第二十七天 (27) ekstra
Lampu-lampu di sepanjang gang kompleks rumah sudah menyala. Setelah musim panas, udara malam jadi agak berembus dingin. Keheningan di sepanjang blok itu dipecah oleh suara langkah kaki Sung Yi dan Alan. Sambil menyeret sepedanya, Alan menengadah menatap langit.
Entah untuk berapa kali Sung Yi merasa bersyukur memandang wajah cowok itu. Rasanya seperti pertama kali Sung Yi bersitatap, bicara dan berjalan bersama lagi. Dadanya tersengat rasa hangat yang selama ini ia cari. Rasanya sangat nyaman dan menyejukkan.
"Yue Yue suka musim panas. Dia bilang, langit malam banyak bintangnya," ujar Alan seketika.
Sung Yi menengadah, beberapa minggu dari musim panas, langit malam sudah penuh awan. Bintang-bintang tertutup lagi. Tanda musim dingin semakin dekat. Hari kenaikan kelas akan tiba.
"Aku setuju. Kau ingat cerita teleskopku? Dia hanya berguna kalau musim panas," kata Sung Yi yang sempat menceritakan rasi bintang pada Yue Yue. Anak kecil biasanya punya ketertarikan khusus pada hal-hal yang sulit dijangkau.
"Aku jadi baru ingat bertaruh dengan Yue Yue untuk membelikannya teleskop," sahut Alan sambil tertawa. Sung Yi juga ingat taruhan itu. Waktu Sung Yi main ke rumah Alan dan Yue Yue selalu berisik oleh imajinasinya tentang bintang jatuh.
"Kenapa tidak kau belikan bintang jatuh saja?"
Keduanya bertatapan sejenak lalu tertawa.
"Buat apa aku membelikannya? Tinggal kuberikan saja kau pada adikku," sahut Alan kontan membuat Sung Yi tertegun. Alan yang melihat itu langsung terkekeh.
"Bercanda."
Sung Yi memaksakan sedikit senyum walau jantungnya berdegup lebih keras. Untung saja mereka sudah tiba di depan rumah. Alan memberikan sepedanya pada Sung Yi.
"Kau tidak jadi belajar?" tanya Sung Yi melihat Alan tidak ikut masuk gerbang rumah.
Alan tersenyum. "Kurasa aku mengatakan itu karena aku tidak mau berpisah denganmu."
Eh?
Sung Yi mengerjap beberapa saat, tanpa sadar hening yang merambat membuat Alan menatap serius. Cowok itu menarik napas sejenak lalu sebelum Sung Yi menduga apa pun, Alan berujar lembut.
"Kita pacaran, ya?"
Satu kalimat itu.
Sekilas Sung Yi ingin bertanya sekali lagi, tapi ia menemukan bibirnya beku tak bisa dibuka. Napasnya tersendat, matanya terarah ke Alan yang mendekat lalu mengecup pipinya cepat. Tubuh Sung Yi kian membatu, tenggorokannya refleks kering di atas senyum Alan yang mengutuk itu semua.
"Kau tidak perlu menjawabnya sekarang. Aku akan menunggumu."
Setelah berkata demikian, Alan berbalik ke arah sebelumnya dan melangkah pergi. Cowok itu sempat melambai sekilas tapi Sung Yi tak mampu melakukan apa pun selain jantungnya yang bergemuruh ribut.
Ya Tuhan, apa yang baru saja terjadi?
Dari tengah malam yang hening tiba-tiba suara seseorang mengagetkannya.
"Selamat!"
Sung Yi kontan menoleh ke samping. Di depan rumahnya, Darren yang masih memakai seragam dengan satu kancing terbuka tersenyum ke arahnya.
"Da—Darren?" Detik berlalu terlalu cepat, Sung Yi tak tahu harus memproses yang mana. Tapi Darren kembali berujar santai.
"Ternyata kita memang ditakdirkan bersama ya? Aku juga hari ini baru saja berpacaran dengan Xiao Xing."
Jantung yang tadinya berdebar tak keruan, tiba-tiba menciut seperti plastik yang terbakar. Sesuatu yang kosong selama itu seketika berubah panas. Mencekam dan menyesakkannya. Ia menatap Darren yang masih memandangnya dari depan rumah. Siluet postur Darren yang memegang gerbang membuat Sung Yi tak bisa membuka mulut.
Tepat waktu Sung Yi ingin bersuara, Darren langsung berbalik dan masuk ke rumah. Tanpa meninggalkan sepatah kata lagi, Sung Yi merasa sebagian dirinya patah.
xx
Sung Yi: [Alan, kau tidak perlu menunggu. Kita pacaran, ya.]
xx
Udara musim gugur berembus menerpa wajah Sung Yi. Terbiasa tidak lagi mengenakan kacamata, ia juga terbiasa membiarkan jok belakang sepedanya kosong. Tidak lagi ada yang ia tunggu kecuali Alan setiap pulang sekolah. Beban kayuhan yang selama ini ia tempa juga berkurang. Seiring dengan pelajaran dan hari-hari menuju ujian. Semua murid semakin sibuk belajar, bahkan ujung untuk liburan nampak tak terlihat sama sekali. Tapi semakin Sung Yi disibukkan dengan sekolah, ia semakin dijauhkan dengan khayalan yang dulu sering singgah dalam pikirannya.
Daun di pepohonan mulai kecoklatan, merah dan gugur, mengotori jalanan bahkan ikut tergulung bersama angin. Sesampainya di sekolah, Sung Yi bertemu Alan di depan gedung utama. Cowok itu memberikan hot pack dan dengan lembut, menyisipkannya ke saku jaket Sung Yi. Ia berujar pelan, "semoga ujiannya lancar."
Sung Yi mengangguk, masih tak percaya kalau Alan yang ada di depan matanya kini memenuhi seluruh hidupnya hampir satu bulan ini.
"Apa kau butuh doaku?"
Alan tergelak pelan, "aku sangat berterima kasih kalau kau memberikannya."
Dari dalam tas, Sung Yi mengeluarkan sebuah kancing yang ditempel ke sebuah peniti. Ia merogoh ransel Alan di belakangnya, Alan hanya membiarkannya mengambil kotak pensil kain itu. Kemudian Sung Yi menusukkan peniti berkancing dengan jahitan tulisan—ALAN SEMANGAT-DARI TEMAN KENCAN RESMIMU—yang kemudian ditertawakan oleh Alan.
"Apa kau serius?"
Sung Yi setengah mendongak sambil mengembalikan kotak pensil dan memasukkannya ke dalam tas Alan.
"Apa kau tidak suka?"
Alan berbalik dan menghadap Sung Yi yang lebih pendek. Ia mengangkat sebelah tangannya lalu mencubit pipinya.
"Terlalu imut," katanya. Pipi Sung Yi pasti semerah tomat sekarang, Alan tertawa sejenak lalu mereka berpisah di koridor panjang yang memisahkan gedung cewek dan gedung cowok.
Musim ujian semester sekaligus kenaikan kelas. Orang-orang yang lalu lalang tak sempat menggoda mereka lagi, mereka sibuk berkonsentrasi dengan buku di tangan dengan mulut merapal hapalan. Hari pertama ujian—Matematika dan Moral.
Dari dalam kelas yang meja kursinya sudah diatur satu-satu, Sha Yue dan Wei Wei melambai. Sung Yi menempati kursi sesuai nomor urutnya di belakang. Tidak banyak berubah kecuali Xiao Xing yang duduk di barisan paling belakang sesuai urut absen.
"Kita kedapatan teman baru," kata Sha Yue melirik ke arah Xiao Xing. Kebetulan, teman-teman Xiao Xing sendiri menempati kelas yang lain, terpisah dari kelas utama. Masing-masing kelas akan dibagi dua menjadi sepuluh orang per satu kelas. Gelombang satu dan gelombang dua. Gelombang satu bagi murid nomor absen 1-10 sementara gelombang dua nomor urut 11-24. Membuatnya jadi terbagi menjadi jam ujian pagi dan siang. Kebetulan, jadwal hari ini adalah gelombang dua lebih dulu.
Xiao Xing tersenyum riang, ia menatap Sung Yi yang kursinya hanya berjarak beberapa meter.
"Aku baru sadar kalau ujian kita selalu di gelombang yang sama," kata Sung Yi mengeluarkan roti lapis dan susu pisang yang dibawakan Ibu sebagai doa keberuntungannya.
Sha Yue mau menyahut, tapi Xiao Xing keburu menyela.
"Waktu dulu kita kan belum terlalu dekat."
Baru Sha Yue menyahut, "kalau bukan gara-gara Darren, pasti kalian tidak mungkin dipertemukan. Ah, lagi pula, Sung Yi sendiri sudah semakin populer, jadi aku pun tidak ingin berpindah geng."
Wei Wei menggeplak kepala Sha Yue. Cewek itu berjengit kesal, "kau ini. Selalu saja berprovokasi. Tunjukkan nilaimu lebih dulu baru mau berdebat dengan level Xiao Xing."
Baik Xiao Xing atau Sung Yi hanya tertawa pelan. Tentu dengan mulut mengerucut Sha Yue, ia mengakui kekalahannya.
"Tapi ya, Xiao Xing, bagaimana sekarang hubunganmu dengan Darren sejak pacaran? Wah, berita itu meledak, belum lagi waktu gosip Alan dan Sung Yi pacaran. Kupikir matahari tidak akan pernah terbit dari Timur." Sha Yue berceloteh seakan paling pintar sehingga lagi-lagi Wei Wei perlu menyentil keningnya.
"Matahari memang terbit dari Timur kau idiot! Wah, lihat siapa yang benar-benar tidak lulus!" sergah Wei Wei setengah menggeleng.
"Kurang ajar! Eh, tapi bagaimana Xiao Xing? Ayolah aku penasaran. Lagipula, Darren sekarang benar-benar berubah total. Apalagi sejak kemenangan kalian itu. Wah... SMA kita ini digemparkan dengan beragam gosip yang mewarnai masa kelas dua, loh."
Dada Sung Yi meringis. Walaupun kepalanya menunduk membaca hapalan rumus fungsi dan log, mulutnya sibuk mengunyah roti lapis, tapi tetap saja bayangan di otaknya tentang Darren yang berubah total sesuai perkataan Sha Yue mengusiknya.
"Kami baik-baik saja. Aku kan sudah cerita juga ke Sung Yi kalau Olimpiade itu sepenuhnya poin Darren yang menolong kami. Kalau tidak, mungkin sekolah kita akan kalah dengan SMA Timur."
Terdengar Sha Yue mendecakkan lidahnya, "hebat. Sung Yi tidak pernah mengobrol dengan Darren lagi jadi yah, dia tidak pernah membicarakannya."
Sung Yi merasa Xiao Xing menoleh penuh tanya, tapi ia tidak menggubris. Membiarkan kepalanya terus terpaku pada buku. Ia tidak ingin mengacaukan hari pertama, jadi lebih baik ia fokus.
"Kenapa Sung Yi tidak membicarakannya?" tanya Xiao Xing masih menatapnya.
"Itu..." Wei Wei mencolek Sung Yi, lalu mau tak mau ia mengangkat wajah dan pura-pura tidak mendengar.
"Eh, apa? Apa? Kalian bilang apa?"
Sha Yue mendengus, "kau ini. Lihat, terlalu dekat dengan Alan membuat otaknya jadi menempel ke buku. Lengket seperti tinta dan kertas. Sialan."
"Sha Yue! Jangan mengumpat! Kau benar-benar tidak mau lulus ya?" Wei Wei memprotes sementara Sung Yi tertawa. Di sebelahnya, Xiao Xing menjangkau pandangan Sung Yi.
"Kenapa kau tidak pernah cerita kalau Darren tidak pernah menghubungimu lagi?"
Sung Yi agak terbata, tapi ia sudah menguasai ekspresi ceria yang khusus ia latih untuk pertanyaan-pertanyaan seperti ini.
"Darren... sungguh, aku dan dia tidak kenapa-napa. Kami hanya membatasi hubungan itu. Kau tahu, kau dan dia kan sudah pacaran, aku juga. Lalu kami sibuk belajar jadi yah, seperti itu saja. Normal, bukan?" Sung Yi menambahkan senyum kering, tapi wajah Xiao Xing tidak terlihat yakin. Gadis itu memilih mengangguk penuh tanya.
Meski begitu, bukankah memang sudah sewajarnya kalau Darren tidak lagi memerintah seperti dulu? Darren bukan lagi Bos yang bakal menaiki sepedanya. Hari-hari itu sudah berlalu, lembaran demi lembaran buku sudah berbalik menuju masa depan yang baru. Bagaimana pun, Darren hanya akan tersimpan di satu kotak yang hanya Sung Yi tahu, mungkin kuncinya adalah kerelaan Sung Yi yang sesungguhnya.
xx
Minggu ujian terlewati. Penghujung musim dingin sudah di depan mata. Kelas kosong, murid-murid pulang di hari terakhir. Kesibukan masa ujian terlewati hanya sekejap mata. Mereka saling menyemangati, hasil ujian mungkin bagus atau jelek. Tidak mudah untuk ujian kedua terbesar selama dua tahun mereka. Tapi yang pasti, setelah ujian besar, akan ada hari bersenang-senang.
Sung Yi mengundang Alan ke rumahnya setelah ujian. Lalu mereka bermain seharian ke taman bermain, mengisi lembaran baru yang begitu penuh warna. Karena cinta pertama, Sung Yi tahu rasanya berdebar-debar dan takut kehilangan. Kelas dua belas, mereka akan mengukir hal baru lagi. Cinta monyet yang pernah Sung Yi bilang waktu itu, ternyata tidak sesungguhnya cinta biasa. Setiap hari Sung Yi merasa selalu ingin menggambar kenangan bersama Alan. Menenggelamkan pahit yang ia simpan dalam lembar-lembar sebelumnya. Tapi, bukankah kenangan pahit memang harus disembunyikan? Ini adalah dongeng masa SMA yang harus ia buat sebagus mungkin untuk masa depannya.
Kadang, Sung Yi bertanya pada bintang-bintang yang sesekali terlihat lewat teleskopnya, apakah Darren sebenarnya masih temannya? Jika ya, ia ingin sekali saja melihat Polaris. Menunjukkan diri meskipun kesannya mustahil. Balkon Darren kosong. Cowok itu semakin tidak pernah nampak di rumah. Hanya kamarnya yang terang benderang. Sung Yi ingin melemparinya dengan kerikil tapi niat itu selalu tertahan kalau mendengar suara Darren yang tertawa.
Cowok itu pasti sedang menelepon Xiao Xing.
Yah, beginilah akhirnya. Siapa pun yang membuat rencana, bagi Darren, mungkin Sung Yi bukan lagi rekan sepermainannya. Sedalam apa Sung Yi pernah merasa, tapi yang jelas, Darren tidak mengalami hal yang sama. Cewek yang Darren sukai tetap hanya Xiao Xing.
***
Uuuhh yang sesuai rencana emang kadang hasilnya nggak seperti yang diharapkan. Atau kadang, yang nggak direncanakan memang lebih menyentuh hati? Hari besok emang selalu jadi misteri sih ya haft.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top