第三十天 (30)
"Sung Yi, jangan tinggalkan aku! Pegang, pegang! Ya Tuhan!"
Sha Yue terus menjerit sejak kakinya terselimut sepatu roda. Belum juga meluncur, tangannya sibuk terkibas-kibas berusaha menggapai sesuatu yang lewat di depannya. Malam itu, sebelum ujian akhir semester, menghabiskan musim semi yang sebentar lagi berganti, ketiga gadis itu berputar-putar di arena sepatu roda. Kebetulan bibi pemilik arena belum tutup, Sung Yi yang sudah lelah dengan otaknya yang penat pun segera mengajak kedua monster ini main sepatu roda. Alan sengaja ditinggal di rumah, memeriksa jawaban. Sebagai pacar yang selama ini mengajarkan Sung Yi, cowok itu juga berperan menjadi guru pribadinya.
Bagaimana pun, ia harus menjernihkan pikiran sebelum membenci matematika lebih jauh.
"Kau jangan takut jatuh, idiot!" Wei Wei setengah mencemooh melihat Sha Yue kini sudah berpelukan pada pagar pembatas arena. Melihat itu, Sung Yi hanya terkikik puas. Ternyata ini ya rasanya melihat orang yang belum bisa main sepatu roda? Wah, Darren pasti sangat puas menertawakannya waktu itu...
"Ayo bangun, pegang tanganku saja," kata Sung Yi yang lama-lama tidak tega. Ia menuntun Sha Yue berdiri, pegangannya erat sekali sampai Sung Yi bisa-bisa ikut jatuh juga. Dibanding Sung Yi dulu, Sha Yue jelas lebih buruk. Bisa-bisa Darren mungkin lebih kesal dengan cewek ini. Tapi itu cukup lucu. Sha Yue yang punya harga diri lebih dari orang normal tak biasanya menjerit-jerit takut pada lantai.
"Kau hanya perlu tahu rasanya dicium lantai, itu tidak semengerikan dicium laoshi Chen Dan." Wei Wei berteriak setiap meluncur bebas di papan arena. Sha Yue menjerit jijik sementara Sung Yi tergelak.
"Aku tidak percaya Darren pernah mengajarkanmu sepatu roda. Apa dia benar-benar melakukannya?" Sha Yue setengah mengomel, tapi terus berusaha menyeimbangkan kedua kakinya.
"Dia memegangiku, tapi ya dengan mengolok-ngolok."
"Nasibmu memang sangat menyedihkan. Ah, tapi seperti itik buruk rupa, kau malah jadi cantik dan mendapat pegangan yang lebih bagus seperti Alan, benar tidak?" Alis Sha Yue ditaik-taikkan, Sung Yi menahan senyum.
"Walaupun Alan pacarku sekarang, tapi Darren tetap teman terpentingku."
"Sampai sekarang?" tanya Sha Yue meyakinkan.
Sung Yi merasa gugup sejenak, tapi ia segera menjawab, "ya. Bagaimana pun, kalau bukan karena dia, mana mungkin aku bertemu Alan? Alan menyukai aku gara-gara aku bermain sepatu roda."
"Kalau begitu, aku akan mulai bermain sepatu roda dari sekarang dan merebut Alanmu." Sha Yue terkekeh.
"Coba saja kalau begitu," Sung Yi melepas pegangannya, tapi Sha Yue segera menjerit seperti orang gila.
"Baik, baik, aku tidak akan merebutnya. Eh, omong-omong, apa Alan sudah tahu soal catatan harian yang Darren berikan padamu?"
Padahal Sung Yi paling malas membahas ini. Tapi cepat atau lambat, Alan juga harus tahu. Sebagai pacar hampir satu tahun, Sung Yi tidak ingin menyembunyikan apa pun. Ia mencontoh dari ibu yang selalu membicarakan apa pun hal tidak penting sampai ayah tahu. Kata ibu waktu tahu Sung Yi dan Alan pacaran, saking menginginkan menantu sebaik Alan, ibu bilang—sekali pun melakukan kesalahan, kita harus berkata jujur pada pasangan kita. Sung Yi belum berpikir sejauh itu, tapi ia ingin melatihnya dari sekarang.
"Mungkin nanti setelah ujian. Aku tidak mau merusak konsentrasinya."
"Xiao Xing bagaimana? Dia pacarnya selama ini, tapi tidak pernah diberi kejelasan. Wah, kenapa ceritamu seperti di komik-komik ya? Merepotkan sekali."
Sung Yi tersenyum kecil, mungkin ini memang merepotkan. Tapi Sung Yi cukup menyukainya. Setidaknya, untuk sekarang, setelah sadar, kenapa ia bisa ada di arena sepatu roda ini adalah karena Darren pernah memberi kebebasan di tempat ini. Pernah membantunya mengarahkan masa SMA-nya ke tempat yang lebih berwarna daripada yang ia bayangkan.
"Aku rasa... itu harus kupikirkan lagi," jawab Sung Yi.
Tangan Sung Yi ditahan oleh Sha Yue yang beralih menghadapnya serius. "Kita sudah bukan anak-anak lagi, Sung Yi. Urusan ini harus kau jelaskan terang-terangan. Lagipula, jangan takut dia marah. Ini adalah pengakuan Darren sendiri. Kau juga tidak akan berpacaran dengan cowok itu, kan kalau pun kau menyukainya? Kau harus bersama Alan."
Sung Yi menatap ke dalam mata sahabatnya itu. Jelas tertampik raut cemas yang berubah dalam sekejap. Membuat Sha Yue mengerjap bingung.
"Apa kau jangan-jangan menyukai—"
Sung Yi buru-buru menutup mulut Sha Yue dan menghentikannya. Kata-kata itu tidak boleh keluar. Tidak untuk sekarang.
"Jangan bicarakan ini. Aku tidak suka. Bagaimana pun, aku akan menjelaskannya pada Xiao Xing. Tapi mungkin nanti."
Sha Yue menahan Sung Yi yang hendak beranjak.
"Tidak masalah kalau kau menjelaskannya kapan pun, tapi kau harus jujur dengan dirimu sendiri. Siapa pun itu, tidak boleh membuatmu sedih. Aku sudah cukup khawatir waktu Darren menghilang, tapi untung saja ada Alan. Dia adalah pria penolongmu."
Mendengar itu, jantung Sung Yi menghela lega, ia tersenyum dan mengangguk, menyetujuinya.
"Alan memang penolongku. Sejak awal dia penolong masa-masa SMA-ku."
Dan tentu, bersama teman terpentingku.
xx
Di tengah musim panas tahun ketiga, Sung Yi sedang sibuk memprediksi garis Centaurus yang biasanya ada di tengah langit. Anehnya, hari ini nampak pergeseran yang tidak biasa. Sung Yi mengintip lagi ke dalam teleskop. Langit hitam menyisakan kerlap-kerlip yang saling menimbun itu sekali lagi di telaah. Tapi Centaurus tetap tidak ada.
Sung Yi mengangkat wajah, menengadah sendiri lewat mata telanjangnya. Langit ini tidak sedang bercanda, bukan? Bagaimana bisa bintang-bintangnya bergeser secepat itu?
Sekali lagi Sung Yi mengintip ke teleskop, ia menjelajah ke sisi kanan dekat Venus. Posisi Venus sendiri, sebagai bintang paling terang cukup membingungkan. Apa ini karena dia jarang membaca rasi bintang saking sibuknya belajar? Wah, gawat sekali, ia bahkan lupa dengan posisi mereka! Sung Yi menghela napas sedih, ia tidak menyangka bisa lupa dengan letak mereka apalagi dengan pergeserannya. Sambil kembali menelusuri rasi-rasi bintang yang masih bisa diikuti, Sung Yi menghitung baris jajar mereka kemudian disatukan sendiri dengan bayangan sesuai peta rasi bintangnya.
"Hai Perseus," gumam Sung Yi sambil terus berjalan ke sisi kanan. Jika dari sebelah kiri ada rentang yang cukup jauh setelah Ursa Minor, seharusnya ia bertemu Camela dan Perseus. Tapi ketika ujung teropongnya semakin bergerak ke atas, di antara jarak yang hampir tak ada satu pun bintang, tiba-tiba Sung Yi terpekik.
Satu bintang paling terang terjangkau cukup jauh dari kumpulan bintang-bintang yang lain. Jaraknya masih terpaut oleh Ursa Minor. Sambil memastikan sekali lagi dengan mata kepala sendiri—yang jelas, tidak nampak karena terlihat sangat kecil dan jauh, Sung Yi kembali ke teropong.
Bukankah itu Polaris?
Ia memungut buku pengetahuan rasi bintang dan luar angkasa di bawah lantai lalu membaca lagi kemungkinan kemunculan Polaris.
Polaris dapat dilihat dengan teleskop sederhana dan letaknya ada di ujung Ursa Minor. merupakan super raksasa dengan diameter hampir 40 kali lebih besar dibanding Matahari dan massa lima kali lebih berat.Namun, karena Utara berjarak sangat jauh dengan Bumi, paparan cahaya yang sampai ke Bumi tak seterang Matahari. Peran Polaris sebagai petunjuk arah berlaku selama ratusan tahun. Bahkan Bintang Utara juga bisa memberi tahu garis lintang. Sebab, sudut dari cakrawala Polaris sama dengan garis lintang posisi kita. Sayangnya, Polaris tidak berguna sebagai alat bantu navigasi bila kita berada di selatan khatulistiwa karena Polaris turun di bawah cakrawala. Polaris paling mudah terlihat di negara-negara Amerika dan Eropa.
Sung Yi kembali mengintip ke teleskop. Menatap ujung bintang yang ada di kaki Ursa Minor yang sangat terang itu.
"Apakah itu benar-benar Ursa Minor juga? Arghh! Kenapa bintangnya bergeser?"
"Sung Yi?"
Suara Alan mengejutkannya sesaat, ia mengangkat wajah lalu menemukan cowok itu sedang berdiri di tengah tangga atapnya. Ia setengah tersenyum lalu menghampirinya.
"Sejak kapan kau di situ?" tanya Sung Yi membereskan peta-peta rasi bintangnya, memberi Alan tempat untuk duduk di undakan atap.
"Sejak kau marah-marah kenapa bintangnya bergeser? Apa iya bintang bisa bergeser?"
Sung Yi mengangguk, "aku pernah mendengar kalau bintang bisa bergeser. Tapi pergerakan mereka seharusnya lambat, bahkan bisa bertahun-tahun. Masa iya, karena aku sudah tidak melihat mereka, mereka bergeser begitu saja?"
Masih belum habis pikir kenapa ditinggal satu tahun saja mereka sudah pindah lokasi. Mencari rasi bintang di antara tumpukan cahaya kecil itu tidak mudah. Ia harus menghitung jarak dan feeling-nya kembali dari titik ia bisa meletakkan teropong dan angle-nya. Alan yang sudah duduk di undakan atap, menatap ke atas langit.
"Rasanya seperti masa-masa remaja kita, bukan?" sahut Alan tak beralih dari langit malam yang cerah.
"Maksudmu?"
Alan beralih menatap Sung Yi yang berdiri di belakang teropong, menatapnya setengah bertanya.
"Satu semester lagi kita bakal sibuk dengan ujian akhir dan ujian seleksi masuk universitas. Rasanya cepat sekali masa remaja bakal selesai, perubahan sudah di depan mata sama seperti bintang-bintangmu."
Sung Yi mengangguk pelan, ia ikut duduk di sebelah Alan. "Benar. Aku malah sampai tidak sadar teman-temanku itu bergeser," masih menyayangkan titik bintang dan jejak rasi yang harus dicari dari awal lagi. Sulit.
"Yue Yue sepertinya akan SMP di Taipei."
"Benarkah?" Sung Yi terperangah. Alan pernah cerita kalau Yue Yue bakal dapat persetujuan ayahnya untuk tinggal bersama Alan jika lulus SD dengan nilai yang baik. Di tahun kelima ini, gadis kecil itu mungkin menunjukkan hasil yang maksimal. Mendengar Yue Yue bakal ikut ke Taipei, Sung Yi jadi bersemangat. Bukankah semakin ramai semakin bagus?
"Itu bagus, kan?"
Senyum Alan terulas samar, "bagus untuk kami. Tapi aku khawatir ibu tidak setuju. Setiap Yue Yue membicarakan itu, ia hanya ingin ibu ikut dan ibu mengiyakannya saja. Padahal, ibu tidak pernah tertarik ke Taipei. Mungkin mereka ingin pisah sebentar lagi."
Mendengar itu, sebagian dari diri Sung Yi seperti ikut rapuh. Cerita keluarga Alan tidak pernah membaik sejak Alan memutuskan untuk kuliah di Taipei. Di satu sisi, ayah Alan sangat mendukung prestasi Alan, tapi di sisi lain, ibu Alan selalu mengira kalau semua orang itu egois. Hanya memikirkan keinginan mereka tanpa memikirkan perasaan seorang ibu. Padahal, menurut cerita Alan, ibu Alan punya trauma dengan Taipei sejak perceraiannya yang dulu. Ayah Alan yang masih berusaha membujuknya keluar dari masa lalu yang pahit itu masih berjuang sampai sekarang. Dan tentu, Alan hanya bisa menanti keadaan setiap harinya, berharap ibu bisa membaik.
"Tidak apa-apa, kau dan Yue Yue tetap bisa saling menjaga. Ada aku," Sung Yi menyentuh tangan Alan dipangkuannya. Cowok itu menoleh sambil tersenyum sendu, jika memandang Alan dari dekat seperti ini, dengan banyak masalah yang selalu ia berusaha tanggung sendiri, sebagai kakak tunggal, pasti itu berat. Belum lagi harus belajar, memikirkan masalah sendiri saja kadang mustahil punya solusi sendiri.
Tapi Sung Yi hanya bisa meremas tangan Alan yang lebih besar dengan kedua tangannya. Memberi kehangatan berharap itu bisa meredupkan ketakutan dan kekhawatiran yang muncul setiap ia menceritakan masalah ini.
"Aku tahu aku tidak bisa menghapus masalah mereka dan berharap keluarga kami baik-baik saja, tapi...aku masih bisa berharap besok ada sesuatu yang mengubah mereka. Setiap hari adalah harapanku."
Sung Yi memeluk Alan, membiarkan cowok itu meminjam bahunya untuk bersandar. Sembari mengusap rambut cowok itu, ia tidak akan menggunakan kata-kata lagi. Ia sendiri tahu kalau Alan hanya butuh tempat untuk merasa tenang. Merasa bebas dari beban yang selama ini ia tahan dari balik orang-orang. Bersamanya, ia ingin Alan merasa kalau kebebasan itu tetap bisa diraih.
Memikirkan soal kebebasan, Sung Yi juga ingin lepas dari beban enam bulan ini. Ia ingin hubungannya semakin terbuka dan Alan harus tahu.
"Alan, aku ingin memberitahu sesuatu padamu sebetulnya sejak awal ujian kita."
Alan tak mengubah posisinya, "apa?"
Sebelum mengucapkannya, Sung Yi menarik napas lalu menenggak ludahnya sejenak. Mungkin Alan bisa membaca ini, jadi lebih baik ia cepat-cepat mengatakannya.
"Ini soal Darren. Dia..."
Alan tetap diam, menunggu. Tapi keheningan itu semakin membekukan bibir Sung Yi untuk berkata terus terang.
"Dia kenapa?" suara tenang Alan masih merasuk lembut.
Susah payah, Sung Yi akhirnya melanjutkan kata-katanya, "dia... memberikanku catatan hariannya dan di sana dia menjelaskan kenapa selama ini mendiamkan aku."
"Mm-hmm?"
"Dia bilang, dia ingin menjarak dariku karena dia menyukaiku."
Sung Yi menatap teropongnya yang berdiri terpaku menatap langit, bersamaan dengan angin yang bersemilir, mengangkat ujung-ujung kertas dan lembar buku rasi bintang yang terbuka. Alan tak menjawab selama beberapa detik, hening yang menjarak itu cukup membuat debar jantung Sung Yi terdengar. Ia ingin melompat saja dari sini, ia takut Alan mendengarnya.
Tapi kemudian Alan tergelak pelan, semakin menyurukkan kepalanya ke bahu Sung Yi, mencari posisi nyaman. Sung Yi menunduk, melihat Alan yang malah terpejam sambil tersenyum.
"Anak itu, romantis sekali."
"Eh? Kau tidak... marah?"
Mata Alan membuka, ia menatap Sung Yi, "kenapa aku marah? Wajar kalau Darren menyukaimu. Bukankah sudah kubilang kalau dia itu jarang dekat dengan cewek?"
Teringat cerita Alan di perkemahan tahun lalu, Sung Yi beralih menengadah ke arah langit. Seketika pandangan yang terasa luas itu membuat sebagian hatinya terasa lega.
"Tapi aku cukup kaget mendengar itu."
"Tentu saja. Dia tidak seperti yang kau duga, bukan?"
Sung Yi tersenyum kecil. Darren itu seperti angin di tengah musim panas. Kedatangannya tidak pernah diduga. Tapi hari-hari bersamanya justru membuat separuh dari buku kenangan miliknya jadi lebih berwarna. Hari-hari yang tidak akan pernah muncul lagi, hari-hari yang selamanya hanya ia bisa kenang bersama Darren. Dan rasanya, tidak akan pernah sama ketika ia bergandengan dengan Alan. Bagaimana kehangatan lebur untuk kali pertama tanpa kita sadari, justru jatuh pada punggung Darren—seseorang yang membuatnya sadar kalau gara-gara cinta pertama, ia jatuh cinta pada sahabatnya sendiri.
"Sangat tidak terduga," sahut Sung Yi menggambar bayangan itu lebih nyata di antara tumpukan bintang malam.
"Lalu... apakah kau juga menyukainya?"
Seketika Sung Yi mengerjap kecil. Alan bangun dari posisinya, menangkup pipi Sung Yi yang hampir saja memerah dan membuatnya saling bertatapan dengan Alan yang menatap serius.
"Apa kau juga menyukainya?"
Sentuhan hangat membuat suhu tubuh Sung Yi memanas. Ia berusaha menghindar, tapi Alan mengunci tatapan itu. Membuat Sung Yi kesulitan untuk berdalih.
"Aku..."
Alis Alan perlahan-lahan menaik khawatir, bola matanya bergerak-gerak sesuai guncangan degup jantungnya, tangkupan tangannya di pipi mengendur, tapi Sung Yi buru-buru tersenyum lembut ke arah cowok itu.
"Aku terlanjur menyukaimu, Alan," kata-kata itu menghentikan reaksi Alan, "tapi bagaimana pun, aku juga menyukai Darren. Karena dia, aku bertemu denganmu. Karena dia, banyak sekali warna yang tidak pernah kusangka akan menjadi tempat paling bebas yang pernah kumiliki. Bersama dia, aku tahu bagaimana rasanya menemukan cinta pertama yang rasanya sangat melegakan. Bersamamu, aku tahu rasanya akan senyaman itu."
Alan tersenyum mendengar itu. Lalu sebelum menutup malam, Alan memajukan wajahnya, Sung Yi memejamkan mata, membiarkan Alan mencicipi rasa manis di bibirnya.
***
Aaaaa rela nggak sih endingnya gini :') Ngomong-ngomong soal ending, cus scroll lagi, masih ada epilog nih!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top