyak guru yang takut mengajar ke kelas itu. Mereka cenderung menghindari anak-anak 11-4. Bagi siswa normalnya, kelas mereka tak lebih dari sebuah gudang preman.
Tapi soal Darren yang hebat—Sung Yi pun agak kurang mempercayai itu. Intinya sekarang, untuk apa mereka bertaruh?
"Oke, seberapa hebat?" tanya Sha Yue penasaran. Di tengah euforia usai ujian, kedua cowok itu dihujami teriakan. Bola di lambungkan oleh satu cowok, lalu kedua cowok itu sama-sama melompat, menyentak, lalu merebut bola yang membentur lapangan.
Ze Hua dengan tatapan tak beralih dari mereka berujar pendek, "bisa lebih hebat dari Alan kalau kau ingin aku jujur."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top