第二十六天 (26) ekstra

Olimpiade Fisika yang diadakan di sekolah menjadi satu-satunya ajang yang paling dinantikan semua rekan guru. Pasalnya, bukan hanya mereka, tapi anak murid yang lain bakal dipertunjukkan dengan Darren dan Xiao Xing. Pasangan baru yang hampir seminggu sejak masuk sekolah dari libur musim panas menjadi gosip baru yang terus menghangat sampai hari ini.

Tapi selama itu juga, Darren tidak pernah muncul lagi di rumahnya. Setiap Sung Yi berusaha mengintip dari balkon ke kamar cowok itu, kamarnya tidak pernah menyala. Ia selalu tidur lebih awal sepertinya. Dan kata orang-orang, kelas 11-4 yang dulu selalu ditakuti rekan guru, kini beralih menjadi kelas normal yang penuh murid siap belajar. Walau beberapa anak lainnya masih suka berteriak-teriak kalau di kantin, tapi itu sudah sangat wajar.

Perhelatan Olimpiade Fisika itu cukup meriah. Ruang Auditorium menjadi tempat pelaksanaannya. Melupakan kejadian selama seminggu itu, Sung Yi berusaha menyemangati Darren bagaimana pun juga lewat Xiao Xing. Sung Yi tidak berani menceritakan hubungannya yang renggang—walaupun Darren sendiri yang memulai—ke Xiao Xing karena ia tidak mau mengganggu fokus gadis itu untuk Kejuaraan Olimpiade. Setiap pagi, sebelum masuk kelas, Xiao Xing selalu belajar dan bergulat dengan buku. Dia bahkan jarang ke kantin. Hanya yang sering terlihat adalah setiap pulang sekolah, Darren akan menjemputnya di kelas lalu mereka akan sama-sama pergi ke perpustakaan belajar bersama laoshi Tao Yun, guru Fisika kelas dua belas. Dan jelas ditemani Zong Bao laoshi sebagai pembina siswa.

Hampir dua minggu lebih, Sung Yi harus bertahan dengan pemandangan itu dan berpura-pura tidak melihat mereka. Separuh hatinya selalu tidak rela, tapi apa boleh buat? Ia hanya bisa menikmati waktu-waktu yang semakin bergulung menceritakan perasaannya sendiri terhadap Alan.

Dibanding memusingkan hubungannya dengan Darren, Sung Yi mau fokus pada apa yang ada di depan matanya.

"Sung Yi!" seseorang memanggilnya waktu ia baru saja mengambil teh susu dari lemari kantin. Sung Yi melongok dan tersenyum ke arah Alan yang melambai dan menghampirinya. Cowok itu mengenakan kain yang diikat di lengannya bertuliskan 'panitia'.

"Alan, apa kau akan pulang sampai tesnya selesai?"

Keduanya mengambil kemasan teh susu yang sama lalu membayarnya di kasir.

"Sepertinya begitu. Kau mau menunggu, kan?"

Sung Yi mengangguk, mereka mulai melintasi lorong depan kantin yang bisa langsung melihat ke lapangan basket dan ruang auditorium yang ada di tengah gedung sekolah. Di depan gedung itu, nampak beberapa anak siswi mengerubuti pintu yang sengaja terbuka. Darren, Xiao Xing dan beberapa murid dari sekolah lain yang ada di dalam sana sibuk mengerjakan tesnya. Alan sebagai panitia utama—bakal terus mengawasi jalannya Olimpiade sebagai senior.

"Apa kira-kira sekolah kita akan menang?" tanya Sung Yi.

Alan agak menyipitkan mata, "kupikir tidak. Tapi nyatanya, Darren masih sehebat dulu SMP."

Mendengar nama itu, Sung Yi harus pura-pura tidak masam.

"Xiao Xing pasti membantunya banyak," gumam Sung Yi sambil menyedot teh susu.

"Kupikir sebaliknya. Dengar-dengar Darren sudah jarang bermain denganmu ya?"

Kata-kata itu membuat Sung Yi hampir tersedak, ia buru-buru mengibaskan tangannya. "Iya benar. Tapi itukan karena Darren harus belajar. Jadi, wajar saja."

Alan nampak tidak begitu percaya, ia terdiam dan menatap Sung Yi beberapa saat. Memastikannya. Sung Yi segera memberi tambahan, "benar kok. Dia kan memang aneh, jadi aku juga sudah terbiasa."

Kebohongan lain lagi. Bisa-bisanya Sung Yi berkata begitu di depan Alan.

"Sung Yi," sahut Alan.

"Ya?"

Alan terdiam sejenak lalu menatapnya dalam, "sebenarnya, ada yang ingin aku katakan padamu..."

"Oh ya? Apa itu?"

Seseorang memanggil dari ruang auditorium, laoshi Zong Bao. Alan berseru lalu ia tidak jadi melanjutkan perkataannya. Sung Yi hanya melambai dan bilang akan menunggunya di parkiran sepeda pulang nanti. Sebelum beranjak naik ke tangga, Sung Yi melihat segerombolan A Shu dan Liao Ren dari arah koridor terbuka gedung khusus cowok. Kedua cowok itu melambai riang ke arah Sung Yi. Padahal Sung Yi hanya ingin buru-buru pergi, tapi A Shu keburu merangkul erat leher mungil Sung Yi.

Seperti dulu.

Seperti waktu ia dan Darren pertama kali saling mengenal.

Pelan-pelan, degup jantung Sung Yi terasa.

"Weh, Dungu—wah, lihat kau sekarang jadi lebih kelihatan cantik ya?" A Shu menggoda sampai segerombolan cowok-cowok itu bersiul-siul norak. Sung Yi menepis tangan A Shu.

"Kalian ngapain sih? Masih saja mengolok-olok aku."

"Siapa mengolokmu? Kami ini memujimu dasar dungu!" Liao Ren memukul kening Sung Yi dengan telunjuknya.

A Shu sedikit menjulurkan kepala ke sebrang gedung—tepatnya ke ruang auditorium yang ramai.

"Sebenarnya Olimpiadenya sudah selesai belum sih?" tanya A Shu.

"Sepertinya belum. Kalian tidak menonton? Kan bos besarmu di sana," ujar Sung Yi berusaha terdengar normal.

Liao Ren menyahut santai, "buat apa? Lebih baik kami bermain. Sejak kelas kami dipulihkan dan beberapa anak sibuk belajar, kami jadi jarang bermain. Eh, kau mau ikut bolos di jam siang?"

Sung Yi mengernyit, "tidak mau! Kalian ini belum ada kapok-kapoknya ya? Darren sudah menyelamatkanmu dari sekolah Barat waktu itu, masih saja mau cari gara-gara."

"Tenang saja Sung Yi, permasalahan itu sudah selesai sejak lama. Bahkan kami cukup bosan juga sih lama-lama belajar." A Shu menyembur santai. Segerombolan anak-anak cowok yang memadati koridor terbuka itu berjalan lebih dulu, meninggalkan Sung Yi, A Shu dan Liao Ren yang masih mengobrol.

"Sebenarnya, kenapa kelas kalian jadi tiba-tiba belajar?" tanya Sung Yi serius.

A Shu tergelak pelan, "pertanyaanmu menunjukkan kesan bahwa kami para preman sekolah tidak bisa belajar. Kau sendiri tahu, panggilan itu dibuat-buat juga oleh anak cewek. Padahal, kami juga sebenarnya anak sekolah pada normalnya, ya jelas bisa belajar."

Jari Liao Ren mengetuk kening Sung Yi lagi, "aku akan mewakilkan bos untuk memukulmu. Semua ini juga gara-gara kau dan bos. Dia bilang, Sung Yi bakal memutuskan pertemanan kalau dia tidak menurut untuk menembak Xiao Xing. Cewek yang selama ini ia idamkan."

"Benarkah?" Sung Yi sedikit tertegun. Tapi A Shu lagi-lagi menahan beban tubuhnya sambil merangkul Sung Yi.

"Kau itu ya, walaupun Dungu, tapi cukup bisa buat Bos itu berubah. Aku sendiri awalnya tidak menyangka, tapi yah, seperti itulah kenyataannya. Malah jadi kami yang sekarang harus lelah-lelah belajar."

"Lelah belajar apa katamu tadi?!" sebuah suara menggelegar yang tak terdengar asing menyambar di siang bolong.

Zong Bao laoshi yang punya badan kekar dan besar berdiri dengan seragam kaku di ujung koridor. Kontan A Shu melepaskan diri dari Sung Yi dan berdiri berjajar bersama Liao Ren yang menyengir.

"Selamat siang, laoshi," Liao Ren dengan basa basi busuknya waktu Zong Bao laoshi mendekat. Pria itu menoyor kepala Liao Ren. Sung Yi yang mengintip itu hanya menahan tawa.

"Kalian itu harusnya bangga gara-gara ini Darren jadi murid yang membanggakan juga. Semakin kalian banyak belajar, semakin kalian mengurangi dosa kalian sebelumnya. Paham, tidak?"

Liao Ren dan A Shu kompak menjawab sambil menunduk, "paham laoshi."

"Sudah sana, kembali ke kelas." Zong Bao setengah memerintah sambil mengendikkan bahunya ke gedung cowok.

Keduanya lagi-lagi mengangguk patuh lalu berbalik tanpa bersitatap lagi. Sung Yi sedikit menahan tawanya melihat kelakuan mereka lalu kembali menjaga ekspresi waktu Zong Bao laoshi menatapnya dengan gaya tegas khasnya.

"Dengar-dengar, kau dan Darren jadi berteman ya?" tanya pria itu memelankan intonasinya. Sung Yi agak terperangah, sedikit kikuk. Jawaban apa ya yang tepat untuk itu?

Tapi Sung Yi menjawab ala kadarnya, "sejak itu kami memang berteman laoshi. Tapi yah, akhir-akhir ini Darren agak sibuk dengan Olimpiade jadi kami jarang komunikasi."

"Ah..." Zong Bao laoshi melirik ke ruang auditorium lagi lalu berdeham.

"Sebenarnya, aku cukup bangga atas perubahan itu. Orang bilang, lingkungan itu mempengaruhi pola pikiran seseorang. Aku yakin, Darren pasti terpengaruh olehmu. Awalnya aku takut kau yang akan terpengaruh tapi ternyata... kebalikannya."

Sung Yi hanya tersenyum menjawab itu. Sebenarnya, pengaruh besarnya adalah Xiao Xing. Sung Yi hanya tim hore saja, tidak lebih. Tapi tidak mungkin juga ia mengatakannya terang-terangan ke Zong Bao laoshi.

"Kalian sebentar lagi akan naik kelas dua belas tidak terasa juga, Darren berubah pesat," kata Zong Bao laoshi sedikit melamun. Bagaimana pun, pria ini adalah orang yang memberikannya beasiswa untuk disetujui kepsek sejak Darren SMP. Pasti kenyataan kalau Darren ikut Olimpiade Fisika hari ini sudah menjadi sengatan haru untuknya.

"Kata Darren, laoshi adalah walinya yang memberi beasiswa waktu SMP dulu," ujar Sung Yi hat-hati.

Zong Bao laoshi menoleh sambil tersenyum kecil, "dia menceritakan padamu?"

"Ya. Karena rumah kami berdekatan juga, jadi aku sering mengobrol." Sial, kenangan itu jadi berputar pahit di tenggorokan Sung Yi sendiri.

"Benar. Kalau Darren berusaha lebih, dia bisa jauh mengalahkan Alan. Bahkan menjadi murid paling hebat di sekolah. Tapi sayangnya, kehidupan orang itu selalu punya hambatan. Dan aku bukan siapa-siapa yang bisa menyelesaikan masalahnya. Jadi, yah, aku hanya bisa mengawasinya setiap hari."

Jadi itu sebabnya juga Zong Bao laoshi selalu keras. Mungkin baginya, Darren yang berubah itu cukup menjadi sebuah pukulan berat yang dialaminya selama menjadi wali di SMP. Perubahan yang tidak pernah diceritakan Darren sampai hari ini.

"Sebenarnya, kenapa Darren berubah ya laoshi?" Sung Yi tidak sungguhan untuk bertanya itu, otaknya mulai memegang kendali sendiri.

"Itu... karena orangtua Darren yang terlalu menuntutnya. Waktu dulu, orangtua Darren mengajukan SMA di luar negri, tapi Darren menolaknya. Karena kesal dengan beragam tuntutan, mungkin itu juga sebabnya dia jadi berandal. Dia ingin menunjukkan pada semua orang kalau dia adalah kendali untuk hidupnya sendiri. Kau tahu Sung Yi, kadang, anak-anak sekolah itu lebih tahu ke mana mereka ingin berlabuh di hidup dewasa nanti, tapi sayangnya, orang dewasa terlalu tertutup untuk memahami orang lain karena mereka sibuk memikirkan diri sendiri. Orangtua Darren itu sibuk sekali, sampai jarang memperhatikan dia, jadi aku sebagai Wali-nya waktu SMP dulu hanya ingin membiarkan dia berkembang sesuai jalan yang pilih. Dan apa yang kulakukan selama ini hanya terus menjaganya. Itu saja."

Penjelasan itu membuat Sung Yi melamun setengah beringsut. Zong Bao laoshi pamit karena pria itu harus kembali ke ruang auditorium. Saat Sung Yi tanpa sadar sudah berjalan di depan pintu ruang auditorium yang terbuka, ia terhenti sejenak dan pandangannya bertemu dengan sosok cowok yang jambulnya diangkat ke atas.

Darren yang sedang fokus mengerjakan soal, tiba-tiba mengangkat wajah.

Untuk hari-hari yang sudah tidak terhitung lagi, mata mereka kembali bertemu. Dan untuk yang pertama kalinya, Sung Yi mengakui jantungnya yang berdegup keras mengatakan kalau ia merindukan cowok itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top