第十二天 (12)
Sesampainya di atas, pemandangan dari bawah jadi nampak lebih dekat. Sung Yi bergumam riang sejenak, lalu meluaskan pandangannya ke sekitar kota Tainan yang luas.
"Eh, bagaimana bisa kau menemukan tempat ini?"
Darren mengibaskan poni jambulnya itu sedikit menyingkir dari mata, ia duduk di undakan kecil dekat tepi atap. Cowok itu tersenyum puas, ekspresinya kali ini berbeda dari sore tadi pulang sekolah. Meski begitu, Sung Yi lebih suka jika kondisinya begini. Ia dapat tempat rahasia!
"Aku menggunakan ini waktu Keluarga Xiao Xing belum pindah. Waktu ayah dan ibuku mencariku setiap pulang sekolah waktu SD, aku selalu mengumpat di sini. Rumah ini cukup tua sebenarnya. Dan sering berpindah-pindah pemilik," jelas Darren. Sebenarnya Sung Yi cukup penasaran sudah sejak kapan ia tinggal di rumah itu? Dan apa benar Darren tinggal sendirian?
Sung Yi menjaga suasana, ia tidak mau merusak suasana hati Darren yang terlihat puas. Beralih ke peta rasi bintang, Sung Yi menunjuk Perseus. Rasi bintang itu ada di tengah, dengan garis-garis yang berbelok dan rumit, ia menunjuknya untuk Darren.
"Apa kau serius tidak menyukai yang ini?"
Darren agak mengernyit, lalu pandangannya berpindah pada Sung Yi yang menunggu jawaban.
"Eh dungu, kau bisa berhenti menunjukkan rasi bintang itu tidak? Kau tidak cocok terlihat pintar," katanya terkekeh. Meski harusnya kesal, tapi Sung Yi lebih sudah terbiasa mendengar itu. Ia hanya bersungut kecil lalu melihat ke dalam teropong. Pikirannya agak tersendat sebenarnya, apalagi hening yang panjang cukup memancing Sung Yi untuk menanyakan banyak sekali pertanyaan.
"Darren," panggil Sung Yi pelan. Cowok yang sedang menatap ke peta rasi bintang Sung Yi beralih. Ia tak menyahut, menunggu Sung Yi melanjutkan.
"Kenapa kau... bisa mendapat beasiswa?"
Angin melintas pelan, menggeser poni rambut Darren yang ringan. Cowok itu menyeringai, "kenapa? Kau merasa malu sekarang?"
Sung Yi menghela napas. "Malu buat apa? Aku bertanya serius."
Kelihatan sekali Darren berusaha menghindar, cowok itu kini beranjak sambil menghela napas menghadap ke belakang kompleks.
"Cuma penghargaan dari Zong Bao laoshi karena dari SMP dia jadi wali kelasku."
Mata Sung Yi memelotot, "Zong Bao laoshi wali kelas SMP-mu? Bagaimana bisa?" ia bahkan perlu mengorek telinganya dulu sebelum mendengar kelanjutannya.
"Waktu kelas tujuh dan delapan. Tepat kenaikan kelas sembilan, dia dipindahkan ke SMA. Kau tentu tahu kan kalau SMP dan SMA Di Yi satu yayasan? SMP-ku hanya beberapa kilo dari sini. Jadi, waktu mendengar aku masuk SMA, laoshi langsung memberiku beasiswa yang diteruskan langsung ke kepsek."
Mulut Sung Yi nyaris jatuh kalau tidak mendengar ini langsung. Darren yang dulu dan sekarang, apa bedanya?
"Tapi sepertinya dia menyesal," Darren tertawa lalu duduk di tanah semen atap, "baguslah. Aku juga muak diatur-atur olehnya."
Sung Yi agak terbata, tapi pertanyaan terus mengalir lancar di kepalanya.
"Apa orangtuamu tahu?"
"Orangtuaku kan di Taipei. Mereka tidak tahu, yang mengurusku di sini hanya bibi dan pamanku. Mereka tinggal tak jauh beberapa blok dari sini."
Sung Yi menjeda sejenak, ia sedikit menghindari kontak mata dengan Darren. Separuh rasa penasarannya cukup hilang. Malah bertukar dengan empati yang cukup mengganjal di pusaran hatinya.
"Berarti kau tinggal sendiri di rumah itu?"
Darren mengangguk tipis. "Benar. Hebat, bukan?"
"Hebat apanya?" Sung Yi setengah berdecih, mengalihkan diri sambil mengintip ke teropong. Langit hitam dan beberapa titik bintang terlihat cukup dekat dengan mata. Tapi perasaan canggung bersemayam panjang dalam hati Sung Yi.
Kalau selama ini Darren tinggal sendiri, siapa yang menyiapkan makan malamnya? Apa Darren juga mencuci baju sendiri? Nah, ia jadi ingin tertawa kalau membayangkan Darren yang memegang tongkat pukul, kini harus menjemur pakaian. Lucu sekali, pasti?
"Sebenarnya, di sini juga aku mendengar ayah dan ibu Xiao Xing bertengkar," ujar Darren pelan. Matanya terarah ke balkon di depan kamar Sung Yi. Tatapan lemah seakan me-reka ulang kejadian yang pernah ada di sana.
Pelan-pelan, Sung Yi mengangkat wajahnya.
"Orangtua Xiao Xing bertengkar?"
"Cukup sering," kata Darren, "aku sampai bingung kadang bagaimana bisa dia tahan."
Mungkin Xiao Xing tidak tahu harus ke mana kalau ia kabur dari rumah? Tapi kata-kata itu tidak keluar, Sung Yi malah membayangkan Xiao Xing harus mendengar keributan itu.
"Pernah sekali aku melihatnya menangis dari sebrang balkon, tapi ia hanya mengusap wajah dan tersenyum kepadaku lalu langsung masuk. Sejak itu aku jadi diam-diam menyelinap setiap pulang sekolah. Bertahan di sini untuk mengamati dan mendengarkan semuanya."
Giliran Sung Yi yang mendesah. "Wah, mengerikan. Kau lebih terdengar seperti stalker, tahu?"
"Aku tahu, tapi itu karena aku melihat sesuatu yang berbeda dari dia di sekolah. Ia tidak mengeluarkan opininya, ia jadi pendiam."
Mungkin luka yang berubah menjadi kelembutan itu membuat hati Darren tergerak. Wah, benar-benar hebat. Sung Yi hampir tidak mengenali Darren yang berdiri di depannya ini. Daripada rahasia, Darren begitu banyak menyimpan kenangan yang tidak ia sebarkan. Apa yang bakal Xiao Xing katakan ya kalau ada orang yang diam-diam memperhatikannya? Tiba-tiba Sung Yi merasa tersentuh. Diam-diam, Sung Yi menatap jari jemari Darren yang bersila di atas kakinya yang menekuk. Jari-jari itu mungkin pernah memukul beberapa orang, tapi dari caranya bertahan seperti orang gila, Darren tetap punya hati. Pantas saja ia selalu serius masalah cinta.
Kira-kira, apa yang bisa Darren bandingkan dengan cintanya terhadap Alan Luo, ya?
"Aku juga selalu menyisipkan permen kunyah di pintu geser itu."
Sung Yi terperangah. "Serius? Apa dia tahu?"
Darren menggeleng tertawa, "buat apa? Dia kan takut padaku. Maka itu aku diam-diam memberikannya."
"Apa kau tidak berniat memberikannya secara langsung?"
Tangan Darren langsung mengapit leher Sung Yi yang ringkih ke rangkulannya yang kencang. Sung Yi berjengit melepaskan diri.
"Kau ini, masih ingat dengan rencana kita untuk memutuskan mereka, kan? Hari ini kita mungkin gagal. Tapi hari besok, belum tentu."
"Belum tentu gagal maksudmu?"
Kepala Sung Yi dihadiahi satu pukulan ringan.
"Dungu!"
"Eh, aku ini satu langkah di depanmu. Tadi siang Alan bicara denganku," tukas Sung Yi separuh menjerit tertahan waktu Darren merejangnya erat. Rangkulan cowok itu mengendur sesaat, ia mendorong Sung Yi hingga Darren bisa memelotot ke arahnya.
"Eh, Dungu, siapa yang mengajarkanmu berbohong? Aktingmu bagus untuk membuatku bangga."
Tangan Sung Yi membenarkan letak kacamata, ia menepak pundak Darren.
"Ini sungguhan! Aku tidak sedang mengkhayal—walau rasanya nyaris seperti itu—" Sung Yi menyeringai sambil membayangkan betapa manisnya wajah Alan yang bersih terpapar sinar matahari sore. Seperti helai sakura yang turun di musim semi. Begitu mendambakan dan indah.
Tangan Darren mendorong Sung Yi kembali ke kesadarannya.
"Sakit jiwa," gerutu Darren tidak suka. Tapi Sung Yi beralih meledeknya.
"Kurasa aku tidak perlu menurutimu lagi. Alan sudah lebih dulu—"
"Berani-beraninya—" tangan Darren tertahan oleh Sung Yi yang mengangkat kedua tangan sebagai barir perlidungan. Darren memelotot setengah mendecih. Sung Yi segera menahannya lagi.
"Aku mau membantumu asal kau membantuku."
Kali ini bukan mata saja, tapi alis Darren ikut bertaut kesal. Belum rela dikendalikan oleh si Cupu.
"Kau ini banyak bicara ya? Mau aku—"
"Aduh, aku ini belum pernah minta apa-apa setelah menurut padamu selama ini. Berilah aku kesempatan!" Sung Yi agak merajuk.
Terdengar decak sebal, Darren menghela napas. Sebelum meyakinkan tatapan itu, Darren memutarkan bola matanya jengah.
"Baiklah. Katakan."
Wajah Sung Yi langsung sumringah. Agak kaget mendengarnya tapi tak peduli. Ia setengah meloncat waktu berseru, "bantu aku lulus ujian Sains semester depan!"
Giliran Darren yang mengernyit takjub lalu terbahak-bahak. Malam itu, Sung Yi mendapat satu tempat baru yang ia sendiri tak sadari. Dan mungkin, akan butuh waktu lama untuk menyadari itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top