Matahari di Khatulistiwa by Cherly
"Jangan tanya dimana rasa nasionalisku, kalian tidak akan tahu seberapa beratnya hidup di tanah rantau saat dirundung rindu akan kampung halaman."
•••
Chapter 01
Dari Hujan Kita Saling Menemukan
Tentang sebuah negeri yang kata orang adalah cerminan dari surga. Tanah yang subur, matahari yang bersinar hangat sepanjang tahun, hujan yang datang membawa berkah. Tapi sayang mental para penduduknya telah di luluh lantahkan dengan pembodohan kolonialisme. Persetan dengan yang dikatakan kebebasan diri. karena nyatanya kebebasan hanya bisa didapatkan, ketika nyawa dan raga telah berpisah.
Surabaya, 1890. Aku bertahan di antara hidup mati. Bersimpuh dihadapan seorang jenderal belanda. badannya yang tinggi besar minginjak kedua kakiku dengan sepatu bootnya. Sakit, rasanya sendi ditanganku akan lepas. Aku lihat kilatan mata birunya di bawah tamaram lampu yang redup, begitu buas siap membunuhku kapan saja.
“jij en je mensen zijn ratten .” oloknya dengan kalimat yang tidak kumengerti. (kau dan bangsamu adalah tikus-tikus kotor). Kurasa ia sedang menghinaku dengan tatapannya yang begitu angkuh dan membanggakan kekuasaan. Badannya yang mulanya berdiri, kemudian berjongkok. Menaruh beban tubuhnya dikaki membuatku merintih menahan sakit. Kepalanya menyejajari kepalaku hingga aku bisa mencium aroma tubuhnya. Aroma keringat orang kulit putih yang tersengat matahari.
Kepala lelaki itu mendekat kearahku, bibirnya yang tipis dengan liar menyentuh leherku. Memberiku rangsangan yang begitu menyiksa. Disisi lain aku menahan sakitnya jemari tanganku, disisi yang lainnya lagi geli menyerang hingga membuat seluruh bulu dibadanku berdiri. Aku meneguk leherku, tidak membiarkan birahi menguasai diriku. Tak ada perlawanan yang bisa lakukan ketika tanganku berada di bawah telapak sepatu lelaki itu. tapi aku tidak hilang akal
Dukkkkkk
Aku membentur kepalaku ke kepala lelaki itu sekencang-kencangnya. Tentu saja itu membuat kepalaku pusing bukan kepayang. Aku hampir limbung, tetapi lelaki belanda itu menatapku murka. Dengan cepat ia menarik rambutku kebelakang, menjambak rambutku hingga badanku hampir melengkung kebelakang dan menyentuh telapak kaki.
“Onbezonnen, ga naar de hel teef” amuknya dengan murka.
Genggaman tangannya yang kuat dan berotot melayang dengan mulus di pipiku. Tanpa memindahkan kakinya yang menginjak tanganku, dan tangan kanannya menjambak rambutku. Jangan tanyakan sakitnya bagaimana, semakin banyak ia memukulku semakin aku menghirup aroma surga yang bercampur dengan amis darah yang keluar dari wajahku yang hampir hancur karena pukulannya.
Aku tahu aku akan mati ditangannya, tapi setidaknya aku mati dengan terhormat. Setidaknya aku menjaga harga diriku sebagai seorang wanita hingga akhir. Ia memukuliku seperti memukul karung goni yang diisi pasir. Berulang-ulang dan melupakan perasaan kemanusiaannya. Bukkkkkk, aku tidak tahu itu pukalan yang keberapa tapi kupikir itu adalah pukulannya yang terakhir dan sangat kencang. Sebelumnya akhirnya aku hilang dalam ketidak sadaran.
Apa rasanya kehidupan setelah kematian?
Perih, seluruh badanku yang memiliki luka terasa perih. Tapi disaat yang bersamaan, badanku terasa begitu ringan. Aku bahkan bisa menyentuh angin. Dalam hati aku senang, karena nyawaku telah berpisah dari ragaku. Itu artinya aku telah meninggalkan kesulitan hidup. Kubuka mataku berlahan, yang kulihat hanya karung goni putih yang menutup kepalaku..
Kucoba beberapa kali menyadarkan diriku sendiri. tidak-tidak aku tidak sedang menceritakan surga, karena dari karung goni itu aku bisa menerawang kearah luar. Angin yang kujelaskan tadi bukanlah udara melainkan air. Aku sedang berada didalam genangan air yang begitu deras, dengan kepala yang ditutup karung goni dan tangan yang terikat. Air itu membuatku kesulitan bernapas.
Aku belum mati, dan mereka membuangku hidup-hidup. Kepanikan melandaku tiba-tiba. Aku mencoba berteriak tapi air meredam suaraku. Tidak ada yang bisa kudengar kecuali kehampaan. Ingatanku berjalan kemasa indah waktu dikampung, ketika seorang kiayi bercerita kepada para santri bahwa setelah kita mati dan dikubur, tuhan akan menaruh kembali nyawa manusia dan manusia akan mendapatkan siksa kubur.
Jika benar aku sudah mati, dan dibuang ke laut. Mengapa tidak ada malaikat yang menghampiriku. Apa malaikat tidak datang kepada jasat yang dibuang kelaut?. Aku berusaha keras melepaskan diri dari sesuatu yang mengikat tanganku. itu adalah tali yang diikat tidak terlalu kencang. Dengan napas yang tersisa separuh aku melepaskan kepalaku dari karung goni itu. sejauh mata yang terlihat adalah dasar dari lautan, tanganku ternyata di beri pemberat berupa jangkar kapal yang berkarat. Aku segera naik kepermukan dengan keterbatasan kemampuan berenang.
Aku sampai di permukaan dan segera mengambil nafas sebanyak-banyaknya. Ternyata aku belum mati, ombak mendayungku entah kepenjuru mana. Tapi yang bisa kulihat adalah langit yang kelam meskipun dengan taburan bintang. “Tolooonnggg,” teriakku sekencang-kencangnya.
Ditengah laut dan tidak memiliki harapan. Mungkin sebentar lagi aku akan menjadi santapan lezat predator di laut. badanku terasa menggigil juga perih, kakiku yang mengayun untuk mempertahankan badanku tetap di permukaan terasa sangat ngilu karena keram. Aku berada di ambang menyerah, tapi diriku yang lainnya memaksa untuk bertahan dan berjuang sekali lagi. “Toloooong.” Teriakku penuh harap kepada siapapun yang mendengar.
Kutangisi setiap waktu yang mengalun melambat, mungkin ini adalah saat-saat tragis napasku diangkat oleh sang pemilik hidup. Ditengah kegundahan dan kebingunan itu, yang terlintas diingatanku hanyalah Bapak dan mbok. Teringat akan hari-hari yang begitu bahagia yang pernah kulakukan bersama mereka. Bahagia yang kini membuatku berduka karena sebuah nostalgia.
Aku adalah seorang anak kampung yang terlahir dari seorang bapak buruh tani dan ibu yang bekerja sebagai babu saudagar kaya. Hidup keluargaku memang jauh dari kata layaknya manusia, tapi kami tidak sendiri. karena semua pribumi di bumi pertiwi merasakan apa yang kami rasakan. tentang lapar yang sama, tentang tertindas di tanah milik leluhur kami sendiri, bahkan lebih mengenaskan dari itu, anugrah dari Tuhan-pun ikut mereka rampas.
Nusantara pernah terkenal gaungnya hingga negeri terjauh. Siapa yang tidak kenal dengan cerita hayam wuruk dan mahapatihnya yang konon katanya mampu menakhlukin negeri cina. matahari yang selalu bersinar sepanjang waktu, Kekayaan Alam yang beragam, tanah yang subur, didukung oleh masyarakat yang mengerti tata krama. Mengapa semua itu menjadi belenggu sekarang?
Ketika segala hal baik yang diamalkan oleh para leluhur mengundang niat jahat para koloni belanda. rezim-rezim penjajah membelenggu sekian ratus lamanya. Nusantara-ku menjadi rebutan para penguasa eropa. Silih berganti mereka mempertahankan kekuasaannya demi kemakmuran negerinya yang nun jauh disana. Nusantara bukanlah tanahnya, tapi mereka menjarah seluruh isinya. Berlagak bagai pemilik sesungguhnya, sedangkan pemilik sesungguhnya dibodohi oleh propoganda.
Para pemuda yang harusnya berjuang bersama mengusir penjajah malah bergabung dengan penjajah demi alasan perut. Menyebabkan Saudara bisa saling membunuh, anak dan bapak bisa jadi musuh, atau lebih parahnya lagi seorang pribumi yang menjadi pemimpin karena garis keturunan yang harusnya bisa untuk melindungi malah menggrogoti.
Sungguh miris tempat yang kupijak sekarang, bahkan diambang kematianku aku merasa terhina. Nyawa pribumi bukanlah hal yang berarti bagi koloni belanda itu. kematianku hari ini bukanlah apapun, teringat akan bapakku yang ditembak mati tentara belanda karena menyembunyikan seorang pejuang perang. Para tentara belanda telah kehilangan naluri kemanusiaannya. Aku ngeri melihat jenazah bapakku yang tergeletak di tanah dengan kepala yang tertancap peluru senapan. Setelah melakukan hal keji itu dengan angkuh mereka menenteng senjata pergi. Menakuti pribumi lainnya dengan bahasa yang sama sekali tidak kami mengerti.
Mereka berbangga karena mereka pikir kasta mereka lebih tinggi daripada pribumi yang mereka anggap hina. Bukankah semua orang sama dihadapan tuhan?. Lagi pula kemakmuran mereka ditanggung oleh para pribumi yang kelaparan. Setelah kepergian bapak, hidup kami luntang-lantung. Cinta ibuku telah terhalang oleh tembok yang dinamakan kematian. Patah hati membuatnya kehilangan kewaras, kakak-kakakku sepakat untuk memasung ibu di kamarnya. Hari tua ibu lalui dengan berdiam diri dikamar. Saat ini aku begitu merindukannya.
“Maaf Mbok.” Tangisku mengenang ibu. Didalam bayangku yang terlintas adalah senyuman Mbok dan Bapak saat memberikan anak-anaknya wejangan sehabis sholat magrib. Mereka duduk di atas kursi rotan sedangkan aku dan 9 saudaraku yang lainnya duduk di atas tanah. Aku dan 9 saudaraku Saling bercengkrama mendengarkan petuah orang tuaku. Kebanyakan yang kedua orang tuaku sampaikan adalah wejangan yang selalu menyuruh kami melakukan kebaikan dan mengajari kami untuk selalu mengingat dan bersyukur pada tuhan Seberapa sulitnya kehidupan ini berjalan.
Hatiku sesak, ketika kudengar panggilan ibuku yang meraung memanggil namaku tapi kuabaikan. Disaat tak berdayanya, aku memilih pergi memilih egoku yang tertipu dengan tipu daya tentara belanda itu. kata tentara belanda itu aku akan dikirim ke surabaya untuk menjadi buruh pabrik, tapi mereka menjualku kepada seorang jenderal belanda hidung belang. Hari ini kuterima karmaku karena pergi tanpa restu ibu.
Sesal hanyalah tinggal sesal. Aku adalah seorang anak yang durhaka. Tidak sepantasnya tuhan mengampuniku, mungkin ini adalah saat yang tepat untuk menyerah. Mati sekarang atau nantipun rasanya sama saja. aku menghentikan pergerakanku, mengistirahatkan kakiku yang sudah sangat lama mendayung, ombak dengan mudah membuatku tenggelam. Dan kupikir ini adalah cara terbaik untuk meninggalkan dunia. Bertemu bapak di kebadian.
“Iku mayat...mayat.... paling gundik sing diguwak mambengi. Iyo mayat iku.” Suara bising menyadarkanku. Mataku terbuka berlahan, ketika kusadari matahari yang begitu terik menjemurku ditengah kerumunan keramain. Dadaku terasa berat, segera kubatukkan hal yang mengganjal dadaku. Aku merasa aku masih bisa bernapa sekarang.
“Urip..urip...urip. Subhanallah.” Ujar kerumunan itu. Berusaha aku mengembalikan kesadaranku. Aku mengernyit, aku sedang di kerumuni oleh orang-orang berkemben jarik dan beberapa lelaki yang berpakaian compang-camping.
Aku menatap mereka dengan bingung. Seorang membantuku untuk terbangun dan menepi di gubuk warga. Tuhan mempertemukanku dengan orang-orang yang baik, mereka begitu peduli dan merawatku hingga kondisiku membaik. Beberapa dari mereka bertanya latar belakangku, dari mana asalaku dan mengapa aku bisa tenggelam di laut. Aku menceritakan semuanya, saat kepala desaku bersekongkol dengan tentara belanda untuk menjual para gadis didesa hingga akhirnya aku bisa dibuang ke laut. Beberapa dari mereka marah dengan kesintingan kepala desa dan para antek-antek belanda itu, seorang yang kebetulan berasal dari tempat yang sama denganku dan merantau di Surabaya menyarankan untuk tidak pulang kembali ke desa demi alasan keselematan.
Hatiku terasa berat sebenarnya. Aku tidak mungkin kembali pulang, mengingat perjalananku dari surabaya ke bojonegoro bukanlah perjalanan singkat. Apalagi banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi kepadaku bila aku kemabali pulang. Kepala desa dan para antek-anteknya pasti tidak akan membiarkanku selamat, bila aku harus mati seorang diri. itu tidak apa, tapi bila mereka menyakiti ibuku seperti yang mereka lakukan kepada bapak. Aku tidak akan sanggup melihat kehilangan untuk yang kedua kalinya.
Hari-hari berlalu dengan cepat, seorang penolong yang baik menjadikanku pekerja menjadi tukang jahit di tokonya. Dengan dasar pengalaman yang diajarkan ibu sewaktu beliau masih sehat, aku memiliki 3 saudara perempuan dan kami begitu mahir dalam menjahit dan mengurus rumah tangga. Bedanya ibuk mengajari kami menjahit kebaya encem bolong, sedangkan sekarang aku harus menjahit gaun untuk noni belanda.
Aku bersyukur, selain aku belajar menjahit aku-pun diajari membaca dan menulis. Selain itu upah yang kudapatkan sangat cukup untuk hidupku disurabaya. sebagian gajiku kukirim kekampung. Saat kukirim gajiku yang pertama, 5 bulan kemudian sebuah surat datang sebagai balasan. Itu adalah surat dari ajeng, adik perempuanku yang paling bungsu. Diantara saudara-saudaraku hanya dia yang bisa baca dan tulis, dia beruntung karena mendapatkan seorang suami seorang pemuka agama di desa.
Assalamualaikum Yu Ning
Aku bahagia yu ning bisa selamat. Apa kabar yu? Semoga baik-baik saja, aku bungah bisa menerima uang Yu ning. Insyaallah, Uang Yu Ning akan kami gunakan untuk memenuhi kebutuhan mbok.
Yu, banyak gadis di desa yang dikirim ke surabaya. Banyak dari mereka tidak pulang, meski pulang mereka hanya pulang nama. Ibu sering memanggil nama Yu Ning, ibu sedih sekali Yu Ning gak merawat ibuk. Saat kami memberitahu kalau Yu Ning dikirim ke surabaya oleh kepala desa, Mbok ngamuk hingga pasungnya hampir patah. Kalau yu Ning ada waktu, pulang Yu. Besar harapan kami adik-adikmu dan mbok menunggu kepulanganmu.
Sepenggal surat Ajeng membuatku meluluhkan air mata. dengan seksama aku membaca surat yang memberi kabar tentang suasana desa yang semakin tak karuan. Tentang sawah yang di rampas paksa oleh kepala desa untuk ditanami tebu. Dimana para pemuda dipaksa menggarap sawah itu tanpa upah. Bahkan hasil panennya tidak dibagi ke warga. Ajeng menjelaskan, bahwa banyak orang busung lapar didesa karena orang-orang terlalu sibuk menggarap sawah yang diambil kepala desa tanpa menanam padi atau jagung di lahan pribadi mereka.
Hatiku teriris membacanya. Tapi siapalah aku yang berhak marah atas penindasan kepala desa itu. hatiku di kecam amarah, bukan dengan para londo. melainkan dengan para pribumi yang bahkan lebih kejam daripada perlakuan para belanda. bahkan disini, di tempat aku mengais rejeki untuk menyelamatkan perut. Dimana aku harus tunduk dengan orang tiongkok yang mengaku pribumi.
Hari berganti bulan dan bulan berganti tahun. Aku dewasa dengan kebencian yang teramat dalam dengan negeri yang kata para londo itu adalah negeri kaya, tapi orang-orangnya mudah di bodohi. Kami para pribumi dimiskinkan semiskin-miskinnya hingga hanya keperluan perut yang kami pikirkan. Kami tidak memiliki waktu untuk memikirkan perlawanan.
Apakah kalian tahu, Bahkan para singkek yang numpang makan menertawai pembodohan itu. Aku marah, marah karena mereka menjajah dan yang aku lebih miris pribumi yang berkuasa-pun ikut mencekik. Lalu apa yang bisa dilakukan oleh orang rendahan seperti ku?
Pergi.
Seperti hukum rimba, Ibu pertiwi diciptakan bukan untuk mereka orang-orang rendahan. Tapi mereka yang berkuasa dan mampu memperdaya orang kecil seperti kami. 2 tahun di surabaya dan 3 tahun di Batavia membuatku muak. Para noni belanda dan istri antek-antek Londo Ireng dengan mudah mengeluarkan uang untuk membeli stocking, padahal dari stocking itu bisa digunakan untuk makan orang sekampung.
Ketika kulihat satu per satu orang mati kelaparan tergeletak di pinggir jalan, para anak kecil busung lapar, wabah penyakit mengancam para pribumi yang hidup jauh dari layaknya manusia hidup tapi para penguasa tidak membantu. mereka sibuk menaikkan gaya hidup dengan mengambil hak-hak kaum jelata.
Kebencian menggerogoti hatiku, kuputuskan untuk Pergi dengan membawa sakit hati karena harkat dan martabat kaumku telah di rendahkan bukan hanya direndahkan oleh belanda tapi juga sesama kaumku sendiri yang lebih keji dalam menyiksa saudara setanah airnya sendiri. setelah kuterima kabar dari adikku, bahwa ibuku meniggal dunia karena sakit. Hatiku kembali terhujam dengan patah hati yang kedua. Didalam pesan itu Ajeng mengatakan bahwa ibu tidak ingin aku kembali, ibu berpikir bahwa aku akan bahagia di tanah rantau meskipun kenyataannya aku jauh dari kata bahagia. uangku memang banyak, tapi naluriku sebagai manusia-pun di pertaruhkan.
1894, pesan terakhir ibu yang disampaikan Ajeng mengamini langkahku untuk pergi jauh dari hindia-belanda. kudengar dari pelabuhan ada kapal yang mengangkut buruh untuk dipekerjakan di belanda. aku ingin tahu seberapa jauh belanda itu, negeri yang begitu di banggakan oleh kaum londo itu beserta antek-anteknya. Didalam otakku Belanda bukanlah tempat yang buruk untuk mengadu nasib.
Jangan tanyakan kecintaanku pada tanah air. karena aku adalah rakyat jelata yang sama yang lebih mementingkan urusan perut. Bila ada kesempatan yang lebih bagus kenapa tidak aku ambil. Di pulau jawa aku hanyalah seorang yang tertindas dan tidak pernah dihargai bahakan hanya sebagai makhluk yang bisa bernapas sekalipun. Menuntut-pun percuma, sehinga aku berpikir Mengapa aku tidak mencoba peruntungan di tempat yang baru bila itu lebih baik. siapa tahu tuhan menaruh rezeki-ku disana.
Lagi-pula tidak ada salahnya juga aku membenci tempatku dilahirkan. Begitu banyak kenangan buruk yang kudapatkan disini. Kepergian Bapak yang meninggalkan dendam di lubuk hatiku, pemerkosaan bejat yang dilakukan antek-antek belanda, dan penindasan terhadap keluargaku juga bangsaku. Lebih baik aku pergi selagi aku bisa pergi.
Sakiti hati ini rasanya begitu dalam. Aku malah berpikir untuk menghapuskan masa lalu kelamku sesampainya aku di tanah harapan. Menghapus masa laluku sama dengan melupakan identitasku. Kurasa itu baik, terkadang orang harus memainkan perannya dengan sungguh-sungguh. sama seperti para tentara itu yang melupakan rasa kemanusiaannya ketika menyiksa pribumi.
Kakiku berhenti di barisan buruh-buruh yang mengantri masuk ke kapal yang akan dikirim ke Belanda. bisa saja aku kembali pulang dan mengurungkan niatku pergi ke tempat yang terlalu jauh, tapi keberanianku menantang. Dengan mengucapkan doa yang terbaik untuk hariku esok, Ku yakinkan langkahku memasuki geladak Kapal bertuliskan SS Voorwaarts.
Didalam otakku sudah ada bayangan negeri belanda dengan kemakmuran yang selalu dipamerkan oleh tentara belanda dan antek-anteknya. Perjalanan kesana diperkirakan menempuh waktu 3 bulan lamanya. Terombang-ambing kapal tanpa melihat daratan. Mulanya aku berpikir perjalanan ini akan sangat menyenangkan, karena aku bisa melihat laut dan langit yang tak terbatas.
Ditambah aku bertemu dengan keluarga baru. Kami memiliki nasib dan tujuan yang hampir sama. Motivasi kami ke tanah harapan adalah selain mengisi perut, tentu saja menginginkan hidup lebih baik.
Tapi takdir sedang bercanda. Perjalanan dikapal bahkan lebih suram daripada penderitaan yang kualami sepanjang hidup. Bayangkan, waktu yang begitu lama terombang-ambing di kapal yang seolah berjalan tanpa tujuan. Dimana setiap hari harapan akan melihat daratan pupus dengan berlahan. Langit tidaklah menyenangkan seperti kelihatannya dan laut tidaklah semenarik riaknya. semakin hari kekeluargaan para buruh di atas kapal semakin dekat, tidak hanya makanan yang kami bagi tapi juga kesedihan dan ketakutan apabila mati sebelum menatap daratan. Rasa cinta bagai keluarga terpilin makin erat, bahkan kami membuat peraturan bahwa orang-orang yang berada diatas kapal yang sama tidak boleh menikah satu dengan yang lainnya.
Sehingga ketika satu persatu orang meregang nyawa diatas kapal sebelum melihat daratan membuat kami berduka dengan sangat amat dalam. Kami tidak bisa menangisinya, karena siapa tahu kami lah yang akan menyusul. Hilang duluan sebelum menyampai daratan. Banyak orang yang jatuh sakit. kami bergotong royong membantu apapun yang bisa di bantu agar mereka tidak sampai meregang nyawa.
Hari demi hari berjalan dengan suram. Kapal singgah di negeri belanda, aku mengucapkan syukur. Tapi ternyata bukan belanda yang kapal ini tuju, tapi sebuah antah berantah lain yang lebih jauh dari itu. ketakutan menyelimuti keberanianku, ternyata kapal ini berjalan menuju sebuah wilayah jajahan belanda lainnya. Para buruh memanggilnya Guyana belanda.
Kapal akhirnya berlabuh di Paramaribo. Banyak orang sakit akhirnya di rawat. Paramaribo nyatanya tidak jauh berbeda dari pulau jawa. Tidak ada salju yang kubayangkan sepanjang perjalanan. Hanya tanah yang gersang dengan tanah yang masih luas dan hamparan laut lepas disejauh mata memandang. Kami digiring untuk turun dari kapal oleh para tentara yang sedang berjaga. Kami dibariskan satu persatu di sebuah tempat yang nampak seperti gudang di dalam pelabuhan.
Satu per satu orang yang dipanggil nomornya, pergi meninggalkan gudang. Itu artinya mereka telah di panggil oleh majikannya yang baru. Sampai hari mulai petang, belum ada yang mengambil nomorku. Aku berharap dengan cemas, karena tidak mungkin aku akan menjadi gelandangan di negeri yang sama sekali tidak pernah kukenali.
Hujan turun dengan deras, rintik hujan membuatku tersiksa dengan kecemasan yang berlebihan. Aku tidak begitu menyukai hujan, karena suara air hujan yang jatuh di atas kubangan air selalu membuatku bersedih. Hujan selalu membuatku bernostalgia saat kecil ketika aku bermain dengan ceria bersama saudara dan teman-teman sekampungku. Dan sekarang di negeri yang begitu jauh dari kampungku, Hujan semakin mengiris hatiku.
“Kalau tidak ada yang mengambilmu malam ini, maka kau akan kami jual ke rumah bordil.” Ancam seorang dengan bahasa Belanda yang sedikit kupahami. Aku meneguk salivaku. Ketakutan kembali mengancam, aku tidak akan memulai kisah perjalanan kehidupanku yang baru dengan pengalaman yang sama. rumah bordil? Bukankah itu mimpi buruk.
Aku mengikuti para pekerja lain yang menarik-narik tangan calon majikan yang datang. Dengan memelas kami meminta mereka agar mengambil kami. Hingga ada sebuah tangan yang berhasil kugapai. “Kumohon ambil aku, aku akan melakukan apapun untukmu.” Ujarku dengan bahasa belanda yang terbata-bata.
Tangan yang kuraih berhenti dihadapanku. Aku yang hanya setinggi dadanya menyadari bahwa tangan yang kugapai itu adalah tangan seorang pria. Dia menggunakan celana choklat lebar dengan sepatu pantovel yang di gosok hingga bening. Aku bisa melihat dadanya yang bidang dan berbulu dari kemeja putihnya yang sengaja di buka dengan rendah.
Tangannya begitu dingin saat menyentuh daguku, segera aku mendongak siapa gerangan lelaki yang dengan lancang memegang daguku. Hatiku berkecamuk ketika menyadari siapa gerangan dirinya, mata birunya yang menatapku tajam seorang menelanjangiku. Aku mengingatnya, orang yang datang dari masa laluku.
Aku mundur mengetahui keberadaannya. Aku berjalan jauh untuk melupakan kisah hidupku yang kelam. Dan dia menemukanku diantara hujan. Kilatan mata biru di bawah tamaram lampu yang redup, mengingatkanku akan kekejiannya saat melecehkan harkat dan martabatku. Apakah takdir sedang bercanda denganku sekarang?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top