"Benarkah? Pengumumannya hari ini?"
Dua hari setelah hasil Olimpiade selesai dan seluruh sekolah merayakannya dengan meriah, bersama gosip yang berlalu lalang, Darren dan Xiao Xing jadi pasangan baru yang menarik perhatian. Kelas Darren kini sering dihampiri siswi kelas sepuluh, mereka banyak memberikan hadiah dan semacam surat. Sung Yi tahu gosip itu dari Xiao Xing. Darren jadi luar biasa terkenal.
Udara yang menerpa lorong sekolah mulai terasa dingin. Beberapa siswa melengkapi seragam dengan sweater warna warni. Sambil berjalan dari kantin, Sung Yi yang tadi ketemu Xiao Xing mengobrol sampai kelas.
"Kita akan tahu hasilnya nanti, tapi paling sekolah merayakannya Senin depan," ujar Xiao Xing.
"Ah, benar juga ya. Ini sudah akhir pekan. Satu minggu lagi sudah Ujian Tengah Semester. Lalu beberapa bulan lagi, Ujian Akhir dan kenaikan kelas."
Xiao Xing mengangguk, membuat kunciran rambutnya bergoyang, "benar. Cepat sekali ya kita naik kelas dua belas."
"Eh kita harus merayakan kemenanganmu nanti, bagaimana?" usul Sung Yi.
Wajah Xiao Xing tersenyum kecut, "aku juga mau sekali, tapi sepertinya ayah dan ibuku hari ini akan pulang dan aku akan merayakannya bersama mereka. Tidak ada izin, aku tahu persis."
Sung Yi memasang raut menyesal, "ah, menyebalkan. Tidak apa. Kita akan mendapat izin untuk kenaikan kelas nanti, kan?"
Xiao Xing mengangguk semangat, "tentu saja. Karena Darren sampai hari ini juga jarang mengajakku keluar. Dia yang main ke rumahku dengan Shasha."
"Ah..." ingatan Sung Yi agak tersendat tapi ia tetap pura-pura senyum, "dia pasti masih berusaha keras ya?"
"Entahlah. Aku merasa ada kerenggangan justru."
"Bagaimana bisa?"
"Kudengar, kau dan Darren juga lagi tidak bicara selama beberapa minggu?"
Bukan beberapa minggu, ini sudah hampir tiga bulan!
"Ehm, itu karena aku paham dia sedang mendekatimu. Juga urusan Olimpiade, dia pasti sibuk. Aku juga tidak mau mengganggunya."
"Ah, apa kau baik-baik saja?"
Sung Yi mengerjap sambil tertawa, "tentu saja baik. Dia kan hanya temanku."
"Tapi Sung Yi," kata Xiao Xing setengah melamun, "terkadang, walaupun hanya teman, dia tetap bisa menjadi orang penting buatmu, kan?"
Perkataan Xiao Xing menyerap dalam, menusuk permukaan hati Sung Yi hingga lebur bersama rasa pahit yang selama ini ia simpan. Ia sendiri tidak tahu kenapa Darren tidak pernah mau bicara lagi kecuali seperti asumsi yang ia pikirkan selama ini. Tapi Xiao Xing benar. Walau Sung Yi tahu bagaimana jantungnya sering berdebar tak sadar, di luar batas itu, Darren adalah teman paling penting di hidup Sung Yi.
Memikirkan ini membuat dada Sung Yi sesak, ia mau menangis. Jadi lebih baik ia terkekeh saja.
"Dia memang penting. Tapi... kau pasti lebih menganggapnya penting, kan?"
Xiao Xing menunduk setengah tersenyum sipu, "aku tidak tahu. Aku hanya menyukainya dan ingin ada di sampingnya. Apalagi selama latihan dan belajar untuk Olimpiade kemarin, kami sudah cukup saling mengenal satu sama lain."
Sung Yi terdiam beberapa saat lalu mengangguk. Sampai di kelas, mereka berpisah dan duduk ke kursi masing-masing. Xiao Xing menyedot teh susunya lalu beralih membuka buku, sementars Sung Yi duduk di kursi belakang termenung, merasakan denyut jantungnya yang kian memerih.
xx
Alan: [kita harus mencoba roti lapis baru di kedai depan! Nanti pulang aku tunggu di parkiran ya!]
Pesan itu membuat sengatan baru di jam pelajaran paling membosankan kelas sore. Sosiologi. Sung Yi mengetik balasan di bawah meja lalu memikirkan roti lapis yang kini memenuhi otaknya. Bagaimana pun, sekolah memeras tenaga.
Setelah jam pelajaran terakhir beres, murid-murid keluar berbondong-bondong memenuhi koridor dan gerbang sekolah. Sung Yi berpisah dengan Sha Yue dan Wei Wei di belakang parkiran. Sebelum Sung Yi mencari sepedanya di barisan sepeda-sepeda lain, ia sudah menemukan Alan, menduduki jok depan. Wajah Alan sumringah waktu mereka bertemu pandang.
Pemandangan itu sekilas membuatnya teringat pada Darren.
Sial, jangan memikirkan itu sekarang!
"Apa kau sudah menunggu lama?" tanya Sung Yi sambil melepas kunci. Alan agak miring ke samping, lalu setelah sepeda terbuka Alan tidak pindah ke jok belakang.
"Kelas kami ada ujian, aku selesai lebih dulu. Yah, hampir sepuluh menit menunggumu. Jadi..."
Tangan Alan menyentuh bahu Sung Yi dan setengah menyeretnya ke jok belakang.
"Hari ini, aku yang jadi supir!"
"Eh? Wah, nampaknya hari ini ada yang membuatmu senang ya? Tidak biasanya?"
Alan hanya melempar senyum mautnya lalu mengayuh sepeda keluar sekolah. Tetap dengan pandangan orang-orang yang masih suka tak menyangka kalau Sung Yi dari geng yang Tidak Pernah Dianggap, kini jadi Teman Baik Tahap Selanjutnya Alan.
Dari kejauhan, waktu Sung Yi tak sengaja melihat ke arah taman depan, Darren yang berjalan bersama A Shu dan Liao Ren menatapnya tanpa ekspresi.
xx
Kedai itu ada di dekat jalan besar Minzu dekat rumah Sung Yi. Ia sendiri jarang ke kedai-kedai makanan seperti ini. Dia lebih baik menyimpan uangnya untuk jajan susu boba dan membeli komik. Pasalnya, ibu jarang kasih uang tambahan karena tahu lemari Sung Yi sudah jebol oleh komik-komik.
Alan memesan meja di pojok dekat jendela luar. Setelah memesan roti lapis yang dimaksud—walau sempat tergiur untuk mencoba susu bobanya—Sung Yi menahan lapar matanya. Ia beralih ke arah Alan yang merapikan meja dengan lembut. Tiba-tiba Sung Yi bersitatap dengan cowok itu.
"Ada apa?" kata Alan sambil tersenyum.
"Eh, itu... kau sudah tahu hasil Olimpiade Fisika? Kata Xiao Xing, hasilnya keluar hari ini?"
Alan menahan senyum lalu sedikit berpikir-pikir sebelum menjawab. Jelas Alan seharusnya tahu. Dia panitia penyelenggaraan dua hari yang lalu.
"Aku tahu, makanya itu aku merayakannya hari ini."
Jantung Sung Yi berdebar, ia hampir melompat kalau bukan mengingat Alan ada di depannya. Darren dan Xiao Xing berhasil juara?! Yang benar saja—
"Ah, padahal aku sudah bersiap-siap untuk membuat perayaan buat mereka berdua, tapi sepertinya Xiao Xing lagi tidak bisa."
Pesanan mereka datang. Roti lapis yang berisi yoghurt dicampur selai buah lainnya mengisi mangkuk mereka. Sung Yi segera mencicipinya tapi Alan cuma memandangnya sambil tersenyum.
"Kenapa kau tidak makan?" tanya Sung Yi sambil mengunyah.
Alan menjawab pelan, "melihatmu makan saja sudah membuatku kenyang."
Alhasil Sung Yi batuk-batuk. Ia disodori es jeruknya lalu menenggak sesaat. Sung Yi berusaha menjernihkan otaknya tapi ia tidak bisa. Bayangan Alan yang mengisi debar jantungnya kini membuatnya tertegun.
Sung Yi menatap Alan di depannya lalu tertawa.
Jantungnya berdegup untuk Alan! Akankah ini akhir dari kisahnya dan Darren?
"Apa kau benar-benar berniat kuliah di Taipei?" tanya Alan mulai memotong rotinya. Sung Yi mengangguk dengan mulut penuh.
"Aku sangat yakin. Kau sudah lihat betapa keras aku belajar bersamamu, bukan?"
"Itu keren. Hasilnya juga lumayan."
Dari angka 40, kini Sung Yi bisa mencapai 68. Sebuah kemajuan drastis yang bikin orang-orang semakin iri. Pasalnya, bukan hanya karena pernah bertengkar dengan Darren, tapi Sung Yi menjadi gadis yang paling sering dicemburui satu sekolah karena belajar terus bersama Alan. Bahkan nilainya sudah memberi bukti. Selain perubahan secara fisik, Sung Yi juga menyerap segala ocehan Sung Hee yang bilang kalau cowok itu tidak melihat cewek dari fisik saja, tapi dari otak. Sekarang, Sung Yi baru mengerti dan ia sangat setuju dengan itu.
"Apa kau malam ini mau belajar lagi?" tanya Alan sepintas.
Bagi Sung Yi, lebih sering ia sibuk belajar, lebih sering juga ia melupakan tetangga sebelahnya.
"Tentu kalau kau mau. Maaf ya, Alan, tapi aku suka sekali belajar denganmu. Rasanya segala rumus bisa langsung paham kalau kau yang membantu."
"Benarkah?" sahut Alan setengah terpengarah. Tapi memang begitu rasanya. Sung Yi dulu tidak tahu harus bertanya ke siapa. Sha Yue dan Wei Wei juga tidak begitu pandai dalam matematika, tapi begitu Alan dengan lemah lembut membantunya, sebagian otak Sung Yi yang dulu sekeras batu, kini beralih lebur oleh penjelasan Alan.
Pelan-pelan, Sung Yi mengangkat wajah. Dari hadapannya, lekuk rahang Alan yang tidak terlalu keras, polesan silute dari matanya yang kecil dan memesona serta dijatuhi poni membuat debar jantung Sung Yi semakin keras. Semakin kencang dan...
"Iya, benar," jawab Sung Yi setengah melamun. Kemudian Alan tertawa pelan sampai matanya menyipit.
"Kalau begitu, biarkan aku yang menyupir lagi, oke?"
Sung Yi mengangguk antusias. Lebih baik begini. Daripada Sung Yi berkendara sendiri, ia lebih tak menyangka kalau jok belakang yang selama ini terisi, benar-benar membuatnya merasa kosong waktu Darren tak lagi mengisinya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top